Petualangan Interniran Jerman di Pulau Nias
Mereka mendapat perlakuan buruk dari pemerintah Hindia Belanda dan dibiarkan mati terpanggang di dalam kapal yang terbakar. Sempat mendirikan sebuah negara di Pulau Nias.
Mei 1940, kabar jatuhnya Belanda ke tangan Nazi Jerman menggemparkan seluruh negeri jajahan. Kota Rotterdam hancur lebur digempur pasukan Hitler. Perlawanan tentara Belanda berhasil dimatikan. Ratu Wilhelmina pun terpaksa kabur ke London, Inggris pada 15 Mei 1940.
Jatuhnya Negeri Belanda itu menimbulkan keresahan di kalangan pejabat tinggi di seluruh wilayah jajahannya, terutama di Hindia Belanda yang memiliki kekayaan alam melimpah. Menurut Nino Oktorino dalam Nazi di Indonesia: Sebuah Sejarah yang Terlupakan, dalam keadaan seperti itu Gubernur Jenderal A.W.L. Tjarda van Starkenborgh Stachouwer langsung mengumumkan keadaan darurat di Hindia Belanda.
“Salah satu tindakan pertama yang diambil pemerintah kolonial berkaitan dengan hal itu adalah melakukan tindakan balasan terhadap orang-orang Jerman yang tinggal di Hindia Belanda,” tulis Nino.
Aparat Hindia Belanda bergerak cepat menduduki Konsulat Jerman di Batavia. Begitu pula gedung asosiasi dan perkantoran milik orang-orang Jerman. Kapal-kapal Jerman yang berlabung di Sabang, Batavia, Makassar, dan beberapa pelabuhan lain disita. Baik tentara maupun warga sipil Jerman berusaha menyelamatkan diri. Tidak mudah bagi mereka bersembunyi di wilayah yang sepenuhnya telah dikuasai militer Hindia Belanda.
“Di seluruh Hindia Belanda, di bawah kata sandi ‘Berlin’, polisi menangkapi dan menahan orang-orang Jerman yang hidup terpencar-pencar,” ungkap Nino. “Beberapa di antara mereka memang merupakan pengikut Nazi, tetapi kebanyakan merupakan orang-orang biasa yang tidak mengerti politik, atau bahkan merupakan penentang rezim Hitler.”
Tragedi Kapal Karam
Pada 1941, Perang Pasifik pecah. Angkatan Laut Kekaisaran Jepang (Kaigun) menghajar pangkalan perang Amerika Serikat di Pearl Harbour, Hawaii. Suasana perang berubah cepat di seluruh dunia, termasuk di Hindia Belanda. Jepang yang berusaha mengamankan seluruh Asia-Pasifik merangsak masuk ke Hindia Belanda. Perang besar pun tak terhindarkan.
Belanda yang tidak melihat adanya peluang menang dari Jepang memutuskan untuk memindahkan kekuasaannya dari Hindia Belanda. Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil: Petite Historie Indonesia menyebut jika sebagian orang Belanda pergi menuju India. Mereka membawa serta ratusan orang Jerman interniran ke wilayah milik Inggris tersebut.
Berdasar keterangan yang diperoleh dari Nederlands-Indie 1940-1946 karya sejarawan Jacob Zwaan, dan Batavia Seint: Berlijn karya C. van Heekeren, Rosihan menemukan fakta menarik seputar perjalanan pengangkutan interniran Jerman ke India itu. Pada 19 Januari 1942, kapal penumpang “Van Imhoff” bertolak dari Pelabuhan Sibolga, mengangkut 477 interniran dan sejumlah tentara Belanda.
Tidak lama setelah berlayar, sebuah pesawat pengintai milik Kaigun menjatuhkan bom di atas kapal Belanda tersebut. Akibatnya sebagian besar badan kapal hancur dan terbakar. Lebih dari seratus tentara, sebagian kecil interniran Jerman, beserta awak kapal Belanda berhasil menyelamatkan diri menggunakan sekoci-sekoci yang jumlahnya sangat terbatas.
Sementara itu ratusan interniran lain yang ada di lambung kapal dibiarkan mati terpanggang. “Kapten kapal, sebelum masuk sekoci, meninggalkan kunci-kunci ruang tahanan kepada komandan Jerman, yang dengan cepat membebaskan para tahanan. Orang Jerman panik, sebab sulit untuk segera menemukan kunci-kunci yang cocok. Mereka membuang ke laut benda apa saja yang bisa mengambang. Laut pasang. Gelombang tinggi. Banyak orang Jerman tenggelam,” tulis Rosihan.
Membangun Pemerintahan
Petaka kapal Van Imhoff, kata Rosihan, menyimpan luka jiwa begitu dalam. Tercatat hanya 36 orang Jerman saja yang selamat. Itupun berkat kedatangan kapal penyelamat. Hampir tidak ada sisa-sisa barang dari kapal yang hancur itu. Bahkan salah seorang pesakitan pada akhirnya memilih mengakhiri hidup sesaat setelah mencapai daratan.
“Para pesakitan itu nantinya akan menjelajah pulau Nias sendirian,” tulis Tom Womack dalam The Allied Defense of the Malay Barrier 1941-1942.
Baca juga: Pemuda Indonesia Berperang Melawan Nazi
Setelah melawati beberapa hari di pedalaman Nias, pada 24 Januari 1942 orang-orang Jerman itu tiba di Kampung Hilisimaetano, bagian selatan Nias. Setelah mendapat perawatan, mereka dibawa ke Gunung Sitoli. Di sana terdapat Asisten Residen Belanda, seorang kontrolir, seorang misionaris, dan beberapa pejabat rendah Belanda.
Sehari sebelumnya, sebuah sekoci dari kapal Van Imhoff yang saat tragedi berlayar lebih dahulu, terdampar di pantai Nias. Di dalamnya terdapat 14 orang interniran, dan sejumlah tentara Belanda. Mereka kemudian pergi ke Gunung Sitoli untuk menyerahkan para tahanan ke pejabat setempat.
Dua kelompok Jerman yang terpisah dipertemukan di dalam tahanan Sitoli. Setelah hampir dua bulan di dalam tahanan, mereka mendengar kabar bahwa Belanda melalui Ter Poorten menyerah kepada Jepang, Imamura. Kabar baik itu disambut orang-orang Jerman dengan rencana pemberontakan terhadap orang-orang Belanda yang kebingungan.
“Di Nias para pejabat Belanda bertanya-tanya apa yang harus mereka perbuat,” tulis Rosihan.
Pada 29 Maret 1942, para tahanan Jerman berhasil keluar dari barak-barak tahanan. Mereka sempat terlibat tembak-menembak dengan sisa-sisa tentara Belanda. Hilangnya semangat juang membuat Belanda akhirnya menyerah. Kini giliran mereka, bersama lima orang Inggris, diinternir oleh orang-orang Jerman.
Baca juga: Swastika, Lambang Mulia yang Dicemari Nazi
Seorang Jerman bernama Fischer yang dipanggil “perdana menteri” menjadi pimpinan resmi pulau Nias. Mereka, kata Rosihan, membuat insinye (lencana) Swastika Nazi sebagai identitas kekuasaan. Fischer kemudian memutuskan mengabari sekutu mereka, Jepang, di Tapanuli tentang jatuhnya Nias ke tangan mereka. Pada 6 April, semua orang Belanda dan Eropa dikirim ke Sibolga untuk diserahkan kepada Jepang. Orang-orang Jepang segera mengirim utusan ke Nias.
“Pada 20 April, orang-orang Jerman bersama orang-orang Jepang merayakan hari ulang tahun Fuhrer Adolf Hitler, dengan seruan tiga kali Banzai, tiga kali Sieg Heil,” ungkap Rosihan.
Selepas pemerintahan Jerman yang singkat, seluruh wilayah Nias berada di bawah kekuasaan penuh Jepang. Pekerjaan utama mereka di sana hanya membersihkan sisa-sisa Belanda di Nias dan sekitarnya.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar