Yang Raib Ditelan Bumi
Panji hilang tak berbekas. Seorang tokoh lasykar yang dikenang sebagai jagoan, pahlawan sekaligus pengkhianat
DI TIMUR Jakarta dan sekitarnya pada era 1945-1947, tak ada yang tak mengenal nama Panji. Lelaki muda yang tak ketahuan tahun lahir dan kematiannya itu, populer sebagai jagoan yang memiliki banyak pengikut. Dalam buku Wij Werden Geroepen (Kami yang Dipanggil), Alfred van Sprang melukiskan kharismanya secara detail.
“Meskipun berperawakan kecil, tapi ia memiliki sorot mata tajam yang menuntut kepatuhan dari orang-orangnya” ujar jurnalis perang terkemuka Belanda tersebut.
Haji Faridi (73), membenarkan apa yang ditulis Sprang. Dari Siti Hawa, ibunya yang pernah dinikahi Panji, ia mendapat keterangan bahwa sebagai bekas centeng ternama di Jatinegara, Panji pun tersohor akan kesaktiannya.
“Kata ibu saya, ke mana-mana Pak Panji itu selalu mengenakan pici berwarna merah,” ungkap anak tiri Panji tersebut.
Mengenai soal asal usulnya, hingga kini hal tersebut masih menjadi misteri. “Menurut kabar yang saya dapat, Panji itu bukan orang Betawi asli tapi datang dari wilayah kulon (Jawa Barat),” ujar sejarawan Roesdy Hoesein.
Posisi Panji secara politis dan sosial menjadi kuat manakala pada sekitar tahun 1945 ia menikahi Siti Hawa, yang tak lain adalah keponakan dari Haji Darip, jagoan sekaligus pahlawan terkemuka Klender. Bahkan menurut salah seorang putra Haji Darip bernama Achmad Khurriyani (73), saat ayahnya bergabung dengan LRDR (Lasykar Rakjat Djakarta Raja), Panji pun ikut pula bergabung.
Baca juga: Kiai dan Jagoan dalam Perang Kemerdekaan
Mereka lantas menjadi mitra yang ideal. Panji yang sangat menghormati Haji Darip kerap mendukung upaya-upaya salah satu tokoh legendaris Betawi tersebut, termasuk memasok logistik dan sumber daya manusia bagi LRDR. Terakhir dia ditempatkan sebagai salah satu komandan batalyon LRDR di wilayah Cikarang, Bekasi.
Hubungan Haji Darip dan Panji menjadi buruk setelah bentrok besar yang terjadi antara LRDR-TRI (Tentara Repoeblik Indonesia) pada April 1947. Pasca kejadian itu, kedua jawara tersebut memilih jalan berseberangan: Haji Darip bergabung dengan TRI sedang Panji bergabung dengan militer Belanda dengan membentuk HMOT (Pasukan Non Organik Sang Ratu) pada sekira Juni 1947.
Baca juga: Pasukan Bumiputera Pembela Ratu Belanda
“Haji Darip merasa sangat kecewa terhadap keputusan Panji itu,” ujar sejarawan asal Australia Robert B. Cribb kepada Historia lewat surat elektronik.
Soal kekecewaan itu, diakui juga oleh Achmad Khurriyani. Kendati secara langsung, ia tak pernah mendengar Haji Darip membicarakan secara khusus mengenai Panji, namun dari salah seorang anak buah ayahnya bernama Abdurrachman, Khurriyani menyimpulkan Haji Darip tak menyukai keputusan Panji tersebut.
“Pak Abdurrachman bilang ke saya, Panji itu telah menyimpang dari perjuangan,” kata lelaki yang akrab dipanggil sebagai Ustadz Uung itu.
Menurut Cribb, bisa jadi keputusan Panji membelot ke kubu Belanda karena rasa dendamnya kepada Beruang Merah (sebuah batalyon TRI yang ikut menghancurkan pasukannya di Cikarang pada Insiden April 1947). Rasa dendam itu kelak dimanfaatkan oleh militer Belanda dengan memberikan fasilitas pelatihan militer dan pasokan senjata serta logistik kepada HMOT.
“Mereka memiliki andil besar dalam kejatuhan Karawang dan Cikampek ke tangan Belanda pada 23 Juli 1947,” ujar Cribb kepada Historia.
Namun tuduhan tersebut ditepis oleh Haji Faridi. Menurutnya, tak ada cerita jika Panji itu menjadi pengkhianat. Alih-alih menyeberang ke pihak Belanda, ia mempercayai saat membentuk HMOT, Panji tengah berstrategi laiknya pahlawan Teuku Umar saat menghadapi kompeni Belanda di Aceh. Pendapat itu tak sepenuhnya salah jika mengingat kejadian larinya sebagian besar anggota HMOT (dengan membawa senjata lengkap) dari markas militer Belanda pada November 1947.
Faridi haqul yakin selama hidupnya, Panji tetap mendukung merah-putih. Termasuk saat terakhir kali ia terlihat di Walahar, Karawang, ketika dua orang bekas anak buahnya mengajak Panji bermain bola volley ke suatu tempat. Sejak itulah, Panji seolah lenyap dari muka bumi.
Hilangnya Panji memunculkan berbagai asumsi. Ada isu beredar bahwa dia ditemukan agen MID (Dinas Intelijen Militer Belanda) lantas dihabisi secara diam-diam di suatu tempat. Sementara versi lain menyebutkan, dia ditembak mati oleh satu unit khusus TNI (Tentara Nasional Indonesia) karena dianggap sudah berdosa melakukan desersi. Soal terakhir itu dibenarkan oleh sejarawan Rushdy Hoesein.
“Tapi saya tidak tahu pasti apakah cerita itu benar. Saya hanya pernah mendengar dari Pak Lukas Kustarjo (eks pimpinan TNI di Karawang-Bekasi) bahwa dirinya pernah ditugaskan oleh Letnan Kolonel A.E, Kawilarang untuk mencari Panji,” ujar Rushdy.
Anak-anak Panji pun tak lelah terus mencari keberadaan sang ayah. Menurut Haji Faridi, entah sudah berapa keluar uang dari pihak keluarganya hanya sekedar untuk mendapatkan secercah harapan saja. Terakhir mereka mendapat informasi bahwa, Panji ada di wilayah Banten.
“Bersama kakak saya se-ibu: almarhun Udin Panji (anak satu-satunya Panji), saya langsung memburu informasi itu ke Banten, tapi ya hasilnya enggak ada, hingga kini kabar berita nasib Pak Panji tak pernah terdengar…” ujar lelaki Betawi tersebut.
Baca juga: Hikayat Lagu Melati di Tapal Batas
Tambahkan komentar
Belum ada komentar