Setelah Inggris Menjadikan Bekasi Lautan Api
Klimaks gejolak di pinggir Jakarta. Aksi perhitungan Inggris di Bekasi yang disamakan dengan Nazi.
MENDARATNYA sebuah pesawat angkut C-47 Skytrain milik AU Inggris (RAF) di Bekasi pada November 1945 ternyata berbuntut panjang. Para pemuda dan penduduk yang salah memperlakukan para awak pesawat itu membuat militer Inggris, yang datang ke Indonesia sebagai perwakilan Sekutu, berang bukan kepalang. Kota di timur Jakarta itu dibumihanguskan.
“Kelanjutan gejolak di Bekasi sebuah kota di Jawa oleh pasukan Inggris pekan ini, muncul sebuah slogan baru di antara penduduk Jawa: ‘Bekasi menjadi Lidice di Jawa’. Lidice adalah sebuah desa Cekoslovakia yang dilenyapkan oleh Nazi (10 Juni 1942, red.). Sementara Bekasi dengan populasi 10.000 dibumihanguskan Inggris sebagai aksi perhitungan atas dibantainya penumpang Inggris dan India di sebuah pesawat RAF (Angkatan Udara Inggris) yang jatuh di area itu,” begitu bunyi pembuka sebuah artikel di mingguan Truth –yang berbasis di Sydney, Australia– edisi 16 Desember 1945, “Java Town A ‘New Lidice’”.
Artikel tersebut merujuk pada aksi brutal Inggris yang kemudian dikenal dengan peristiwa Bekasi Lautan Api, 13 Desember 1945.
Baca juga: Saat Kali Bekasi Berwarna Merah
Perintah Panglima Inggris: Bakar Bekasi!
Konflik di Bekasi merupakan bagian dari rangkaian konflik yang terjadi pasca-masuknya pasukan Inggris –yang diboncengi tentara NICA– ke Jawa dengan misi RAPWI atau pemulihan tawanan perang dan pelucutan serdadu Jepang sejak September 1945. Untuk menjadikan Jakarta sebagai “Kota Diplomasi” sementara, Sekutu menuntut setiap unit tentara republik, baik Tentara Keamanan Rakyat (TKR) maupun laskar-laskar bersenjata untuk keluar dari Jakarta.
Tuntutan itu dituruti Perdana Menteri (PM) Sutan Sjahrir dengan maklumatnya pada 19 November 1945. Sebagai realisasi dari maklumat itu, TKR Resimen V Jakarta pimpinan Letkol Muffreini Mukmin merelokasi diri ke Cikampek. Sementara, TKR Laut Cilincing pimpinan Mayor Madmuin Hasibuan pindah ke Ujung Menteng.
“Guna mengkonsolidasikan kekuatan dengan mundurnya satuan-satuan TKR dari Jakarta, maka untuk daerah Bekasi di bawah wewenang Komando TKR Resimen V ditempatkan Batalyon Mayor Sambas Atmadinata di Kampung Tugu Bekasi Timur, Batalyon Mayor Sadikin di Kampung Cabang Cikarang, Batalyon Mayor Katamsi di Kampung Bojong Kulon. Letnan Kolonel Muffreini Mukmin, Komandan Resimen bermarkas di Lemah Abang (Cikampek),” tulis Dinas Sejarah Kodam VI/Siliwangi dalam Siliwangi dari Masa ke Masa.
Menyingkirnya barisan perjuangan membuat kota-kota itu pinggiran Jakarta, termasuk Bekasi, sesak oleh pemuda-pemuda bersenjata non-TKR, entah dari Laskar Hisbullah, Pasukan Rakyat Jakarta, PESINDO, atau Laskar Banteng Hitam. Laskar terakhir dianggap jadi biang keladi amuk Inggris di Bekasi sejak akhir November 1945 hingga terjadinya Bekasi Lautan Api (13 Desember 1945).
Baca juga: Sepak Terjang Madmuin Hasibuan
Amuk bermula dari mendarat daruratnya sebuah pesawat C-47 Skytrain/Dakota milik RAF di Rawa Gatel, Cakung, dekat garis demarkasi pada 23 November 1945. Menurut laporan dari pengamatan sebuah pesawat pengintai, ke-26 orang di pesawat yang jatuh itu masih selamat.
Menurut Jenderal Abdoel Haris Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan, Jilid 2, ke-26 penumpang Dakota itu sempat melepaskan tembakan ke arah massa penduduk yang berkerumun akibat kesalahpahaman tapi kemudian dilumpuhkan massa. Mereka yang ditawan sempat dibawa ke hadapan laskar pimpinan H. Maksum, Barisan Rakyat pimpinan H. Darip, lantas hendak diangkut ke markas TKR. Sementara itu di Jakarta Wakil Panglima South East Asia Command Letjen Philip Christison yang mendengar kabar jatuhnya pesawat Dakota, menuntut pihak republik memulangkan para tawanan itu.
“Ia memberi ultimatum, bahwa jikalau permintaannya tidak segera dilaksanakan, maka Bekasi akan dijadikan ‘lautan api’. Permintaan Sekutu itu tidak dapat dipenuhi karena para tawanan itu semuanya telah mengalami hukuman mati,” lanjut buku terbitan Dinas Sejarah Kodam Siliwangi tersebut.
Dalam perjalanan, entah atas prakarsa siapa, para tawanan Inggris dari Resimen ke-19 Kumaon itu dibantai. Jasad-jasadnya dibuang ke sebuah sungai di belakang tangsi polisi dekat Alun-Alun Bekasi. Richard MacMillan dalam The British Occupation of Indonesia: 1945-1946 menyebut, pelakunya Laskar Banteng Hitam.
Maka murkalah Jenderal Christison. Menurut Ali Anwar dalam biografi KH. Noer Ali, Kemandirian Ulama Pejuang, panglima Inggris itu mengerahkan satu resimen infanteri Punjab, satu skadron kavaleri, 50 truk, hingga lima meriam.
Di Pondok Ungu, pasukan yang melanggar garis demarkasi di Kali Cakung itu dihadang Laskar Hisbullah pimpinan KH. Noer Ali dibantu TKR Laut pimpinan Madmuin Hasibuan dan kelompok Pesilat Subang pimpinan Ama Puradiredja. Terjadilah Pertempuran Sasak Kapuk, 29 November 1945. Tiada pemenang dalam pertempuran itu.
Baca juga: Prahara di Pinggir Jakarta
Pada 9-10 Desember 1945, konvoi pasukan Inggris merangsek lagi ke Bekasi via Pondok Gede. Di saat inilah pasukan ekspedisi Inggris itu menemukan jasad-jasad para tawanan pesawat Dakota tadi di dekat kali di belakang tangsi polisi.
“Dari seorang perempuan Ambon yang dibebaskan dari penjara (tangsi) menyatakan melihat (jasad) kru RAF dan pasukan India yang dibunuh sebelumnya. Jasad-jasad itu akhirnya ditemukan dan dievakuasi Kompi D dari Resimen ke-16 Punjab terkubur dekat sungai. Christison memerintahkan Bekasi dibakar,” tulis McMillan.
Maka, sepasukan ekspedisi Inggris datang lagi ke Bekasi pada 13 Desember 1945 dengan misi berbeda: balas dendam. Bekasi pun digempur dari darat dan udara hingga menjadi lautan api. Sekira 600 bangunan hancur dan 5.000 penduduknya mengungsi.
“Pesawat-pesawat (multiperan de Havilland DH.98) Mosquito dari RAF menembakkan roket-roketnya dan barisan-barisan pasukan Inggris yang mobile didukung tank-tank Sherman dan meriam-meriam 25 pon menggempur kota setelah fajar. Bekasi yang jadi markas para ekstremis dilalap api,” tulis suratkabar The West Australian edisi 14 Desember 1945, “Bekassi Burnt: H.Q. of Extremists”.
Kubu-kubu pertahanan TKR di Bekasi Timur dan Bekasi Barat pun tak luput dari gempuran-gempuran meriam Inggris. Alhasil, pasukan republik memilih menyingkir sementara ke luar Bekasi.
Pasukan Inggris juga melancarkan sweeping untuk memburu para anggota Laskar Banteng Hitam. Sebelum meninggalkan Bekasi yang sudah luluh lantak, mereka menanam ranjau dan granat tangan sebagai jebakan dekat tangsi polisi dan penjara dekat alun-alun.
“Granat-granat dan ranjau berhasil kita amankan setelah pihak Sekutu pada hari itu juga kembali ke Jakarta,” sambung Dinas Sejarah Kodam Siliwangi.
Baca juga: Bekasi Lautan Api di Mata Dua Saksi
Hingga kini, belum ada angka pasti berapa korbannya. Tetapi, menurut Wakil Ketua Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP) Dr. Abdoel Halim, hampir seluruh warga Bekasi kehilangan tempat tinggal.
“Seluruh penduduk kota Bekasi ikut mengundurkan diri dengan angkatan bersenjata kita dan untuk beberapa hari hubungan kereta api dengan pedalaman terhenti. Saya mengetahui hal ini setelah diminta Perdana Menteri (Sjahrir) ikut Ir. Abdul Kadir, Menteri Perhubungan, untuk membuka jalan kereta api kembali. Sesungguhnya pandangan kota Bekasi sangat memilukan hati karena kecuali adanya pos tentara Inggris, kota itu tampak tak ada penduduknya,” ungkap Abdoel Halim dikutip Rosihan Anwar dalam Mengenang Sjahrir.
Alasan Christison untuk membakar Bekasi lalu dipertanyakan atasannya, Panglima SEAC Laksamana Lord Louis Mountbatten. Sebab, ia turut menanggung kecaman dan tekanan dunia internasional.
Christison, sambung MacMillan, menjustifikasi aksinya dengan dalih menghentikan aktivitas-aktivitas Laskar Banteng Hitam yang dianggap barisan ekstremis. Christison juga mengklaim sudah memberitahukan rencana aksinya kepada Laksamana Mountbatten melalui perantara penasihat politik dari Kantor urusan Luar Negeri SEAC, HFC. Walsh.
“Meski tindakan perhitungan itu terjadi karena hasil dari kebrutalan pembunuhan (tentara British India) tetapi secara prinsip tidak semestinya dilakukan dengan berdarah dingin,” ujar Laksamana Mountbatten, dikutip McMillan.
Tragedi di Bekasi itu tak ayal diprotes oleh PM Sjahrir. Dalam pidato radionya pada 19 Desember 1945, Sjahrir menyesalkan “hukuman” keji Inggris. Melalui Sekretaris Negara Abdoel Gaffar Pringgodigdo, pidato tertulis itu juga disebarkan via media massa.
“Menganggap seluruh desa bersalah oleh karena beberapa orang menjalankan kesalahan itu dan cara mengadakan hukuman itu, menurut pendapat Pemerintah melalui di luar batas peri-kemanusiaan. Juga di dalam dunia internasional tindakan tentara Serikat (Sekutu) telah sangat dicela, malahan disamakan dengan tindakan Jerman (Nazi) di Lidice. Akan tetapi Pemerintah tidak dapat tinggal diam melihat beberapa desa dibakar sama sekali. Maka dari itu Pemerintah telah memajukan protes terhadap tindakan-tindakan ini. Pemerintah percaya bahwa pembakaran sedemikian rupa tidak akan terjadi lagi. Di samping itu Pemerintah menyerukan juga kepada rakyat berusaha supaya jangan menimbulkan lagi alasan kepada Serikat untuk bertindak terhadap rakyat,” kata Sjahrir dalam pidatonya yang dihimpun Koesnodiprodjo dalam Berita Republik Indonesia tahun II Nomor 4-5.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar