Jaksa IPT 1965: Negara Indonesia Harus Bertanggungjawab
Persidangan di hari pertama diawali dengan pembacaan dakwaan jaksa. Sidang dipimpin hakim dari Afrika Selatan yang bereputasi internasional.
LIMA puluh tahun lalu periode tergelap dalam sejarah Indonesia dimulai dengan pembunuhan ratusan ribu warga tak berdosa, penahanan ribuan orang, penyiksaan, penghilangan paksa, kekerasan seksual dan berbagai kejahatan di luar hukum lainnya, demikian dikatakan oleh Nursyahbani Katjasungkana, kordinator Pengadilan Rakyat Internasional kasus 1965 di Den Haag, Belanda dalam pidatonya pagi ini.
“Tidak hanya kejahatan terhadap kemanusiaan yang pernah terjadi, korban dan aktivis HAM pun mendapatkan gangguan. Kekerasan tetap berlanjut, bahkan aktivis HAM saat ini dituduh sebagai bagian dari gerakan komunisme gaya baru,” ujar Nursyahbani.
Rangkaian persidangan dimulai dengan pembacaan dakwaan oleh Jaksa yang dipimpin oleh advokat senior Todung Mulya Lubis. Dalam pembacaan dakwaannya, jaksa menuntut Negara Indonesia bertanggungjawab atas kejahatan dan kekerasan kemanusiaan yang diatur dalam hukum internasional.
Menurut jaksa, Negara Indonesia, khususnya Angkatan Darat di bawah Jenderal Soeharto (kemudian presiden), berperan sebagaimana halnya pemerintah yang berkuasa saat itu melakukan kejahatan kemanusiaan dengan menggunakan milisi sipil.
Negara Indonesia, dalam hal ini Angkatan Darat dan milisi sipil yang berada di bawah perintahnya, menurut jaksa telah melakukan pembunuhan terhadap ratusan ribu anggota dan simpatisan PKI, pemenjaraan di luar hukum, penangkapan paksa, penghilangan paksa, penyiksaan dan juga kekerasan seksual.
Ada sembilan kejahatan yang dijadikan tuntutan jaksa kepada pihak Negara Indonesia, yakni pembunuhan, perbudakan (kerja paksa), pemenjaraan, penyiksaan, kekerasan seksual, penganiayaan (persecution) terhadap mereka yang dicabut kewarganegaraannya, penghilangan paksa, penganiayaan melalui propanda dalam penulisan sejarah, penguasaan informasi di media massa seperti film. Jaksa juga menuntut Amerika Serikat, Inggris dan Australia atas keterlibatan mereka baik secara langsung maupun tidak atas berbagai kejahatan kemanusiaan yang pernah terjadi di Indonesia pada kurun 1965-1966.
Sampai dengan berita ini diturunkan, jalannya persidangan masih berlangsung untuk mendengarkan kesaksian para saksi yang datang dari kalangan peneliti dan saksi korban. Sidang yang dipimpin oleh Zak Yacoob ini akan digelar sampai 13 November mendatang. Zak adalah mantan hakim Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan yang berpengalaman menangani berbagai isu kemanusiaan di negerinya dan memiliki reputasi internasional.
[pages]
Tambahkan komentar
Belum ada komentar