Cerita dari Stadion Andi Mattalatta
Stadion legendaris di kota terbesar Indonesia Timur. Kondisinya miris.
SAMPAH berserakan di berbagai sudut pelataran Stadion Andi Mattalatta jelang laga Liga 1 antara PSM Makassar melawan Arema FC, Rabu, 16 Oktober 2019. Terlepas dari kultur pecinta bola tanah air yang masih jauh dari peduli kebersihan dan kerapian, Stadion yang kerap disebut Mattoanging itu memang kondisinya tidak terawat.
Gerbang masuk utamanya kusam dan banyak dipenuhi lumut. Beberapa huruf di plang nama “Stadion Andi Mattalatta” sudah gompal dan nyaris terlepas. Sebelum masuk ke dalam stadion, penonton akan disambut coretan vandalisme di beberapa bidang tembok stadion.
Sejak beberapa waktu belakangan ini, sebuah papan baru berdiri di halaman stadion. Tulisan di papan itu berbunyi: Tanah Milik Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan Berdasarkan Sertifikat Hak Pakai Nomor 40 Tanggal 1 Oktober 1987. Rupanya, stadion ini tengah dibelit sengketa antara Pemprov Sulsel dengan YOSS sebagai pengelola.
Begitulah kisah terbaru stadion yang selama puluhan tahun menjadi kandang PSM Makassar itu. Sebagai klub yang diakui tertua di Indonesia, PSM memang tak hanya masih eksis namun juga acap jadi unggulan juara di antara sedikit tim tradisional lain. Ia sejak lama mewakili wajah sepakbola Indonesia bagian timur.
Ironisnya, PSM tak punya stadion berstandar internasional. Di bagian dalam stadion, sebelas-dua belas dengan bagian luarnya. Kursi VIP yang diduduki Historia tebal oleh debu. Pun bagian-bagian lain yang tak mungkin disebutkan satu per satu.
Namun, ada hal menarik di dekat pintu utama. Manajemen menyiapkan ruang salat untuk para penonton. Seruan ‘Aaamiiin’ selepas imam membacakan Surah al-Fatihah di waktu Salat Maghrib terdengar kencang dari para jamaah sebelum laga dimulai sekitar pukul 19.30 Wita.
Selain kemenangan telak 6-2 PSM atas Arema, mungkin hanya rumput lapangan dan empat menara lampu di tiap sudutnya yang bisa menyenangkan mata di Mattoanging malam itu. “Lapangan dan lampu itu manajemen klublah yang memasangnya, bukan pihak pengelola, Yayasan Olahraga Sulawesi Selatan (YOSS),” kata Sulaeman, media officer PSM, kepada Historia.
“Kalau di tempat lain, fasilitas sudah lengkap baru penyewa (klub) masuk. PSM tidak. Dia (klub) yang renovasi stadion, dia yang biayai stadion, baru setelah itu dia sewa (dari YOSS). Kan aneh,” kata Mustafa Amri, sekjen Macz Man (basis suporter terbesar PSM).
Lahan Bekas Peternakan
Stadion Andi Mattalatta di kompleks olahraga Mattoanging berdiri di atas lahan seluas tujuh hektar. Pada masa kolonial, lahan itu merupakan lahan peternakan sapi Boerderij & Melkerijk (Peternakan dan Pemerahan Susu) Frisian. Lahan 20 hektare milik pemerintah Hindia Belanda itu disewa orang Jerman berkewarganegaraan Belanda, Zwanziger, pemilik peternakan tadi.
Semasa pendudukan Jepang hingga era revolusi, lahan peternakan itu berturut-turut jadi tangsi Belanda, Jepang, hingga pejuang. Demikian menurut catatan Andi Mattalatta tertanggal 10 Juli 2004 dalam jurnal Asal-Usul Tanah Complex Sarana Olahraga Mattoanging dan Terbentuknya YOSS yang diarsipkan YOSS.
Pada 1952, lahan itu sempat dikuasai kelompok Andi Azis yang memberontak kepada republik. Butuh waktu lima tahun bagi Letkol Andi Mattalatta, saat itu menjabat sebagai pangdam/ketua Penguasa Perang Daerah (Peperda) Sulawesi Selatan dan Tenggara, untuk membebaskan lahan itu. Mattalatta lalu memanfaatkan lahan itu untuk kawasan olahraga, demi melancarkan sistem uitholling.
Sistem uitholling adalah sistem untuk menarik kembali para pemuda yang sebelumnya tergiur seragam hijau dan ikut gerombolan pemberontak, untuk kemudian menyalurkan darah muda mereka ke beragam kegiatan olahraga.
Saat hendak merelokasi mereka, Mattalatta ditemani Walikota Mas Yunus Daeng Mile. “Hei, lanubono’a? (Hei, kamu mau bunuh saya?),” kata Mattalatta pada seorang eks tentara yang menguasai lahan dan mengacungkan senjata tajam (sajam) di depan gerombolannya.
“Kenapa bapak begitu? Sedangkan bapak suruh kami pergi untuk kemungkinan mati menghadapi Belanda, saya tidak ragu, apalagi kalau mau disuruh saja pergi dari sini,” jawab si serdadu pembawa sajam.
Mendengar jawaban itu, Mattalatta memaparkan bahwa kedatangannya bukan untuk mengusir, melainkan untuk merelokasi. Andi Mattalatta memberi kompensasi untuk mereka mencari tempat tinggal baru. Langkah persuasifnya itu pun berhasil.
Pembangunan stadion pun dimulai pada April 1957. Menurut Ketua umum YOSS Andi Karim Beso Manggabarani, stadion itu dibangun menggunakan uang pribadi Andi Mattalatta tanpa sepeser pun bantuan dari pemerintah daerah.
“Sejak 1952 di sini sudah ada lapangan dan kompleks olahraga. Yang mengelola itu Yayasan Stadion Makassar. Tapi kemudian sempat jadi barak-baraknya pasukan Andi Azis sampai Permesta. Lalu datanglah pasukan dari Jawa untuk menguasai Makassar, termasuk Pak Andi Mattalatta yang ikut dari Jawa kembali ke Sulawesi,” ujar Karim kepada Historia.
Setelah stadion jadi, PSM pun berkandang di sana. “Sebelum stadion dibangun, PSM mainnya di lapangan dekat sini juga. Itu yang sekarang jadi kantor TVRI Makassar (kini TVRI Sulsel),” ujar Karim sambil menunjuk sisi timur stadion.
Lapangan itu, sambung Karim, ditukar-guling pada 1970-an oleh Intje Saleh Daeng Tompo, walikota harian Makassar cum ketua PSM kala itu. “Dia merasa perlu ada TVRI (di Sulsel) dan TVRI mau lokasinya di situ. Ditukar-guling. Jadi yang ditukar-guling berdasarkan dokumennya Pemda, ya lapangan yang jadi TVRI itu,” sambungnya.
Proyek Gila Andi Mattalatta
Sehubungan dengan uitholling, Mattalatta punya alasan yang lebih fenomenal terkait pembangun stadion Mattoanging. Mattalatta ingin menjadikan kawasan itu jadi tuan rumah Pekan Olahraga Nasional (PON) IV 1957 sebagai puncak pelaksanaan uitholling.
Untuk itulah dia terbang ke Jakarta guna menemui ketua Komite Olimpiade Indonesia (KOI) Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Kepada Sultan, Mattalatta meminta restu agar tuan rumah PON 1957, yang sudah ditentukan KOI bertempat di Jakarta, dipindah ke Makassar.
“Banyak di antara pengurus KOI menganggap permohonan saya menyelenggarakan PON di daerah yang masih berstatus dalam keadaan darurat perang, suatu rencana yang gila. Tetapi Bapak Sri Sultan HB IX sangat percaya kepada saya, sebagaimana beliau ketahui prestasi saya pada Perang Kemerdekaan,” kata Mattalatta mengenang.
Berbekal restu Ketua KOI, Mattalatta lalu merogoh koceknya Rp250 juta untuk membangunkan stadion. Ia juga mengerahkan sekira 300 prajuritnya untuk membantu pekerjaan pembangunannya agar stadion rampung September tahun itu juga.
Enam bulan sejak peletakan batu pertama, stadion itu pun selesai. Lantas, dinamai Stadion Mattoanging, diambil dari dua kata bahasa Makassar: Mattoa dan Anging. Artinya, menengok angin, lantaran lokasi lahan berada dekat pantai yang biasa dijadikan tempat pengamatan cuaca kapal-kapal yang hendak melaut atau berlabuh.
Sementara, untuk venue-venue cabang olahraga lain, Mattalatta meminjam dana pembangunannya dari Presiden Soekarno via Kementerian P & K. Dana sejumlah 33 juta rupiah itu kemudian dilunasinya Desember 1957 usai penyelenggaraan PON.
Hingga kini, bentuk stadion tiada yang berubah. Meski sudah mengalami beberapakali renovasi, diakui YOSS yang sejak 1982 memegang pengelolaannya serta mengganti nama stadion menjadi Stadion Andi Mattalatta, kondisinya tetap sama.
“Makanya, untuk di tingkat AFC stadion kita tidak memungkinkan untuk main di kandang. Akhirnya harus main di luar (Makassar). Kami tentu punya cita-cita besar punya sebuah stadion berstandar internasional. Kami ingin atmosfer sepakbola Makassar diketahui dunia. Selama ini kami sebagai penyewa mendandani sendiri. Karena kalau tidak berbuat, standar Liga 1 saja mungkin tidak bisa kita laksanakan,” ujar CEO PSM Makassar Munafri Arifuddin.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar