Adiós Lorenzo Sanz!
Figur yang mengembalikan citra Madrid sebagai raja Eropa.
SELAIN Italia, Spanyol jadi negara Eropa terparah dalam pandemi COVID-19. Per Senin (23/3/2020), negeri matador itu sudah mencatatkan lebih dari 33 ribu warganya positif terjangkit virus corona. Sebagaimana Jakarta, ibukota Madrid pun merupakan epicenter pandemi yang sudah merenggut lebih dari 2.100 jiwa di seluruh dunia itu. Salah satunya, eks bos klub raksasa Real Madrid Lorenzo Sanz Mancebo.
Lorenzo Sanz wafat pada Sabtu (21/3/2020) malam waktu setempat atau Minggu 22 Maret 2020 WIB setelah delapan hari dirawat di Hospital Universitario Fundación Jiménez Díaz, Madrid, di usia 76 tahun. Ia positif terpapar virus corona dan mengalami demam tinggi hingga kemudian menderita gagal ginjal.
Bagi segenap stakeholder klub terbesar ibukota itu, Sanz dikenal sebagai sosok yang mengembalikan kejayaan Madrid di persepakbolaan Eropa setelah melempem di lebih dari tiga dekade. Dua gelar Liga Champions (1998 dan 2000) merupakan warisannya sepanjang 15 tahun mengabdi di klub.
“Hari ini kita mengenang Lorenzo Sanz, yang ikut menjadi korban dalam tragedi (pandemi COVID-19) ini. Beliau presiden yang memberi kita gelar Eropa setelah penantian 32 tahun. La Séptima (gelar Liga Champions ketujuh), kemudian diikuti La Octava (gelar kedelapan) dua tahun berikutnya kala Real Madrid kembali ke tempatnya yang layak dalam buku sejarah, adalah berkat dia,” ujar Presiden Real Madrid Florentino Pérez di laman resmi klub, 22 Maret 2020.
“Kita kehilangan seorang madridista hebat yang mendedikasikan sebagian besar hidupnya dan keluarganya untuk Real Madrid. Gairahnya terhadap Real Madrid akan selalu hidup. Kini kita menghormati kenangan dan warisannya. Lorenzo layak mendapat pengakuan dan penghormatan tertinggi,” lanjutnya.
Madridista Sejak Kanak-Kanak
Tidak banyak yang bisa diketahui tentang latarbelakang keluarga Lorenzo Sanz. Obituari yang dituliskan Sid Lowe bertajuk “Lorenzo Sanz: The Man Who Recovered the European Cup for Real Madrid” di The Guardian, Minggu (22/3/2020), hanya menyebutkan sosok kelahiran Distrik Chamberí, Madrid, 9 Agustus 1943 itu merupakan anak bungsu dari 10 bersaudara.
Sanz tumbuh di Distrik Carabanchel. Di sanalah ia kenal dan berkawan dengan Ramón Mendoza yang kelak ia gantikan sebagai presiden Real Madrid. Ayah Sanz mantan jawara tinju amatir yang turut jadi fans die hard Real Madrid. Karena itulah sejak kanak-kanak Sanz sudah jadi madridista.
Sejak usia 10 tahun Sanz loyal menyaksikan El Real berlaga di stadion Santiago Bernabéu bersama neneknya, sekaligus menjajakan air minum kepada para penonton lain. Bersama ayahnya ia turut jadi saksi kala Madrid merebut gelar kedua European Cup (kini Liga Champions) di kandang sendiri pada 30 Mei 1957. Saat itu Madrid menjungkalkan Fiorentina 2-0 di final berkat penalti Alfredo Di Stéfano dan gol Paco Gento.
Beranjak dewasa, menurut Steven G. Mandis dalam The Real Madrid Way: How Values Created the Most Successful Sports Team on the Planet, Sanz sempat berkiprah di lapangan hijau sebelum beralih jadi pebisnis. Hingga usia sekolah menengah atas, Sanz pernah membela beberapa klub level Tercera División regional Comunidad de Madrid alias kasta keempat Liga Spanyol, seperti RCD Carabanchel dan CD Puerta Bonita. Posisinya adalah kiper.
Baca juga: Stadion Metropolitano dan Warisan Masa Lalu
Mulai 1970-an, ia terjun ke bisnis properti dan mulai naik daun sebagai konglomerat baru satu dekade berikutnya. Kala Mendoza, kawan kecilnya dari Distrik Carabanchel, menjadi presiden Real Madrid pada 24 Mei 1985, Sanz diajak menjadi salah satu anggota dewan direksi klub. Bersama Mendoza, Sanz turut menggodok strategi baru buat klub yang di awal 1980-an miskin gelar di kancah domestik.
“Strategi baru klub adalah mengembangkan dan mempromosikan pemain-pemain dari akademi muda La Fábrica. Pemain-pemain muda lokal itu kemudian membawa kesuksesan hingga memunculkan julukan ‘La Quinta del Buitre’ yang mengambil sebutan dari julukan pemain andalan mereka, Emilio Butragueño (‘El Buitre’). Empat andalan lokal lainnya kala itu adalah Manuel Sanchís, Martín Vásquez, Míchel del Campo, dan Miguel Pardeza,” tulis Mandis.
Menyusul sukses Madrid menjuarai La Liga lima musim berturut-turut (1985-1990), jabatan Sanz naik hingga menjadi wakil presiden klub. Sanz akhirnya menggantikan kawan lamanya itu sebagai suprema klub, usai Mendoza dipaksa mundur oleh keputusan mayoritas dewan direksi.
“Sanz dipilih sebagai presiden Real Madrid pada 26 November 1995 menggantikan Mendoza yang dipaksa turun jabatan setelah klub menumpuk utang besar hingga 1,2 miliar peseta. Mendoza juga sangat kentara memanfaatkan popularitas klub untuk kepentingan politiknya,” ungkap Gabriele Marcotti dalam biografi Fabio Capello, Portrait of a Winner.
Baca juga: Iker Casillas, kiper legendaris jebolan La Fabrica
Sebagai presiden Sanz justru enggan mengulangi strategi pendahulunya. Ia merasa klub harus punya imej baru yang diharapkan berbanding lurus pada keuntungan di kemudian hari. Sanz menargetkan Madrid harus bisa kembali mengglobal dengan menjadi raja Eropa. Toh Madrid sudah terlalu lama puasa gelar Eropa sejak terakhir kali juara Piala Champions pada 1966.
Maka itu di awal kepemimpinannya Sanz tak segan merogoh koceknya sendiri untuk mendatangkan sejumlah pemain bintang macam Davor Šuker, Predrag Mijatović, Clarence Seedorf, dan Roberto Carlos. Untuk posisi entrenador (pelatih), Sanz merekrut Capello, pelatih asal Italia yang sebelumnya sukses membanjiri AC Milan dengan empat gelar Serie A dan masing-masing satu Piala Champions dan Piala Super Eropa pada 1994.
Mati dengan Tenang
Mendatangkan sejumlah bintang ke Madrid tak serta-merta mendatangkan gelar ke klub yang dulunya bernama Royal Madrid itu. Sambil menantinya, Sanz terus aktif di bursa transfer untuk berturut-turut mendatangkan beberapa pemain bintang lain yang tentunya tak murah.
Hingga tahun 2000, tak terhingga peseta yang berasal dari pinjaman bank dikeluarkan Sanz untuk mendatangkan para bintang. Selain Míchel Salgado yang kelak menjadi menantunya, Sanz juga mendatangkan Christian Karembeu yang diincar klub Barcelona, hingga Nicholas Anelka yang pada 1999 menjadi pemain termahal dengan nilai transfer 5,54 miliar peseta (USD38 juta) dari Arsenal.
“Ditambah Geremi Njitap, Elvir Baljić, Júlio César, Rodrigo, Edwin Congo, dan Iván Helguera. Ada juga yang didapat dengan free transfer seperti Christian Panucci dan Steve McManaman. Namun yang tak disadari fans dan publik adalah, utang Madrid kian menggunung hingga mencapai 9 miliar peseta dari pinjaman bank. Sukses di lapangan ternyata tak berbanding lurus dengan kesuksesan finansial,” singkap Sid Lowe dalam Fear and Loathing in La Liga: Barcelona, Real Madrid and the World’s Greatest Rivalry.
Baca juga: Ronaldinho dan standing ovation fans Real Madrid
Tidak hanya pemain, Sanz juga “hobi” gonta-ganti pelatih. Ia dikenal tak harmonis dengan sejumlah pelatih yang ia rekrut. Sepanjang kepresidenannya, Sanz pernah menggunakan jasa Jorge Valdano, Vicente Del Bosque, Arsenio Iglesias, Capello, Jupp Heynckes, José Antonio Camacho, Guus Hidding, dan John Toshack sebagai pelatih Madrid.
Biaya tinggi yang dikeluarkan Sanz memang akhirnya membuat Madrid sukses merajai Eropa dua kali. Utamanya, kala klub menuntaskan dahaga gelarnya selama 32 tahun pada musim 1997-1998. Di final Champions kontra Juventus di Amsterdam Arena, 20 Mei 1998, Mijatovic menjadi pahlawan dengan gol tunggalnya di menit ke-66. Momen itu kemudian jadi bab baru bagi citra Madrid sebagai langganan juara Eropa hingga kini.
“Ketika kami pulang, kami tak pernah melihat begitu banyak warga Madrid tumpah ruah menyambut selebrasi. Momen itu yang mengubah mentalitas Real Madrid. Momen yang sekaligus mengangkat beban sejarah dari pundak kami yang sudah dinanti begitu lama,” kata Fernando Sanz, putra Lorenzo Sanz, yang kala itu juga bermain sebagai bek Real Madrid, dikutip Lowe.
Madrid di bawah Sanz kembali jadi kampiun Champions di musim 1999-2000. Di final yang digelar di Stade de France, Saint-Denis, Prancis, 24 Mei 2000, Madrid menang telak 3-0 dari sesama klub Spanyol, Valencia.
Baca juga: Mula Turnamen Para Juara Eropa
Sayangnya, beberapa bulan setelah itu Sanz gagal mempertahankan jabatannya. Dalam pemilihan tahun itu, kursinya direbut Florentino Pérez yang memenangkan pemilihan suara. Meski Sanz sebagai peletak fondasi “Galácticos” yang kelak disempurnakan Pérez, ia kalah gegara persoalan utang Madrid yang terus membengkak. Selain itu, Pérez menggunakan “senjata” bahwa dia bakal membajak Luis Figo dari tim rival Barcelona.
Setelah kehilangan jabatan presiden, Sanz sempat dua kali lagi menjajal pemilihan yang berujung kandas. Ia kemudian membeli klub medioker, Málaga CF. Pada 2006, Sanz membeli 97 persen saham klub asal Andalusia itu, namun menyerahkan kursi kepresidenan klub untuk dipegang putranya, Fernando Sanz.
Terlepas dari “dosanya” menumpuk utang buat Madrid, kepemimpinan Sanz membuka bab anyar bagi citra Madrid yang tidak hanya disegani di pentas domestik namun juga Eropa, bahkan dunia. Capaian itu merupakan warisan yang takkan dilupakan para madridista, utamanya kala Madrid mengakhiri dahaga gelar Eropa selama 32 tahun pada 1998.
Momen itu pula yang paling dikenang Sanz hingga akhir hayatnya. Ia menyimpan kliping suratkabar AS yang memunculkan headline tentang momen itu di kamar mandinya.
“Bagaimana saya bisa melupakan momen itu? Setiap bangun pagi dan pergi ke kamar mandi, saya selalu melihatnya. Sejarah akan menempatkan saya di tempat yang sepantasnya. Seperti janji saya sebelumnya, saya membawa trofi (Liga Champions) itu kepada raja (Spanyol). Kini saya bisa mati dengan tenang,” tandasnya dikutip Lowe.
Baca juga: Tamu Istimewa Jagoan Eropa
Tambahkan komentar
Belum ada komentar