Raden Suprapto, Kawan Perjuangan Jenderal Soedirman yang Berakhir Mengenaskan
“Bersama Kolonel Abimanyu ia (Suprapto, red.) selalu menjaga jangan sampai terjadi kortsluiting antara Pak Dirman dan saya,” sambung Nasution.
Masih ingat film Pengkhianatan G30S/PKI? Dalam salah satu adegannya, ada seorang jenderal kesulitan tidur karena sakit kepala. Sang jenderal lalu membuat sketsa di atas kertas putih. Ketika istrinya menanyakannya sedang menggambar apa, jenderal tersebut menjawab sedang menggambar rencana Museum Perjuangan di Yogyakarta. Namun karena gambarnya dianggap aneh, sang istri pun berkomentar. “Kok kaya kuburan?”
Jenderal yang digambarkan dalam film itu pun terdiam. Dialah Jenderal (Anumerta) Suprapto, satu dari enam perwira tinggi yang gugur oleh sepasukan Tjakrabirawa beberapa jam setelah adegan tersebut.
Raden Suprapto lahir di Purwokerto, Jawa Tengah pada 20 Juni 1920 dari pasangan Raden Pusposeno dan Raden Ajeng Alimah. Bungsu dari sepuluh bersaudara itu memiliki lima saudara lak-laki dan empat saudara perempuan.
Prapto, demikian Suprapto biasa dipanggil, menempuh pendidikan dasar di Hollandsche lnlandsche School (HIS, setingkat SD) di Purwokerto. Lulus dari HIS, Prapto melanjutkan ke Meer Uitgerbreid Lager Onderwijs (MULO, setingkat SMP) di Yogyakarta lalu Algemeene Middelbare School B (setara SMA) di kota yang sama.
Setelah lulus AMS pada 1941, Suprapto mengikuti pendidikan militer Koninklijk Militaire Akademie (KMA) di Bandung. KMA merupakan pendidikan yang dibuat pemerintah Hindia Belanda –setelah pendudukan Belanda oleh Jerman Nazi– untuk merekrut pemuda pribumi guna dijadikan tentara yang akan digunakan untuk menghadapi Jepang pada Perang Pasifik.
Suprapto tidak menyelesaikan pendidikan di KMA karena Jepang keburu masuk pada Maret 1942 dan diikuti kapitulasi Hindia Belanda. Suprapto dan para personil tentara Belanda lalu menjadi tawanan Jepang. Namun Suprapto melarikan diri dari tahanan dan kembali ke Purwokerto.
Suprapto kemudian mengikuti pendidikan Cuo Seinen Kunrensyo (Pusat Latihan Pemuda) dan kemudian bekerja di Kantor Pendidikan Masyarakat Desa Banyumas, di Purwokerto. Di masa inilah Suprapto berkenalan dengan Soedirman, guru Muhammadiyah yang menjadi tokoh masyarakat dan di kemudian hari menjadi Panglima Besar Angkatan Perang Republik Indonesia. Hubungannya dengan Soedirman semakin erat dari hari ke hari. Mereka memiliki pemahaman yang sama mengenai bagaimana memajukan pemuda.
Ketika kemerdekaan diproklamasikan Sukarno-Hatta pada 17 Agustus 1945, Suprapto yang tengah berada di Cilacap terpicu semangat revolusi. Ia pun aktif merebut senjata dari Jepang. Ia kemudian diserahi jabatan Kepala Bagian II Divisi V dan diberi pangkat kapten setelah Kolonel Soedirman membentuk dan menjadi komandan Divisi V TKR Purwokerto.
Baca juga: Derita Pasukan Karbol AURI
Suprapto ikut mendampingi Soedirman dalam Pertempuran Ambarawa (12-15 Desember 1945) melawan pasukan Inggris. Usai Pertempuran Ambarawa, Suprapto diangkat menjadi ajudan Soedirman ketika sang komandan diangkat menjadi Panglima Besar TKR. Suprapto pun semakin aktif terlibat dalam perbaikan organisasi TKR.
Tak lama setelah menjadi ajudan Soedirman, Suprapto menikahi perempuan asal Cilacap, Julie Suparti, pada 4 Mei 1946. Pasangan Suprapto-Julie dikaruniai dua anak perempuan dan tiga anak laki-laki.
Jabatan ajudan dilepaskan Suprapto pada 1948 karena diangkat menjadi Kepala Bagian II Markas Komando Jawa (MBKD) dengan pangkat mayor. MBKD yang berkedudukan di Yogyakarta dibentuk dan dipimpin oleh Kolonel Abdul Haris Nasution dalam rangka menghadapi agresi Belanda II. Suprapto dan Nasution bisa bekerjasama dengan baik karena merupakan teman lama.
“Ia teman saya sejak masa Belanda, karena kami sama-sama menjadi taruna Akademi Militer. Pada masa Jepang, kami sama-sama menjadi instruktur pemuda dan mengikuti latihan Jepang bersama-sama,” kata Nasution dalam memoarnya, Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 6: Masa Kebangkitan Orde Baru.
Baik Nasution maupun Soedirman sama-sama dikenal secara dekat oleh Suprapto. Oleh karena itu, posisi Suprapto di MBKD menjadi penting lantaran saat itu sering terjadi perbedaan pendapat antara Nasution dengan Soedirman.
“Bersama Kolonel Abimanyu ia (Suprapto, red.) selalu menjaga jangan sampai terjadi kortsluiting antara Pak Dirman dan saya,” sambung Nasution.
Namun Suprapto tak lama di MBKD, karena pada Oktober 1948 dia dipercaya memegang jabatan Kepala Staf Divisi II yang juga membantu Gubernur Militer Daerah Surakarta-Pati-Semarang Kolonel Gatot Subroto. Surakarta saat itu sedang bergolak akibat Madiun Affair.
Pada 1949, Suprapto diangkat menjadi Kepala Staf Teritorium IV/ Diponegoro dan pangkatnya dinaikkan menjadi Letnan Kolonel. Pengujung tahun berikutnya, Letkol Suprapto dipindahkan ke Jakarta untuk memegang posisi Kepala Bagian II Staf Umum Angkatan Darat, lalu Asisten I Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) sekira setahun kemudian. Pada waktu hampir bersamaan, Suprapto juga dipercaya mengemban jabatan Wakil Kepala Staf Angkatan Darat.
Di masa itulah ia terlibat dalam Peristiwa 17 Oktober 1952. “Soeprapto terdapat di antara perwira-perwira yang pada tanggal 17 Oktober 1952 menghadap Presiden dengan permintaan agar parlemen dibekukan,” tulis Ulf Sundhaussen dalam Politik Militer Indonesia 1945-1967: Menuju Dwi Fungsi ABRI.
Akibatnya, Soeprapto mengikuti Nasution yang harus melepaskan jabatannya. Jabatan Wakil KSAD diserahkan Soeprapto kepada Kolonel Zulkifli Lubis pada Desember 1953. Suprapto dipindahkan ke Kementerian Pertahanan untuk menjadi pembantu menteri dan beberapa bulan kemudian menjadi membantu sekretaris jenderal Kementerian Pertahanan.
Meski pangkatnya telah naik jadi kolonel pada 1 Juli 1954, Suprapto baru mendapat jabatan “mentereng” kembali pada 1 Januari 1956, yakni sekretaris Gabungan Kepala Staf (GKS). Di masa inilah Suprapto aktif mengatasi perpecahan AD. “Dia juga telah memainkan peran penting dalam penyelenggaraan Konferensi Yogyakarta dalam 1955,” sambung Sundhaussen.
Suprapto lalu mengikuti Kursus C Seskoad di Bandung yang dimulai pada 6 Agustus 1956. Pada 1959, Suprapto ditunjuk KSAD Nasution memimpin tim pemeriksa MBAD –yang di dalamnya juga terdapat Sutoyo Sismomihardjo– ke Semarang untuk memeriksa kasus penyelundupan gula yang dilakukan Panglima Diponegoro Kolonel Soeharto.
Pada Januari 1960, Suprapto diangkat menjadi Deputi Wilayah (Deyah) KSAD untuk Sumatera, berkedudukan di Medan, dengan pangkat brigadir jenderal. Ketika itu, Pemberontakan PRRI/Permesta dalam tahap akhir penyelesaian dan Suprapto bekerja keras untuk menjaga peristiwa serupa tidak terulang.
Suprapto mengupayakannya dengan merangkul para perwira yang terlibat PRRI, yang notabene merupakan veteran Perang Kemerdekaan. Upaya ini berhasil meredam potensi munculnya ketegangan baru.
“Brigadir Jenderal Suprapto, Deputi KSAD untuk Wilayah Sumatera menerangkan kepada pers bahwa target keamanan seluruh Sumatera yang seharusnya selesai akhir 1962, kini bisa selesai akhir tahun 1961,” tulis Nasution.
Baca juga: Profil Pahlawan Revolusi: Ahmad Yani, Jenderal Brilian Pilihan Sukarno yang Berakhir Tragis
Setelah A. Yani menjadi Menteri/Panglima Angkatan Darat (Menpangad), pada Juli 1962 Suprapto ditarik ke Jakarta untuk menjadi Deputi II/Administrasi Menpangad. Pangkat Suprapto naik menjadi mayor jenderal pada Juli 1963.
Dengan jabatan tersebut, Suprapto tak hanya berkutat memperbaiki urusan administrasi AD namun juga aktif menangkis serangan-serangan PKI dalam pentas perpolitikan nasional. Suprapto menjadi salah satu perwira yang vokal dalam Seminar AD yang dihelat Letjen A. Yani di Bandung (3-9 April 1965) untuk mereorientasi posisi politik AD –kemudian melahirkan doktrin Tri Ubaya Cakti.
“Mayjen Soeprapto dan Mayjen Parman, serta Brigjen Suwarto beberapa kali berusaha untuk mengajukan soal posisi Angkatan Darat berhadapan dengan PKI dan pemerintah, tetapi Brigjen U. Rukman, dengan disokong Kolonel A. Sjukur, berhasil mencegah pembahasan mengenai soal itu,” tulis Sundhaussen.
Semua upaya Suprapto dalam jabatan tersebut akhirnya berakhir ketika pada 1 Oktober 1965 dini hari dirinya diculik 19 anggota pasukan Kawal Kehormatan Tjakrabirawa pimpinan Serka Sulaiman dan Serda Sukiman. Soeprapto gugur ditembak paginya. Pada 4 Oktober 1965, jenazah Suprapto diangkat dari sumur tua di Desa Lubang Buaya, Jakarta Timur. Esoknya, bertepatan dengan Hari ABRI, jenazah Suprapto bersama jenazah enam jenderal SUAD lain dan satu perwira menengah AD dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar