Soedirman, Guru Kecil Jadi Panglima Besar
Soedirman jadi guru tanpa ijazah. Meski gaji kecil tetap ditekuni sepenuh hati.
Ketika muda, Soedirman aktif berorganisasi di Muhammadiyah. Dia pernah menjadi pemimpin Hizbul Wathan, kepanduan Muhammadiyah daerah Banyumas. Selain itu, dia juga aktif di Pemuda Muhammadiyah. Bahkan, dia terpilih menjadi Wakil Majelis Pemuda Muhammadiyah cabang Banyumas, kemudian Jawa Tengah.
Bagi Soedirman, berorganisasi adalah pengabdian, bukan tempat mencari penghidupan. Dia kadangkala mengutamakan kepentingan organisasi daripada keluarga. Karena itu, kendati menjadi pemimpin, rumah tangganya serba kekurangan. Orang pun heran. Namun, baginya itu wajar saja.
“Bukankah yang besar itu adalah organisasi. Besarnya dan mekarnya organisasi bukan berarti harus besar dan mewahnya si pemimpin. Untuk mencukupi biaya hidupnya, dia aktif sebagai guru di HIS Muhammadiyah di Cilacap,” demikian tertulis dalam biografi Sudirman Prajurit TNI Teladan. HIS (Hollandsch Inlandsche School) adalah sekolah dasar dengan masa belajar tujuh tahun.
Baca juga: Soedirman Suka Main Sepakbola
Sebagai guru, Soedirman mendapat gaji f.3 (tiga gulden Belanda) per bulan. Dia menjadi guru bukan semata karena kekurangan. Dia bisa saja mencari pekerjaan lain yang gajinya lebih besar, mengingat saat itu dia cukup populer sebagai pemimpin Pemuda Muhammadiyah.
“Apakah artinya uang sebanyak itu (f.3) untuk hidup dalam jangka waktu satu bulan? Jelasnya bagi Soedirman pekerjaan sebagai pengajar didasarkan atas keikhlasan dan kesadaran serta rasa tanggung jawab akan pentingnya pendidikan bagi generasi muda,” demikian disebut dalam buku terbitan Dinas Sejarah TNI AD itu.
Soedirman menyadari kekurangannya sebagai guru karena hanya lulusan sekolah menengah pertama, MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) Wiworotomo. Dia tak memiliki ijazah sekolah guru, HIK (Hollandsch Inlandsche Kweekschool). Untuk mengatasi kekurangannya, dia memilih les kepada guru-gurunya di MULO Wiworotomo. Dia juga mendapatkan pengetahuan keguruan dari R. Mokh. Kholil yang memimpin Muhammadiyah Cilacap dan Lembaga Pendidikan Muhammadiyah.
Baca juga: Jenderal Soedirman Menjadi Tawanan
Kendati tak berijazah guru, Soedirman memiliki bakat sebagai pendidik. Dia punya pengalaman dalam membimbing anak-anak pandu Hizbul Wathan. Bahkan, ketika di MULO Wiworotomo, dia dijuluki “guru kecil” karena diandalkan gurunya untuk membantu teman-temanya yang kesulitan dalam pelajaran.
Tak hanya disukai murid-muridnya karena mengajarnya mudah dimengerti, Soedirman juga disenangi guru-guru lain. Bahkan, kepercayaan dari para pengajar membuat Soedirman terpilih menjadi kepala sekolah HIS Muhammadiyah. Gajinya naik menjadi f.25,50. Baginya kenaikan gaji itu cukup membantu kekurangannya dalam rumah tangga. Namun, yang lebih penting adalah kepercayaan yang diberikan rekan-rekannya dan pimpinan Lembaga Pendidikan Muhammadiyah. Tentu saja, kenaikan pangkat menjadi kepala sekolah berkat ketekunan dan kesungguhannya sebagai pendidik.
Ada pengalaman unik ketika Soedirman masih menjadi guru. Dia menceritakannya kepada Pak Kholil. Suatu hari, ketika sedang mengajar, dia didatangi seorang Tambi (orang Keling dari Bombay). Setelah becakap-cakap, orang beragama Hindu itu melihat telapak tangan Soedirman dan berkata: “kelak engkau menjadi orang yang besar, tabahlah.” Soedirman menganggap ramalan itu biasa saja.
Jadi Panglima Besar
Menjelang pendudukan Jepang, Soedirman terpaksa melepaskan pekerjaan yang dicintainya sebagai kepala sekolah HIS Muhammadiyah. Saat itu situasinya tak memungkinkan menjalankan pendidikan karena semua orang terpusat pada serangan Jepang. Dia bahkan menjadi ketua sektor LBD (Lucht Besherming Dienst) atau Dinas Perlindungan Bahaya Udara yang dibentuk Belanda.
Pada masa pendudukan Jepang, Soedirman menjadi anggota Syu Sangikai (semacam dewan perwakilan), kemudian anggota Jawa Hokokai Karesidenan Banyumas. Setelah mengikuti pelatihan Pembela Tanah Air (Peta) di Bogor, dia ditempatkan sebagai daidancho (komandan batalion) Daidan III di Kroya, Banyumas.
Baca juga: Pengunduran Diri Jenderal Soedirman
Setelah Indonesia merdeka, Kolonel Soedirman menjabat komandan Divisi V TKR Purwokerto. Saat itulah, dia mengatur strategi melawan Sekutu di Ambarawa. Karier militernya mencapai puncak setelah dia terpilih menjadi panglima besar tentara Indonesia –inikah maksud "orang besar" yang diramalkan orang Tambi itu?
Ketika Belanda melancarkan agresi militer kedua, Soedirman dalam keadaan sakit melawan dengan bergerilya dari 19 Desember 1948 sampai 10 Juli 1949.
Jenderal Soedirman, guru yang jadi panglima besar, meninggal dunia pada 29 Januari 1950.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar