Saat Baret Merah Dilatih Pasukan Katak
Kopaska pernah melatih RPKAD. Sebagian anggota RPKAD gagal karena kurang makan atau kedinginan.
SEORANG perwira Angkatan Laut (AL) berpangkat mayor datang menghadap Kolonel Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD, kini Kopassus) Moeng Parahadimulyo pada awal 1962. Urusannya terkait pelatihan pasukan khusus oleh pasukan khusus lainnya, dalam hal ini RPKAD dan Kopaska. Mayor AL itu bertanggungjawab atas pelatihan bawah air dan peledakan ala Underwater Demolition Team (UDT) Navy SEAL.
Waktu itu musim hujan, laut bergelombang dan lebih dingin dari biasanya. Urip Santoso, nama mayor AL itu, berharap agar peserta latihan mendapatkan extra voeding alias makanan tambahan.
“Mayor, prajurit RPKAD tidak memerlukan extra voeding,” kata Kolonel Mung Parhadimulyo yang memimpin (RPKAD) kepada mayor AL yang meminta makanan tambahan itu. “Kirim mereka ke tengah rimba tanpa bekal. cukup dengan sebuah badik saja, mereka akan bertahan hidup,” sambung Moeng, yang langsung dituruti Mayor Urip.
Urip merupakan perwira instruktur AL lulusan Koninklik Instituut Marine (KIM) Den Helder, Belanda. Sama dengan Moeng, Urip juga veteran revolusi ’45. Sebelum masuk KIM, Urip adalah kapten di Angkatan Darat era revolusi.
Dalam latihan pada tahun 1962 itu, anggota RPKAD harus banyak berenang. Bahkan, mereka berenang 7 mil-11 km. Selain itu, ada pula latihan berenang 500 meter dari kapal ke pantai. Pelatihan ini diadakan dalam rangka pembekalan jelang operasi amfibi dalam operasi pembebasan Irian Barat.
“Pada akhirnya ada beberapa anggota RPKAD yang gagal dan mengalami vertigo,” catat Urip Santoso (1923-2012) dalam Dan Toch Maar: Apa Boleh Buat, Maju Terus.
Urip memperkirakan mereka kedinginan dan kelelahan. Kejadian itu begitu memprihatinkan bagai Urip.
Seorang dokter militer RPKAD yang berpangkat letnan lalu menangani anggota RPKAD yang punya masalah kesehatan hingga gagal dalam latihan itu. Menurut diagnosanya: mereka kelelahan setelah melakukan gerakan yang tidak perlu serta panik. Dipastikan mereka kekurangan kalori dengan cepat karena kondisi alam yang dingin dan bergelombong hingga energi mereka terkuras. Keterangan diagnosa dokter RPKAD itu menguatkan membenaran permintaan extra voeding dari Urip untuk peserta pelatihan dari RPKAD itu.
“Dengan kejadian ini, Kolonel Moeng menarik kembali sebagian pasukan RPKAD. Saya tidak pernah menanyakan mengapa dan tidak mempersoalkan selanjutnya,” aku Urip.
Kendati tak jelas betul penyebab penarikan itu, keinsyafan Kolonel Moeng kemungkinan menjadi alasan utama di baliknya. Kolonel Moeng sebagaimana mayoritas personel TNI era revolusi, amat dipengaruhi militer Jepang dalam Perang Dunia II yang menanamkan semangat bertempur dengan modal minim yang kemudian ditiru oleh tentara Indonesia era revolusi 1945-1949. Moeng yang pensiun pada 1970-an dengan pangkat mayor jenderal sendiri, menurut Harsya Bachtiar dalam Siapa Dia Perwira Tinggi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat pernah menjadi anggota Divisi Siliwangi dan setelah 1945 menjadi salah satu komandan kompi dalam batalyon Nasuhi.
Dalam pelatihan jelang Operasi Jayawijaya pun, Moeng bahkan menguji ketahanan personelnya. Anggaran militer yang sedikit menjadi alasan agar prajurit bawahan lebih berani lapar dan mencari cara sendiri untuk bertahan hidup. Penekanan itu semodel dengan tipikal Moeng yang dikenal tentara tulen “anti-cengeng” dan amat jujur.
Setelah pelatihan itu, anggota AL yang terlatih dalam hal UDT bersiap diterjunkan ke dalam Operasi Jayawijaya. Begitupun 60 anggota RPKAD yang dilatih Urip dan personel AL lain.
Maka, sejak 31 Maret 1962 Indonesia mulai memiliki pasukan yang dilatih ala UDT Navy SEAL. Belakangan, pasukan itu dikenal sebagai Pasukan Katak dalam Komando Pasukan Katak (Kopaska). Urip yang pensiun dari AL sebagai laksamana pertama itu dianggap sebagai orang yang membesarkan Kopaska. Urip meninggal pada 1 Desember 2012 dan empat minggu kemudian, 28 Desember 2012, Moeng menyusul.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar