Ary Sudarsono si Peluit Emas
Gagal jadi pemain bintang, Ary Sudarsono justru go-internasional sebagai wasit. Memulainya di Filipina.
SESEKALI ia ambil jeda untuk menyalakan rokok, Ary Sudarsono bercerita banyak tentang kariernya sebagai pemain bola basket. Sambil diselingi menghembuskan asap dari mulutnya, ia juga mengisahkan olahraga tersebut sempat membawanya ke negeri tetangga sebelah utara Sulawesi: Filipina.
Bola Basket sudah mendarah daging buatnya. Olahraga inilah yang dipilihnya sebagai jalan hidup sejak kecil. Meski tak selaras dengan cita-cita, ia enggan lempar handuk. Gagal sebagai pemain, ia cari jalan lain dengan meretas reputasi sebagai pengadil lapangan.
Kisah perantauannya ke Filipina bermula dari pertemuannya dengan timnas Filipina di sela jadwal cabang basket putra di SEA Games 1979, Jakarta.
“Filipina menjelang semifinal mau latihan enggak ada lapangan. Saya dipanggil sama Perbasi untuk bantu cari lapangan dan mendampingi mereka. Kebetulan saya lagi ngajar juga di Kanisius. Jadilah mereka latihan di Kanisius. Saya juga ikutan latihan bermain,” kata Ary kepada Historia.
Baca juga: Salam Olahraga! Apa Kabar Ary Sudarsono?
Melihat cara bermain Ary yang ciamik dan beda dari rata-rata pemain timnas basket Indonesia, pihak San Miguel yang jadi sponsor Filipina saat itu terpesona. Saat itu Ary masih aktif sebagai pemain meski sejak 1978 sudah tak lagi di timnas. Pihak San Miguel langsung menawari Ary untuk bermain di Negeri Pinoy itu.
Alih-alih langsung menerima, Ary mendiskusikan tawaran itu dengan sang ayah, Sudarsono Brotomidjojo, terlebih dulu. “Saya bilang, kayaknya saya mau ke luar negeri. Papa enggak sanggup karena enggak punya uang. Tapi saya bilang, ada yang ongkosin. Ya sudah, Bismillah saja. Seminggu setelah penutupan SEA Games, ada telefon dari Kedutaan Filipina bahwa saya juga ditawarkan kuliah di sana,” sambungnya.
Ary berangkat merantau ke Filipina pada Januari 1980. Ia diberi kesempatan masuk tim Masagana 99, tim semi-pro yang namanya selaras dengan Program Swadaya Beras Presiden Ferdinand Marcos sejak 1962. Sebagaimana dijanjikan San Miguel, Ary juga diongkosi kuliah di jurusan komunikasi massa University of Santo Tomas.
Alhasil, sampai sekarang Ary masih fasih berbicara bahasa Tagalog. “Kalau ketemu orang Filipina, ya gue masih bisa bahasa Tagalog. Belajarnya biar cepat ya pacaran sama cewek Filipina. Mereka kan juga sebenarnya bahasanya ‘Taglish’, Tagalog-English, campur-campur,” ujarnya.
Di tim Masagana 99, Ary lebih dulu diberi program latihan khusus sendiri selama tiga bulan. Maklum, masih pemain baru berstatus titipan sponsor. Namun setelah menjalani “orientasi” tiga bulan itu, Ary tak jua diberi kesempatan tampil oleh pelatihnya, Boy Afable.
“Ini sudah enam bulan kompetisi, saya enggak pernah main. Saya hanya jadi pemain cadangan ke-12. Saya tanya pelatih bahwa saya mau main. Dikasihlah kesempatan jadi cadangan kesembilan di tim kedua. Tapi dikasih latihan tambahan untuk dilakukan di rumah,” tutur Ary.
Sial buat Ary. Ia justru dihantam cedera akibat ulahnya sendiri. Berambisi untuk bisa dimainkan, Ary melakoni program latihan yang diberikan lebih dari porsinya.
“Dasar saya geblek. Latihan beban saya hanya boleh 20kg sebenarnya. Saya nyolong-nyolong masuk gym latihan angkat beban 60kg dengan harapan kaki kuat dan makin bisa pegang ring lah. Cederalah saya. Apes banget. Kena penyempitan saraf,” ujarnya sambil menunjuk bagian punggungnya.
Baca juga: Berlatih Ala Bruce Lee
Di rumahsakit, Ary kena omel sang pelatih. Beruntung biaya pemulihan di-cover San Miguel. Butuh tiga bulan buat Ary memulihkan kondisi fisik. Tetapi setelah pulih, pihak sponsor melihat “bakat” lain Ary di basket selain jadi pemain, yakni jadi wasit.
“Dipanggil sama pihak sponsor. Dibilang, ‘Elu kan punya cita-cita angkat (nama) Indonesia. Kalau jadi pemain sampai tua enggak bakal tim Indonesia juara. Masuk tiga besar Asia aja susah. Elo jadi pelatih juga dihadapkan kenyataan beratnya pembinaan. Satu-satunya jalan kalau mau lihat dunia mengangkat nama Indonesia, belajar jadi wasit’, katanya,” sambung Ary.
Beralih jadi Pengadil Lapangan
Ary akhirnya melepas asanya jadi pemain top di tahun 1982. Di tahun itu dia memilih ikut kursus wasit di Filipina, hingga mendapat sertifikat internasional (FIBA) atas nama Filipina. Mulai 1983, ia mulai melanglang-buana mewasiti laga-laga basket. Tahun 1985 ia baru pulang ke Tanah Air.
“Semenjak itu karier saya bagus di perwasitan. Saya sempat pimpin 12 pertandingan final internasional kurun 1983-1985. Sampai sekarang belum pernah dipecahin (wasit Indonesia lainnya). Ada (final) Willam Jones Cup, ada Pesta Sukan, ada Kejuaraan Asia Putri, ada pra olimpiade,” katanya.
Moncernya karier Ary utamanya sejak menerima anugerah “Golden Whistle” dari FIBA Asia pada November 1983, tak lama setelah Kejuaraan Asia di Hong Kong. Dari situlah ia mulai dijuluki “Si Peluit Emas” alias The Golden Whistle.
“Akhir 1983 setelah Kejuaraan Asia saya dipanggil Sekjen Asia yang dari Korea (Presiden FIBA Asia Lee Byung-hee, red.). Dia umumkan penerima ‘The Golden Whistle Award’ tahun ini, dipanggillah nama saya, Mr. Sudarsono Ary from Indonesia. Nangis gue di situ. ‘Indonesia Raya’ berkumandang. Kebayang tampang bapak gue yang setahun sebelumnya meninggal. Dalam hati, bapak saya mesti lihat nih, akhirnya dapat juga (penghargaan internasional),” kenang Ary.
Ary diakui sebagai wasit yang keputusannya tak pernah bisa ditentang pemain. Itu berlaku baik di Indonesia maupun di mancanegara.
“Sampai pernah koran Bangkok Post menulis, ‘Peluit yang muncul dari wasit ini tak pernah diprotes. Punya ilmu apa?’ Saya enggak punya ilmu apa-apa. Hanya saya menyadari bahwa saya wasit top, harus kasih lihat pemain, siapa gue. Dan gue harus tiup tapi dengan senyum. Jadi setiap foul gue tiup tapi dibarengi senyum, jadi pemain enggak protes,” lanjutnya lagi.
Dari profesinya itu, Ary mengingat gaji wasit di laga-laga internasional yang paling bikin kantongnya gendut. “Di Indonesia zaman saya kejuaraan resmi Perbasi, per game sekitar Rp100 ribu. Di internasional saya bisa terima USD250 dengan kurs masa itu (1984) Rp3000 per satu dolar. Paling tinggi di William Jones Cup. Saya per game USD400,” papar Ary.
Namun, karier sebagai wasit dilakoninya hanya sampai 1985. Pasalnya, Ary pilih menerima awaran beasiswa dari Alabama Sport Academy, Amerika Serikat. Di Negeri Paman Sam itu ia mendalami studi olahraga terkait perwasitan, kepelatihan, dan promosi olahraga hingga 1986.
“Kebetulan kontrak saya juga sudah habis sama San Miguel Beer itu akhir Desember 1986. Sempat ditawarkan jadi warga negara Filipina saja. Tapi setelah papa meninggal, rupanya kehidupan ibu harus didampingi karena saya anak tertua,” terangnya.
Beruntung beberapa waktu sebelum pulang ke Tanah Air, ia bertemu pengusaha Aburizal Bakrie di sebuah hotel tempat Ary bekerja sambilan sebagai GLO (Guest Liaison Officer) di Manila. Ia ditawarkan pekerjaan hingga sepulangnya ke Indonesia ia tak menganggur.
“Seminggu sebelum pulang, saya ketemu tamu-tamu dari Indonesia, termasuk Aburizal Bakrie. Dari obrolan, saya dikasih kartu nama. Sama dia, gue dikasih kerjaan di divisi pipa. Waduh, gue enggak ada background pipa, bingung. Biasa lihat bola, ini disuruh lihat pipa lagi,” cetus Ary.
Ary lalu memutuskan untuk menjajal pekerjaan baru itu. Sebelum meninggalkan Filipina, Ary mendapat surprise dari para petinggi Gintong Alay, badan olahraga yang menggenjot program prestasi Filipina.
“Waktu saya di Filipina ikut gabung sama yang namanya Gintong Alay. Macam Program Indonesia Emas gitu lah. Yang mimpin anaknya (Ferdinand) Marcos. Waktu saya mau pulang, dipestakan. Farewell party-nya dibikin sama Imee Marcos. Luar biasalah Filipina, punya kenangan banyak di sana,” kata Ary.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar