- Bonnie Triyana
- 11 Feb 2012
- 6 menit membaca
Diperbarui: 6 Mei
INGATAN saya melayang kembali ke empat tahun lampau, pada suatu hari di bulan Februari. Seorang pria tua bertopi menjemput di stasiun Hoofddorp. Tak sepadan dengan usianya, dia tampak masih enerjik. “Buat apa bapak jemput saya di sini? Saya bisa ke Zaandam sendiri,” kata saya. “Ah.. Bung kan tamu, harus saya layani,” balas pria itu sambil menepuk pundak saya seraya menggiring masuk ke ruang tunggu peron. Berlindung dari terpaan angin musim semi yang masih dingin menusuk. Tak lama, kereta datang. Kami duduk saling berhadapan. Dia bicara tentang masa lalunya yang tak putus sampai kereta tiba di stasiun tujuan.
Ingin membaca lebih lanjut?
Langgani historia.id untuk terus membaca postingan eksklusif ini.











