Babak demi Babak Kehidupan Julisa Rastafari
Tuhan selalu memberi jalan dalam tiap ujian. Julisa Rastafari membuktikannya seiring memetik prestasi untuk negeri.
PELUIT hijau bertali hitam itu senantiasa dikalungi. Selama sesi dua jam latihan di arena outdoor Gelora Bung Karno sore itu, Julisa Moertoetyana Rastafari memilih tarik suara untuk memberikan setiap arahan pada anak-anak asuhnya, tim basket putri Indonesia Muda (IM).
Tidak hanya lihai memainkan telunjuk untuk memberi instruksi, ia acapkali memberi contoh dengan berlarian mendribel bola melewati hadangan anak-anak didiknya hingga bola masuk ke dalam ring dengan sempurna. Padahal, usianya sudah tak lagi muda. Pada 30 Juli lalu ia menginjak usia 57 tahun. Lebih dari separuh usianya dihabiskan di arena basket, baik sebagai pemain, pelatih, maupun pengurus Perbasi.
“Ya melatih sampai saya enggak kuat aja. Lagipula Indonesia Muda sudah seperti rumah bagi saya,” tutur Julisa kepada Historia menjawab pertanyaan sampai kapan akan berkiprah di dunia basket.
Tak seperti kebanyakan perempuan paruh baya yang di usia segitu sekadar istirahat menanti usia senja, stamina dan kondisi fisik Julisa masih bagus berkat kegemarannya olahraga beladiri sejak kecil. Karate, kungfu, taekwondo, hingga pencak silat Merpati Putih pernah ditekuninya.
Baca juga: Melacak Jejak Pencak Silat
“Makanya sampai sekarang nafas saya masih bagus. Sejak SD sudah senang olahraga beladiri sebenarnya. Sampai akhirnya memutuskan lari ke basket saja saat masuk SMP,” tambahnya.
Cinlok Berujung Pernikahan
Bola basket jadi olahraga populer di kalangan muda-mudi sejak masa lampau. Harus diakui memang, prestasi Indonesia dalam olahraga yang diciptakan teknokrat Kanada-Amerika Serikat Dr. James Naismith ini jauh di bawah bulutangkis atau pencak silat. Prestasi paling mentereng yakni medali perak, diraih tim basket putri Indonesia di SEA Games 1991.
Dalam tim itu, Julisa berposisi sebagai guard utama sekaligus jadi kaptennya. Sebelumnya, ia turut bersumbangsih dalam menyumbang perunggu di SEA Games 1987 dan 1989. Hingga sekarang, torehan itu belum mampu dilewati. Prestasi itu baru 24 tahun berselang bisa disamai, di SEA Games 2015.
“Dulu sempat punya haul bahwa kalau prestasi saya dan teman-teman saya dulu (1991) belum disamai, saya belum bisa tenang. Sekarang sudah tercapai jadi sudah lega,” lanjut Julisa.
Ada dua cerita menarik di balik kesuksesan di Manila 28 tahun lewat. Ketika ia mesti fokus dalam persiapan, Julisa justru menghadapi dua ujian berat: skripsi dan wafatnya sang ayah. Beruntung sokongan moril pelatih sekaligus kekasih, Rastafari Horongbala, berperan besar dalam memikul beban itu.
Baca juga: Kegebet Cinta di Hotel Atlet
Dua sejoli yang berbeda usia 13 tahun-an itu sudah saling mengenal sejak persiapan SEA Games 1983 hingga terlibat cinta lokasi (cinlok). Mereka akhirnya menikah pada Juni 1991 setelah ayah Julisa, Mursanjoto, wafat dan sebelum SEA Games di Manila, 24 November-3 Desember 1991.
“Pacaran sama Mas Fari beda. Enggak seperti cowok-cowok lain. Dia enggak memperlihatkan kita pacaran. Semakin hubungan kita dekat, semakin dihabisin (makin keras dilatih). Sebetulnya dulu dekat cuma karena saya perhatian sama bajunya. Dia kan gendut, bajunya ketat. Jelek banget bajunya, seperti enggak ada yang ngurusin,” Julisa mengenang.
Padahal, kala itu Julisa dan Fari sudah sama-sama punya pacar. Namun mereka dekat dengan menjalani hubungan backstreet sampai akhirnya keluarga Fari melamar pada medio Juni 1991. Ibu Julisa, Tuti Basuki, berkenan menerima karena toh ia sudah tahu Julisa dan Fari sudah lama dekat.
“Ya namanya orangtua ya, mungkin tahu aja gitu kalau kita backstreet. Setelah Papa meninggal, ayahnya Fari diam-diam ngomong sama Mama. ‘Kawinin aja, yuk,’ gitu. Katanya Fari juga sudah berumur, saya juga sudah enggak ada ayah. Sebenarnya kita menikah enggak mungkin. Umurnya beda 13 tahun. Dia juga agamanya Kristen saat itu. Latar belakang pacarnya banyak. Buaya deh, hahaha…” sambungnya. “Pacar saya sebelum Mas Fari orang ngetop soalnya, hahaha…”
Sinkronisasi Otak dan Hati
Julisa dan Fari menikah di bulan yang sama dengan wafatnya sang ayah. Keluarga besar Rastafari bukan keluarga sembarangan. Mengutip Teater Koma: Potret Tragedi dan Komedi Manusia Indonesia karya Herry Gendut Janarto, ayah Fari adalah tokoh Partai Nasional Indonesia (PNI) asal Jember Abdul Madjid. Ibunya Elsje Dauhan, putri tokoh politik PNI asal Manado G.E. Dauhan. Fari anak kedua dari pasutri Madjid dan Elsje sekaligus kakak dari seniman teater Ratna Karya Madjid alias Ratna Riantiarno.
Fari juga jadi sosok yang paling berperan memberi sokongan moril buat Julisa menyelesaikan skripsinya. Kebetulan Julisa mendapat jadwal sidang skripsi di Jurusan Geologi Universitas Trisakti pada Desember, tak lama setelah SEA Games usai. Artinya, ia juga berjibaku merampungkan skripsi bersamaan dengan persiapan hingga waktu pertandingan di SEA Games.
Baca juga: Medali Prestisius Julisa Rastafari di Manila
“Apalagi dulu saya dapat dosen pembimbingnya yang ‘killer’. Saya bawa-bawa itu skripsi ke mana-mana. Baru sampai Bab IV, nangis saya. Kapan kelarnya, sudah ditegur kampus. Mas Fari ngomong, ‘Emang kamu nangis itu Bab IV jadi Bab V, gitu? Enggak, kan? Kerjain aja se-selesainya. Jangan diam. Enggak usah pikir waktunya’. Saya pikir, benar juga yang dibilang Mas Fari,” kata Julisa mengenang.
Saat menghadapi sidang skripsi, Julisa dagdigdug. Namun, “pertolongan” Tuhan menghilangkan rasa deg-degan itu seketika di saat yang tepat. “Hampir stres saya sebenarnya. Begitu duduk, ada satu dosen penguji ngomong, ‘Kalau Julisa sidang, tidak ada yang mempersulit pertanyaannya. Karena apa? Kita harus bangga. Dia seorang pemain nasional bisa menyelesaikan skripsinya.’ Di situ (perasaan) berbunga-bunga. Pertanyaannya gampang-gampang, sudah habis itu lulus. Makanya kalau kita apa-apa pakai hati, semua dipermudah. Tuhan pasti kasih jalan,” kata Julisa.
Beban berat mempersembahkan prestasi sebagai atlet sekaligus mewujudkan pendidikan setinggi-tingginya itu sudah sukses dilalui Julisa. Keberhasilan itu hingga sekarang jadi salah satu kiatnya dalam melatih keras anak-anak asuhnya di IM. Selain fisik, ia menekankan anak-anak asuhnya tak boleh melupakan pendidikan.Kehidupan mereka harus sinkron antara kebutuhan fisik dengan berolahraga dan kebutuhan otak dalam pendidikan.
“Memang komitmen saya sendiri. Saya enggak mau sukses di olahraga tapi bodoh. Makanya saya sekarang melatih menanamkan itu. Bahwa kamu boleh jago, tapi jangan lupa kamu harus jadi sarjana. Kan seumur hidup kita juga enggak akan jadi pemain,” papar Julisa.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar