top of page

Sejarah Indonesia

Advertisement

Aparat Militer Larang Seminar Sejarah di Universitas Negeri Malang

Panitia membatalkan seminar atas desakan Kodim dan Korem di Malang. Alasan pembatalan sumir dan menciderai iklim kebebasan akademis.

9 Okt 2018

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Pamflet seminar dan surat pemberitahuan penundaan/pembatalan (Foto: ist)

SEMINAR sejarah bertajuk “Perubahan dan Kesinambungan Historis dalam Perspektif Keilmuan dan Pembelajaran” yang semula bakal digelar pada 24 Oktober mendatang dibatalkan setelah aparat militer mendesak pihak kampus Universitas Negeri Malang (UM).


Dalam surat pemberitahuan bernomor 10.10.85/UN32.7.5.3/KP/2018 yang diperoleh redaksi Historia.id, alasan pembatalan terdiri dari lima butir, antara lain mengkhawatirkan meluasnya pemahaman keliru dari masyarakat setempat yang beredar di media sosial hingga jadi sorotan pihak keamanan Kota Malang. Selanjutnya, penundaan itu merupakan hasil negosiasi panitia (Fakultas Ilmu Sosial Jurusan Sejarah UM) dengan pihak Komando Resort Militer (Korem) dan Komando Distrik Militer (Kodim) Kota Malang.


Seminar sedianya akan menghadirkan empat pembicara, yakni Asvi Warman Adam (sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia/LIPI), Sri Margana (sejarawan Universitas Gajah Mada), Abdul Syukur (sejarawan Universitas Negeri Jakarta) dan Ari Sapto (sejarawan/Ketua Jurusan Sejarah UM). Dalam surat penundaan seminar yang mestinya dihelat di Aula Utama A3 Lantai 2 UM itu disebutkan pula bahwa penundaan berlangsung untuk batas waktu yang belum ditentukan.


Sejarawan UGM Sri Margana yang diundang sebagai pembicara mengherankan alasan pembatalan tersebut.


“Iya, saya dikirimi surat resmi yang ditandatangani (Ari Sapto selaku Ketua Jurusan Sejarah FIS UM dan Reza Hudiyanto selaku ketua pelaksana). Alasannya karena dianggap pihak Korem maupun militer, akan mengganggu stabilitas keamanan,” kata Sri Margana kepada Historia.


Padahal menurutnya tema seminar bertema umum dan tak ada kaitannya dengan politik. “Tema akademik, kok. Saya juga belum membayangkan nanti mau membicarakan apa. Karena kan memang tema besarnya historiografi dan metodologi sejarah,” sambungnya.


Doktor sejarah alumnus Universiteit Leiden, Belanda itu menduga kehadiran koleganya, Asvi Warman Adam, jadi pemicu larangan seminar ini. Sebagaimana diketahui, pada 26 Juli 2018 Asvi dikukuhkan sebagai professor riset LIPI, terkait tiga periode perdebatan dalam historiografi peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S). Asvi juga sejarawan yang selama ini dikenal luas giat menganjurkan penulisan sejarah kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh rezim Soeharto.


“Mungkin karena ada nama Pak Asvi di situ dan bidang yang ia tekuni kan memang politis dan sensitif,” imbuh Sri Margana singkat.


Perihal ini, Asvi pun turut memberi klarifikasi. Bahwa ia juga dikirimi surat yang sama Rabu (10/10/2018) petang tanpa ada penjelasan lebih lanjut dari pihak panitia.


“Tema seminar kan sangat umum. Para pembicara yang lain kan juga macam-macam (bidangnya), pasti tidak semua setuju dengan saya. Saya juga belum memberikan judul (pembicaraan). Belum juga saya siapkan materi apa. Bisa saja yang saya sampaikan makalah tentang (sejarah pertempuran) 10 November 1945,” timpal Asvi dihubungi Historia.


Yang dipermasalahkan Asvi adalah alasan penundaan atau pembatalan seminar itu. Terutama soal poin di mana penundaannya setelah ada konsultasi dengan pihak aparat Korem dan Kodim Kota Malang.


“Apa hubungannya? Agak aneh itu kalau dibatalkan. Apalagi undangan sudah disebar. Berita yang beredar di media sosial juga tidak dijelaskan. Lalu panitia berkonsultasi dengan Kodim dan Korem, itu kenapa? Biasanya perizinan kan dari kepolisian. Mestinya juga kalau kegiatan di kampus mestinya tak perlu minta izin. Kalau ada pihak yang tidak setuju, menurut hemat saya pribadi, memang ada panitia yang takut,” tandasnya.


Menurut Asvi semua kegiatan di kampus yang bersifat akademik, mestinya bebas digelar. Dalam Pasal 8 ayat 3 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi, di mana kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik dan otonomi keilmuan di perguruan tinggi merupakan tanggung jawab civitas akademika.


Sayangnya, pihak kampus UM tak juga bersedia memberi keterangan soal pembatalan seminar ini. Narahubung seminar itu, Arif Subekti, tak kunjung mengangkat telepon kala dihubungi Historia.


Sementara ketua pelaksana Reza Hudiyanto, malah sempat mengaku tak tahu-menahu tentang seminar itu? “Oh, saya tidak tahu soal seminar itu, Mas. Maaf sebentar, saya sedang repot,” singkatnya. Sampai berita ini diturunkan, pihak Universitas Negeri Malang belum bisa dihubungi.



Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian

Advertisement

Tedy Jusuf Jenderal Tionghoa

Tedy Jusuf Jenderal Tionghoa

Tedy masuk militer karena pamannya yang mantan militer Belanda. Karier Tedy di TNI terus menanjak.
Alex Kawilarang Menolak Disebut Pahlawan

Alex Kawilarang Menolak Disebut Pahlawan

Alex Kawilarang turut berjuang dalam Perang Kemerdekaan dan mendirikan pasukan khusus TNI AD. Mantan atasan Soeharto ini menolak disebut pahlawan karena gelar pahlawan disalahgunakan untuk kepentingan dan pencitraan.
Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Tan Malaka pertama kali menggagas konsep negara Indonesia dalam risalah Naar de Republik Indonesia. Sejarawan mengusulkan agar negara memformalkan gelar Bapak Republik Indonesia kepada Tan Malaka.
Perang Jawa Memicu Kemerdekaan Belgia dari Belanda

Perang Jawa Memicu Kemerdekaan Belgia dari Belanda

Hubungan diplomatik Indonesia dan Belgia secara resmi sudah terjalin sejak 75 tahun silam. Namun, siapa nyana, kemerdekaan Belgia dari Belanda dipicu oleh Perang Jawa.
Dewi Sukarno Setelah G30S

Dewi Sukarno Setelah G30S

Dua pekan pasca-G30S, Dewi Sukarno sempat menjamu istri Jenderal Ahmad Yani. Istri Jepang Sukarno itu kagum pada keteguhan hati janda Pahlawan Revolusi itu.
bottom of page