Atlet Berprestasi Dituduh PKI Bertransformasi Diri Jadi Laki-laki
Asian Games membuat namanya dipuja. Peristiwa G30S 1965 merenggut segalanya.
KARNAH sumringah. Medali perunggu menggantung di lehernya. Gadis 18 tahun itu berhasil menjadi tiga besar dalam cabang atletik nomor lempar lembing putri Asian Games Tokyo 1958. Dia mengumpulkan total lemparan 45, 03. Nilai itu kalah 1,04 dari Elizabeth Davenport (India) dan 2,12 Yoriko Shida (Jepang).
Karnah menjadi satu dari sedikit atlet yang menyumbang medali kepada kontingen Indonesia. Selain darinya, lima medali perunggu yang digondol Indonesia berasal dari cabang sepakbola putra, polo air putra, renang estafet putra nomor 400 meter, renang gaya bebas putra nomor 200 meter (Habib Nasution), dan renang gaya dada putri nomor 100 meter (Ria Tobing).
Prestasi itu menjadi raihan terbaik kontingen Indonesia sejak keikutsertaannya di Asian Games I, New Delhi 1951 sebelum kemudian dipecahkan dalam Asian Games IV Jakarta. Saat menjadi tuan rumah, Indonesia menjadi runner up klasemen akhir –yang hingga kini masih menjadi prestasi terbaik Indonesia di Asian Games.
Sumbangsih Anak Petani untuk Negeri
Karnah Sukarta lahir di Ciamis, Jawa Barat pada 1 Februari 1940. Meski keluarganya hanya petani kecil, dia sangat aktif. Kesukaannya pada atletik, khususnya lempar lembing, terus diasahnya.
Ketekunannya akhirnya membuahkan hasil. Karnah terpilih menjadi anggota kontingen Indonesia dalam Asian Games Tokyo. Di ajang olahraga multicabang terbesar Asia itu, dia berhasil menyumbang medali.
Karnah dan para atlet kontingen Indonesia pun mendapat sambutan meriah sepulang ke tanah air. Bak pahlawan, mereka langsung diundang berbagai pejabat, mulai Presiden Sukarno hingga pejabat-pejabat daerah. Surat kabar Pikiran Rakyat, 5 Juli 1958, melaporkan, sekira 18 atlet kontingen Indonesia turut dielu-elukan di Bandung. Beragam kendaraan disiapkan untuk menjemput mereka, yang datang dengan kereta api dari Jakarta. Karnah pribadi diantar khusus oleh perwira Siliwangi Letkol Rivai dengan mobil Cabriolet Deluxe, diantar dari Stasiun Bandung ke Balai Kota tempat upacara penyambutan.
Gempita penyambutan Karnah juga semarak di kampung halamannya, Ciamis. Iring-iringan kendaraan militer mengarak Karnah dari Tarogong, Ciamis sampai Pendopo Tasikmalaya. Warga kampung halamannya bahkan sampai mengeluarkan gagasan agar Karnah dijadikan tokoh Ciamis yang diabadikan dengan tugu peringatan.
“Di kalangan penduduk Ciamis sekarang ini timbul keinginan supaya atlet wanita Karnah dijadikan tokoh Ciamis dan supaya untuk dirinya dibuat tugu peringatan. Keinginan tersebut sudah disampaikan kepada DPRD Swatantra II Ciamis. Jasa-jasanya menaikkan derajat nusa dan bangsa dalam bidang olahraga,” tulis Bintang Timur, 4 Juli 1958.
Tuduhan Suap dan Antek PKI
Sayang, prestasi Karnah di Asian Games 1958 jadi puncak kariernya. Setelah itu, Karnah tak pernah lagi mengusung nama negara lantaran setahun berselang dia diskors GABA (Gabungan Atletik Bandung). Pasalnya, Karnah diduga menerima suap. GABA melarang setiap atlet amatir menerima uang.
Karnah memang mengakui pernah menerima sejumlah uang. Namun, katanya, uang itu bukan untuk suap dalam kompetisi tapi merupakan bantuan dari beberapa pihak untuk biaya pendidikannya di Sekolah Guru Pendidikan Djasmani (SGPD) Bandung dan kemudian dilanjutkan ke IKIP Bandung.
“Karnah menyatakan bahwa apa yang telah diterimanya itu berupa uang, tidak ada hubungannya dengan keolahragaan, akan tetapi semata-mata karena dia sebagai murid yang terlantar hidupnya,” tulis majalah Aneka, 20 Oktober 1959.
Baca juga: Enam Pelari Terbaik Indonesia
Karnah akhirnya memilih fokus ke kuliahnya di IKIP Bandung. Sejak 1962, sebagai mahasiswi serta anggota Dewan Mahasiswa (Dema) IKIP yang begitu mengagumi Bung Karno, Karnah menjadi aktivis dan acap memberi orasi. Dia bahkan dikabarkan sampai ikut Gerwani, organisasi perempuan yang kerap dianggap sayap PKI, di Kawali, Ciamis.
Meletusnya Prahara 1965 membalikkan kehidupan Karnah. Sebagai loyalis Bung Karno, dia ikut kena ciduk. Dia digaruk di Banjaran awal November 1965 kemudian disel di Kebonwaru, Bandung.
“Karnah dikenal di kampungnya di daerah Kawali, Ciamis Utara sebagai salah seorang anggota pengurus Gerwani setempat. Ia baru-baru ini kembali dari Bandung ke kampungnya dan karena timbul kecurigaan pada pihak berwajib, Karnah kemudian diamankan (Kepolisian Ciamis),” tulis Kompas, 8 November 1965.
Baca juga: Sarengat yang Melesat
Caci-maki dan kebencian lalu mengalir kepadanya sebagai korban perubahan besar politik di tanah air. Rumah Karnah di Bandung sampai dibakar massa. Sejumlah piagam penghargaan dan sertifikat ikut hangus. Kehidupan rumahtangganya dengan Karya Natasasmita sejak 1962 juga hancur. Lantaran tak ingin suaminya ikut dikira antek PKI, Karnah memilih menceraikannya.
Tapi Karnah tak sampai setahun di Kebonwaru, dia dibebaskan pada 1966. Penahanan itu bukan kali terakhir Karnah jadi penghuni hotel prodeo. Meletusnya Malari (Malapetaka 15 Januari) 1974, di mana Karnah juga ikut terlibat, membuatnya kembali dijebloskan ke penjara sampai 1978.
Ganti Kelamin, Ganti Nama
Usai menjadi tahanan Malari, Karnah menikah lagi. Namun, pernikahan dengan Ganda Atmadja hanya berlangsung selama setahun. Karnah terpaksa bercerai karena kejadian langka menimpanya.
Karnah, tulis Poskota 8 Juni 2007, mengalami perubahan alat kelamin setelah berziarah ke makam Bung Karno pada 1979 dan bermimpi bahwa dia akan menikah dengan perempuan. Ajaibnya, lambat-laun fisiknya, termasuk alat kelamin, berubah.
Baca juga: Kisah Iwan Berubah Menjadi Vivian
Karnah pun mengganti namanya menjadi Iwan Setiawan. Setahun kemudian, Iwan menikah dengan perempuan bernama Tuti Pudjiastuti. Mereka dikaruniai seorang putra.
Terlepas dari kejadian ajaib –yang menurut medis, Karnah mengalami gangguan perkembangan seksual langka– itu, kehidupan Iwan dan keluarganya begitu memprihatinkan. Dia sempat menjadi buruh tani di Dusun Noong, Desa Sukahurip, Cisaga, Ciamis untuk menghidupi keluarganya.
Penghargaan dari pemerintah baru datang pada 2007. Kementerian Pemuda dan Olahraga memberi bantuan uang dan rumah kepada Karnah alias Iwan Setiawan dan beberapa mantan atlet berprestasi Indonesia lainnya.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar