Serdadu Ambon Gelisah di Bandung
Ada isu akan dibantai, orang-orang Ambon di Bandung bergerak melawan RI.
BANDUNG bukan kota yang asing bagi Elisa Sahertian. Nyong Ambon yang sudah punya pengalaman bekerja di pemerintahan ini lama menetap di kota berjuluk “Kota Kembang” itu. Hal itu dimungkinkan karena Bandung adalah kota terbuka bagi banyak etnis sejak dulu.
“Pada bulan Mei 1948 saya mengundurkan diri dari RVD (Rijksvoorlichtingsdienst, red.). Saya kemudian menghabiskan beberapa bulan di Sorong, dan kemudian kembali ke Bandung untuk belajar elektro dan radio,” aku Elisa Sahertian, dikutip koran De Preanger tanggal 3 Februari 1956.
Awal tahun 1950 adalah masa berubahnya kekuasaan dari tentara dan pemerintah pendudukan Belanda kepada Republik Indonesia. Namun di masa bahagia bagi banyak orang Indonesia itu tak dirasakan Elisa.
“Pada saat penyerahan kedaulatan, saya bertemu dengan anak-anak muda Maluku yang pernah mendengar seorang perwira TNI berpidato bahwa orang Ambon harus dibunuh karena menghalangi kebebasan,” aku Elisa.
Elisa tentu tak tinggal diam dengan omongan perwira TNI tersebut. Ia punya beberapa kolega yang cukup berpengaruh di kalangan sipil dan militer Ambon di Bandung. Apa yang didengarnya itu kemudian diteruskannya ke dokter Tupamahu dan Kapten Agabus Floris Pasanea. Kedua tokoh Ambon di Bandung itu ingin membicarakan masalah tersebut dengan Drs. Hatta dan Anak Agung.
Bersama Pasanea dan Tupumahu, Elisa kemudian mengumpulkan orang-orang Ambon yang menjadi tentara di KNIL dan TNI. Orang-orang Maluku itu lalu berkumpul di rumah Hetharia. Di sana, Hetharia mengusulkan agar semua tentara yang ada di rumah itu untuk masuk TNI. Namun kemudian Westerling memperingatkan Hetharia agar tidak terlalu mencampuri urusan tentara-tentara itu. Westerling kala itu sedang mempersiapkan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA). Pasanea dan Elisa punya pemikiran sendiri terkait situasi tidak menyenangkan bagi mereka itu.
“Kami harus memiliki senjata. Kami tidak ingin membiarkan diri kami dibantai begitu saja,” ujar Elisa.
Pasanea sependapat. Ia berjanji akan mengurus pengadaan senjata itu, namun tidak ada hasilnya.
Elisa kemudian bertemu Letnan Pieter Elia Donald Titaley. Titaley memberi tahu bahwa APRA didukung pemerintah federal dan Negara Pasundan.
Letnan Titaley pada pertengahan Januari itu sudah mengumpulkan pasukan. Dalam Arsip Kabinet Perdana Menteri Djogjakarta nomor 129: Seri Laporan dari Jawatan Kepolisian Negara Bagian PAM Jogjakarta (koleksi ANRI), Komisaris Julius van der Meulen menyebut Letnan Titaley mengatakan bahwa pasukan baret Belanda telah siap bergerak dalam gerakan APRA. Letnan Titaley, kata Koran Trouw edisi 30 Januari 1951, sebagai komandan kelompok dalam gerakan Westerling memimpin 325 personel. Di antara pasukannya adalah pasukan baret yang dulu dilatih Westerling. Kebanyakan orang Ambon.
Pada suatu malam di bulan Januari itu juga, datang Serma Lahitu. Dia komandan lapangan dalam gerakan tersebut dan satu kantor dengan Kapten Pasanea.
Sementara itu, meski orang sipil, Elisa diajak ikut serta gerakan militer tadi. Elisa hendak diikutsertakan menangkap panglima Divisi Siliwangi Kolonel Sadikin. Oleh karenanya, sejak pukul lima pagi Elisa sudah siap bergerak. Namun karena tak punya senjata, Elisa pun mendatangi tetangganya, Soplanit.
"Apakah kamu siap?" tanya Elisa.
“Ah sial,” jawabnya.
Keduanya bertemu pada pukul 6 pagi 22 Januari 1950 dan masih belum punya senjata. Mereka lalu kembali ke rumah masing-masing. Pada pukul sembilan, mereka mendengar suara tembakan. Elisa pun berpikir, APRA telah dimulai.
Elisa kemudian berkeliling naik sepeda. Dia berusaha memastikan istrinya dalam keadaan selamat. Di jalan, dirinya melihat banyak tentara terbunuh.
Meski begitu, gerakan APRA tak memenuhi harapan kelompok APRA Westerling. Kecuali, kematian anggota TNI termasuk Letkol Adolf Lembong pada 23 Januari 1950 di depan markas Siliwangi yang belakangan menjadi Museum Mandala Wangsit di Jalan Lembong.
Pada Maret 1950, Elisa ke Jakarta. Dia bertemu lagi dengan Kapten Pasanea. Kala itu banyak orang Ambon ditahan. Kepada Elisa, Pasanea bilang bahwa Elisa sedang diburu TNI dan harus cepat pergi. Ada pula isu Kapten Schmidt telah menjanjikan 42 senapan mesin ringan Sten Gun untuk gerombolan Bambu Runcing. Di sana, Elisa juga bertemu seseorang bernama Hamzah. Elisa kemudian mengirim surat kepada Letnan Sahusilawane melalui Hamzah. Namun sang letnan tak pernah menerima surat itu.
Kapten Pasanea meninggalkan Elisa di Indonesia. Koran de Trouw tanggal 7 Juli 1950 menyebut Kapten Pasanea termasuk penumpang kapal motor Kota Inten yang pada Maret 1950 berangkat ke Belanda. Kapten Pasanea berangkat bersama Dokter Nikijuluw, Mayor Dokter NJ Kainama, dan Mayor Mattijs Nanlohy. Kapten Pasanea, yang semasa di KNIL bekerja di bagian administrasi pendidikan, ini tak termasuk KNIL yang diterima masuk ke dalam TNI.
Malam 25-26 Juli 1950, Elisa ditahan oleh Polisi Militer. Tak diketahui pasti berapa lama masa hukumannya. Koran De Preanger Bode dan Java Bode tanggal 3 Februari 1956 menyebut Elisa Sahertian masih ditahan pada 1956. Selama di pengadilan, ia menceritakan kisahnya di Bandung yang tak sempat ikut gerakan. Lelaki yang pada 1956 itu telah berusia 36 tahun itu bahkan pernah ditahan di daerah Nusa Kambangan. Begitulah kemalangan mantan pegawai penerangan Rijksvoorlichtingsdienst (RVD) yang ingin belajar elektro di Bandung ini.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar