Derita Barcelona
Tergilasnya Barça 2-8 dari Bayern bukan yang terburuk. Barça pernah lebih parah digasak tiga klub ini.
DI depan gawang Barcelona yang dijaga kiper Marc-André ter Stegen, Philippe Coutinho dengan cermat membaca bola lambung Thiago Alcântara yang mengarah ke Lucas Hernandez. Ekspektasi gelandang FC Bayern Munich itu tak salah ketika Hernandez menekuk arah bola dengan tandukannya. Tanpa dijaga ketat, Coutinho menyodok bola dengan kaki kirinya melewati sela-sela kaki kiper Ter Stegen.
Gol di menit ke-89 itu jadi gol penutup Bayern yang menggasak Barça 8-2 di perempatfinal Liga Champions di Estádio da Luz, Lisbon, Portugal, Sabtu (15/8/2020). Coutinho yang menyumbang dua gol malam itu turut melengkapi derita Barça lantaran sebelumnya Coutinho dibuang Barça dengan status pinjaman.
“Masa-masa yang sangat sulit. Culers (sebutan fans Barça), saya meminta maaf atas apa yang terjadi kemarin. Saya kecewa. Saya tak ingin mencari-cari alasan karena memang tiada satupun. Pastinya kami harus berubah,” kicau Ter Stegen di akun Twitter-nya, @mterstegen1, Minggu (16/8/2020).
Entah ada apa dengan Barça. Selepas penghentian sementara musim 2019/2020 gegara pandemi virus corona, tren penampilan Messi cs. menukik tajam. Selain di Liga Champions, langkah klub kebanggaan masyarakat Katalan itu terhenti di Copa del Rey (Piala Raja) juga terhenti di perempatfinal. Di La Liga, mereka hanya finis urutan kedua.
Baca juga: Lionel Messi, Alien Sepakbola yang Membumi
Tak satupun gelar disabet Barca musim ini. Padahal, sebelumnya Barça jadi momok di kompetisi domestik maupun Eropa. Barça satu-satunya tim di benua biru yang pernah dua kali jadi treble winners: La Liga, Copa del Rey, dan Liga Champions, yakni di musim 2008/2009 dan 2014/2015. Catatan lebih mentereng bahkan dicapainya sepanjang 2009 di mana Barça menimbun enam gelar: La Liga, Copa del Rey, Supercopa de España, Piala Super Eropa, dan Piala Dunia Antarklub.
Selama 90 tahun ke belakang, Barcelona juga tak pernah kehilangan muka dengan kebobolan delapan gol atau lebih. Kekalahan dari Bayern kemarin seolah mengorek luka lama Barca dengan kekalahan telak.
Pembantaian Basque dan Andalusia
Sekitar 40 ribu pasang mata di Estadio San Mamés di kota Bilbao pada 8 Februari 1931 jadi saksi duel klasik dua tim asal Katalan dan Basque: Athletic Club de Bilbao kontra Barcelona. Dua klub di Primera División (kini La Liga) musim 1930/1931 itu merupakan kandidat juara sejak awal meski akhirnya dimenangkan Bilbao, sementara Barça harus puas berakhir di urutan keempat.
Arsitek Bilbao asal Inggris Fred Pentland sejak persiapan selalu mewanti-wanti para pemainnya bahwa balas dendam yang manis di kandang sendiri akan jadi pengobat luka yang sempurna. Pasalnya, di laga tandang di Camp de Les Corts, 7 Desember 1930, Bilbao “keok” 3-6 dari Barça.
Motivasi Pentland manjur. Di laga kandang itu, Bilbao mencetak sejarah dengan membantai Barça 12-1, menjadikannya sejarah jarak gol terbesar dan pertamakali jumlah gol dua digit. Sementara gol semata wayang Barça dicetak Severiano Goiburu, tujuh dari 12 gol Bilbao disarangkan Agustín Sauto ‘Bata’ Arana.
“Skor kemenangan Athletic Bilbao bisa menjadi rekor gol tersendiri, mengingat historis dan kualitas Barcelona dan tentunya menjadi hari yang akan diingat. Tetapi setidaknya hanya tiga dari 12 gol yang dicetak melalui permainan cantik lini depan Bilbao. Sisanya merupakan inkonsistensi kiper Ramón Llorens yang keluar dari lapangan dengan menangis,” tulis laporan suratkabar ABC, 12 Februari 1931.
Baca juga: Santo Iker Maestro Portero Real Madrid
Kemenangan itu menurut Pentland kuncinya adalah kekalahan di markas Barça sebelumnya. Kekalahan itu benar-benar jadi pelajaran berarti dan di atas lapangan, setiap pemain diinstruksikan untuk tampil efektif dan taktis.
“Tim sepakbola sejati karakternya terbetuk dari kekalahan, bukan kesuksesan. Ketika seorang pemain mengoper bola ke rekannya, ia harus yakin bahwa arah bola operannya tepat dan mampu diterima rekannya,” cetus Pentland.
Selain di Basque, Barcelona juga pernah dihabisi Sevilla FC 11-1 di Andalusia pada 29 September 1940. Sekira 20 ribu suporter yang menyesaki Estadio de Nervión pada partai pembuka Primera División musim 1940-1941 itu menjadi saksi pembantaian Barca yang diarsiteki Josep Planas.
“Bintangnya adalah veteran pemain internasional (timnas, red.) yang juga pencetak gol unggulan liga, (Guillermo) Campanal. Campanal bagian dari barisan penyerang legendaris ‘Stuka’ yang memang dinamai seperti pesawat pembom tukik yang debut tempurnya di 1936 sebagai bagian dari Legion Condor Luftwaffe (Angkatan Udara Jerman Nazi) yang mengintervensi Perang Saudara Spanyol,” tulis Jimmy Burns dalam La Roja: A Journey Through Spanish Football. “Di pertandingan (vs Barcelona) itu, Campanal menyumbangkan lima gol,” sambungnya.
Selain Campanal, anggota “Stuka” Sevilla yang turut mengoyak gawang Barcelona yang dikawal kiper Lluís Miró itu berturut-turut: Rafael Berrocal (1 gol), Raimundo Blanco (2), dan Miguel López Torrontegui (3). Barcelona baru bisa membalasnya tiga bulan berselang di kandang sendiri walau sekadar menang 4-0.
Sevilla pasca-Perang Saudara Spanyol memang acap menampilkan sepakbola ofensif di bawah arsitek Pepe Brand. Kendati menutup musim 1940/1941 di posisi lima, barisan “Stuka” Sevilla keseluruhan mencetak 70 gol dalam 22 laga. Torehan itu serupa dengan torehan Atlético Aviación (kini Atlético Madrid) sang juara musim itu.
Berdarah-darah di Ibukota
Seperti halnya di Sevilla, Barcelona pun pernah dibuat berdarah-darah Los Blancos (julukan Real Madrid) dengan skor serupa, 11-1. Bedanya, kekalahan dari Sevilla murni karena permainan di lapangan. Sementara, kekalahan dari Madrid di Estadio Chamartín, 13 Juni 1943 dalam rangka leg kedua semifinal Copa del Generalisímo (kini Copa del Rey) itu juga disebabkan faktor politis dan intimidatif.
Pasalnya, Barça merupakan representasi Katalan yang pada Perang Saudara Spanyol 1936-1939) berada di pihak kaum republik, lawan kubu diktator Francisco Franco. Presiden Barça saat itu yang juga politisi sayap kiri, Josep Sunyol i Garriga, turut jadi korban eksekusi pasukan Franco pada Agustus 1936. Presiden Barcelona akhirnya digantikan oleh pengikut setia Franco, Enrique Piñeyro.
Baca juga: Lorenzo Sanz Suprema Real Madrid
Sebagai klub kesayangan Franco, Madrid sangat diharapkan bisa melangkah hingga babak puncak turnamen yang menyandang titel sang diktator. Masalahnya pada leg pertama di kandang Barcelona, Camp de Les Corts, Madrid dibekuk 3-0. Maka leg kedua di ibukota jadi momen perhitungan meski harus dilakoni dengan menghalalkan segala cara.
“Sebelum mereka masuk ke lapangan, Direktur Keamanan Negara José Finat y Escrivá de Romaní mampir ke ruang ganti tim tamu (Barcelona). ‘Jangan lupa. Bahwa beberapa dari kalian masih bisa bermain hanya karena kemurahan hati pemerintah (Franco) yang telah memaafkan kalian karena kurangnya rasa patriotisme’,” ungkap Richard Fitzpatrick dalam El Clasico Barcelona v Real Madrid: Football’s Greatest Rivalry.
“Yang dimaksud adalah José Raich, Josep Escolà, dan Domingo Balmanya yang tentu tak ingin catatan hidupnya dibuka kembali. Ketiganya kabur keluar Spanyol selama Perang Saudara dan terhindar dari nasib yang dialami Josep Sunyol. Setelah ditangkap dan dibunuh, jasad Sunyol tak pernah ditemukan,” tambahnya.
Intimidasi itu membuat Barcelona yang ditukangi Joan Josep Nogués itu bermain setengah hati. Intimidasi yang diterima pemain di lapangan makin berat dengan teror suporter Madrid.
“Atmosfernya sangat kuat. Belum juga kami masuk ke lapangan, penjaga keamanan sudah menakut-nakuti: ‘Kau akan kalah.’ Saat kami masuk ke lapangan, suara siulan suporter tuan rumah sangat monumental,” kenang pemain Barça Josep Valle, dikutip Sid Lowe dalam Fear and Loathing in La Liga: Barcelona vs Real Madrid.
Baca juga: Piala Super Spanyol Sarat Drama
Rasa tertekan juga diingat betul oleh gelandang Barça Mariano Gonzalvo. Menurutnya, sebagaimana dikutip Lowe, “Lima menit sebelum pertandingan dimulai, area penalti kami sudah penuh uang logam, lima sampai 10 sen dalam bentuk koin yang dilemparkan.’ Kiper Lluis Miró menceritakan bahwa ketika ia berada dekat suporter Madrid di belakang gawang, ia juga dilempari batu dan diteriakkan: ‘Merah! Separatis! Itu semua seperti sudah diatur.”
Alhasil, di babak pertama saja delapan gol bersarang di gawang Barça. Setelah turun minum, Madrid menambah trigol sebelum Barça mendapat sebuah gol “hiburan” semenit jelang laga usai yang dicetak Mariano Martín.
Laga penuh teror dan intimidasi itu disaksikan sendiri oleh Juan Antonio Samaranch (kelak Presiden Komite Olimpiade Internasional) yang saat itu sebagai jurnalis. Seingat Samaranch, para pemain Barça benar-benar takut melakukan tekel.
“Barcelona tidak bermain di lapangan. Dalam atmosfer seperti itu dengan wasit yang juga ingin menghindari perkara apapun, mustahil untuk bermain seperti pertandingan normal. Mereka menerima kesulitan-kesulitan ini dengan senyuman, seperti berkata pada lawan: ‘Kami paham tak bisa bermain, jadi kalian bisa bermain semau kalian’,” tutur Samaranch, dikutip Lowe.
Usai wasit meniup peluit panjang pun teror tak jua berakhir. Saat berjalan keluar lapangan, polisi di pinggir lapangan masih mengintimidasi. Bahkan Piñeyro yang loyalis Franco pun ikut diserang dan dikeroyok suporter Madrid saat keluar stadion. Induk sepakbola Spanyol (RFEF) yang insyaf akan “sepakbola gajah” itu segera memberi hukuman. Baik Barça maupun Madrid didenda 2.500 peseta.
“Jika Barcelona bermain, walau seburuk apapun penampilannya, papan skor takkan mencapai angka selangit. Intinya mereka tidak bermain sama sekali. Tetapi tak perlu menyalahkan para pemain karena memang mereka seperti tidak berada di lapangan. Hanya itu yang bisa mereka lakukan. Hanya dengan begitu laga itu berakhir,” tandasnya.
Baca juga: Dinho Oh Dinho...
Tambahkan komentar
Belum ada komentar