Moersjid, Soeharto dan Senapan Chung
Apa yang terjadi di Istana Bogor pada 2 Oktober 1965 ketika Sukarno mengumpulkan para jenderal?
KETIKA hari hilangnya Letjen TNI Ahmad Yani, Presiden Sukarno berupaya mencari sosok pengganti sementara panglima Angkatan Darat. Selama berjam-jam, Sukarno memilih dan memilah para jenderal yang direkomendasikan. Dari sekian nama, justru tak ada yang ideal di mata Bung Besar.
Sebagaimana disarikan Julius Pour dalam G30S: Fakta atau Rekayasa, Sukarno mengungkapkan kesannya kepada masing-masing calon panglima. Mayjen TNI Moersjid (Deputi I Menpangad) dianggap temperamental. Mayjen TNI Soeharto (Panglima Kostrad) disebut koppig (keras kepala). Mayjen TNI Ibrahim Adjie (Panglima Divisi Siliwangi) punya istri orang Yugoslavia. Mayjen TNI Basuki Rachmat (Panglima Divisi Brawijaya) terganggu kesehatannya. Brigjen TNI Rukman (Kepala Staf Divisi Siliwangi) kurang begitu dikenal. Dan Mayjen TNI Pranoto (Asisten III/Personalia Menpangad) dinilai lamban.
Baca juga: Loyalis Ibrahim Adjie kepada Sukarno
Di kalangan AD sendiri, Moersjid atau Soeharto punya kelayakan masing-masing. Moersjid adalah satu-satunya deputi Yani yang tersisa. Sementara Soeharto yang tergolong perwira paling senior diperhitungkan dari segi senioritasnya.
Sukarno akhirnya memutuskan mengambil alih pimpinan AD dalam komandonya. Dia menetapkan Pranoto sebagai pelaksana tugas harian yang kewenangannya terbatas. Keputusan itu dimaklumatkan esok hari.
Perihal Senjata Chung
Pada 2 Oktober 1965, Sukarno memanggil sejumlah jenderal teras lintas angkatan, termasuk Soeharto dan Moersjid, ke Istana Bogor. Dalam otobiografinya, Soeharto mengatakan kepergiannya ke Bogor naik mobil jip disertai sopir dan ajudannya, Kapten Bob Sudiyo. Sebuah panser mengawal perjalanan mereka.
“Sampai di Istana Bogor kira-kira pukul dua. Nampak di sana sudah ada dr. Leimena, Chaerul Saleh, Pranoto, Leo Wattimena, Omar Dhani,” kata Soeharto kepada Ramadhan K.H. dalam Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya. Kedatangan Soeharto disambut oleh Brigjen Sabur, ajudan Presiden Sukarno.
Baca juga: Senjata yang menyudukan TNI AU dalam peristiwa G30S
Kepada anaknya Siddharta Moersjid (62), Moersjid menuturkan bahwa dalam agenda pertemuan di Istana Bogor, dia berangkat satu mobil bersama Soeharto. Kepergian keduanya yang berbarengan lantaran Soeharto agak canggung kepada Sukarno. Sementara Moersjid suka blak-blakan kalau bicara. Lagipula, kemampuan bahasa Belanda Soeharto terbatas. Itu menyulitkan dirinya bila mendebat Sukarno yang doyan menyisipkan percakapan dalam bahasa Belanda. Jadi, Soeharto butuh kawan menghadapi Sukarno.
Di Istana, suasana tegang meliputi semua yang hadir. Pasalnya, di sana ada Menteri Panglima AU Omar Dhani yang sangat dicurigai pihak AD terlibat dalam G30S. Sukarno mencoba mendinginkan keadaan dengan mengatakan bahwa AU tak tahu-menahu dan sama sekali tak ikut campur.
Soeharto tak terima begitu saja. Toh, dia terpancing juga buka suara. Selanjutnya terjadilah adegan seperti dalam film Pengkhianatan G30S/PKI, yaitu saat Soeharto menyerahkan senapan Chung yang teridentifikasi milik AURI. Senjata itu disinyalir digunakan oleh Pemuda Rakjat –organisasi pemuda yang berafiliasi ke PKI– di kawasan Halim Perdana Kusumah, basis AU. Menurut pengakuan Soeharto, sebelum menuju Bogor, seseorang telah menyerahkan senjata itu kepadanya sebagai hasil rampasan dari Halim. Tapi Soeharto tak menyebutkan siapa nama pengirim barang itu.
“Yang membawa senapan Chung berinisial AURI yang didapat dari penyerangan di RRI adalah Ayah saya. Bukan Pak Harto. Dan senjata tersebut tidak dibungkus seperti dalam film Pengkhianatan G30S/PKI,” ujar Siddharta kepada Historia.
Mendebat Sukarno
Sukarno cukup menyadari penunjukan Pranoto sebagai caretaker akan menuai bantahan. Kendati tak begitu menonjol, bagi sebagian kalangan AD yang anti PKI, Pranoto dianggap dekat ke kelompok kiri. Namun Sukarno menilai, Pranoto adalah satu-satunya jenderal yang bisa diterima kedua belah pihak yang sedang beritikai.
“Nanti kalau suasana sudah tenang, akan aku cari sosok lain,” kata Sukarno dalam surat kepada istrinya, Ratna Sari Dewi sebagaimana dikutip Julius Pour.
Soeharto sendiri hanya bisa bergunjing dalam hati. Film Pengkhianatan G30S/PKI memang menampilkan adegan Soeharto mengkritisi soal penunjukan Pranoto yang akan menimbulkan dualisme kepemimpinan. Dalam otobiografinya, Soeharto secara gamblang menuangkan kekecewaannya terhadap Bung Karno dan Pranoto. Terkhusus Pranoto, Soeharto punya dendam pribadi saat keduanya bertugas di Divisi Diponegoro.
Baca juga: Soeharto penjarakan Pranoto dengan tuduhan terlibat G30S
“Perasaan saya mengenai pengangkatan Jenderal Pranoto sebagai pelaksana harian menyebutkan tidak sreg. Saya kurang percaya kepadanya. Tetapi saya diam saja,” ungkap Soeharto kepada Ramadhan K.H.
Dengan demikian, Soeharto mengancam akan mundur dan lepas dari tanggung jawab menjaga keamanan. Kendati uring-uringan, Soeharto tetap menawarkan solusi. “Satu-satu cara, ialah dengan pidato radio kepada rakyat bahwa saya diberi tugas bertanggung jawab mengenai pemulihan keamanan dan ketertiban oleh Bapak Presiden,” kata Soeharto.
Menanggapi Soeharto yang mutung, Sukarno mencoba menengahi. Dalam arahannya menyikapi yang tak setuju dengan Pranoto, Sukarno kukuh menyatakan dirinya sebagai pemegang kendali AD.
“Saat itu, Ayah saya langsung berdiri dan mengatakan bahwa ‘sebagai Panglima Tertinggi, Presiden tidak bisa menjadi Panglima AD,” jelas Siddharta.
Baca juga: Moersjid, jenderal pemarah yang disegani Sukarno
Interupsi Moersjid direspons oleh Sukarno. “Menurutmu siapa yang bisa?”
Moersjid hanya menunjuk dengan tangannya dan mengatakan, “Dia,” seraya mengarah kepada Soeharto. Pada momen itulah, Sukarno menjuluki Moersjid sebagai jenderal “te koordaat” alias terlalu tegas.
Kursi Berdarah
Berpuluh tahun berselang. Era Sukarno telah lama tumbang. Soeharto berkuasa dengan rezim Orde Baru-nya.
Megawati Sukarnoputri pernah bertanya kepada ayahnya, Presiden Sukarno, di hari-hari kritis kepemimpinannya. Mengapa dia menuruti keinginan Soeharto?
“Ah, dia begitu menginginkannya,” demikian jawaban Sukarno ditirukan Megawati kepada jurnalis kawakan Belanda Willem Oltmans pada 1995, dalam memoar Mijn Vriend Sukarno.
Moersjid sendiri kepada Siddharta di kemudian hari mengakui bahwa dirinya tak punya ambisi sama sekali jadi orang nomor satu di AD. Kata Moersjid, “Papa ngga pengin duduk di kursi yang berdarah-darah itu, Da,” kenang Siddharta.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar