Ganefo Mengganyang Olimpiade
Dilarang mengikuti Olimpiade di Tokyo, Indonesia menggelar Olimpiade tandingan. Ganefo melawan dominasi Barat dalam tata kelola olahraga global.
Baru kali ini, atlet-atlet Indonesia bisa berlaga di ajang pesta olahraga sedunia Olimpiade di Tokyo. Jalan menuju laga ini juga berliku, mereka harus melewati proses kualifikasi di tengah kecamuk pandemi Covid-19 belum usai. Gelaran ini juga mengalami penundaan selama satu tahun, dari rencana awal berlangsung pada 2020.
Pada gelaran Olimpiade Tokyo 1964, atlet-atlet Indonesia tak bisa berlaga di pesta olahraga sejagat ini gegara sanksi yang dijatuhkan oleh IOC (International of Olympic Committee). Sanksi ini dijatuhkan karena pada tahun sebelumnya, tepatnya di bulan November 1963, Indonesia menggelar Ganefo (Games of New Emerging Force) yang diikuti oleh 43 negara.
Ganefo yang kerap disebut sebagai Olimpiade tandingan ini berlangsung saat gelora anti nekolim (neokolonialisme dan imperialisme) memuncak di Indonesia. Selain memanfaatkan keberhasilan Indonesia menggelar Asian Games 1962 di Jakarta, gelaran ini juga menjadi ajang artikulasi kepemimpinan Indonesia dalam proyek dekolonisasi Asia-Afrika yang titik apinya mulai nyala dari penyelenggaraan Konferensi Asia-Afrika.
Baca juga: Ganefo, Olimpiadenya Bangsa Asia Afrika
Bukan sekali ini saja Indonesia menggunakan olahraga untuk mengobarkan semangat nasionalisme dan eksistensi sebagai negara merdeka. Penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional I pada 1948 di Solo juga dimaksudkan untuk membuka mata dunia bahwa Indonesia masih ada di tengah propaganda gencar Belanda bahwa mereka berhasil merebut kembali tanah koloninya melalui aksi polisionil (dalam historiografi Indonesia disebut agresi militer Belanda).
Meski Indonesia sukses menjadi tuan rumah Asian Games 1962 dan berhasil menempati peringkat kedua perolehan medali terbanyak, namun Asian Games 1962 menyisakan persoalan politik antara Indonesia, Federasi Asian Games (AGF), dan IOC. AGF mengancam tidak mengakui hasil penyelenggaraan Asian Games 1962 karena tidak mengundang Israel dan Taiwan dalam pesta olahraga Asia ini. AGF bahkan mengadukan persoalan ini ke IOC.
Sikap dan posisi Indonesia tidak mengundang Israel dan Taiwan tegak lurus dengan komando Presiden Sukarno untuk bersolidaritas pada nasib bangsa Palestina yang dijajah Israel (bahkan hingga kini), serta konsistensi sikap “One China Policy” dengan hanya mengakui Republik Rakyat Tiongkok sebagai satu-satunya representasi rakyat Tiongkok. Dalam perkembangan terkini, IOC mengakui Republik Rakyat Tiongkok dengan bendera resminya, sementara Taiwan disebut sebagai Taipei menggunakan bendera Olimpiade.
Langkah AGF mengadu ke IOC mengenai sikap Indonesia itu ditindaklanjuti dengan sanksi dan larangan mengikuti Olimpiade Tokyo 1964. Bukannya tunduk, Indonesia malah menyambut sanksi dan larangan tersebut dengan mengkonsolidasikan perlawanan melalui penyelenggaraan Olimpiade tandingan. Event tersebut adalah Ganefo.
Dalam tinjauan sejarah, penyelenggaraan event tersebut melengkapi posisi proaktif Indonesia di bawah Presiden Sukarno dalam perjuangan dekolonisasi Asia-Afrika (dan Amerika Latin), konfrontasi melawan proyek nekolim Federasi Malaysia, serta perjuangan pembebasan Irian Barat.
Semua sektor produktif digerakkan dalam perjuangan membentuk kekuatan baru, Nefo (New Emerging Forces) untuk menggugat kekuatan lama yang mapan, Oldefo (Old Established Forces), mulai dari persatuan wartawan Asia-Afrika, persatuan pengarang dan seniman Asia-Afrika, hingga gerakan perempuan Asia-Afrika.
Baca juga: Ganefo, Politik Olahraga Negeri Dunia Ketiga
Namun sayang sekali Ganefo sebagai gelora perlawanan terhadap dominasi Barat dalam tata kelola olahraga global dengan segala standar ganda yang menyertainya jarang disebut dalam lintasan sejarah olahraga di Indonesia. Tak banyak studi sejarah menyoroti penyelenggaraan Ganefo ini. Misalnya, dalam dua biografi politik tentang Sukarno, Ganefo hanya disebut secara sepintas.
Dalam buku Sukarno, A Political Biography karya J.D. Legge (1972), Ganefo disebut sebagai alat Sukarno untuk mengklaim kepemimpinan dalam poros Nefo. “… Sukarno organized Ganefo –the Games of the New Emerging Forces, which were held in 1963– another sign of the nation’s greatness and her independence from establish power”. (hal. 334).
Sementara itu, buku terjemahan dari bahasa Rusia yang berjudul Soekarno, Biografi Politik karya Kapitsa M.S. dan Maletin N.P. (2009), menyebut bahwa Ganefo adalah proyek bersama Sukarno dan Mao untuk menandingi IOC dan membentuk Komite Olahraga Ganefo. (hal. 251).
Baca juga: Supeni, Kim Il-sung, dan Ganefo
Inisiatif Muhidin M. Dahlan mengkompilasi berbagai bahan sezaman mengenai Ganefo dalam GANEFO, Olimpiade Kiri di Indonesia yang diterbitkan oleh Warung Arsip pada 2016 tentu saja langkah yang patut dipuji. Buku ini mengisi kekosongan bacaan untuk generasi masa kini mengenai sejarah Ganefo. Dari dokumen-dokumen yang dihimpun mengenai seluk-beluk Ganefo, kita bisa merasakan euforia dan gegap gempita menyambut Ganefo. Tidak sedikit bayi-bayi yang dilahirkan pada 1963 dinamakan Ganefo atau Ganefowati.
Sekelumit fakta tentang dukungan pendanaan publik (dana amal Ganefo) untuk penyelenggaraan Ganefo mulai dari pengumpulan uang, dukungan logistik hingga cendera mata menunjukkan rasa kepemilikan rakyat Indonesia atas Ganefo (hal. 51). Ini bisa diperbandingkan dengan tuduhan yang disampaikan oleh Arnold C. Brackman (1966) dalam bukunya Southeast Asia’s Second Front yang menyatakan bahwa Ganefo dibiayai oleh Peking.
Penulis adalah lulusan sejarah Universitas Sebelas Maret (UNS) dan bekerja di Migrant CARE.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar