top of page

Sejarah Indonesia

Pertempuran Berdarah Di Bukit Mardinding

Pertempuran Berdarah di Bukit Mardinding

Sekelompok TNI adu nyali menyerang basis tentara Belanda. Ambyar lantaran pasukan sekawan melepaskan tembakan bukan atas perintah komandan.

1 Januari 2020

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Prajurit Batalion XV pimpinan Kapten Nelang Sembiring yang ditugaskan dalam pertempuran di Bukit Mardinding. (Foto: Repro buku "Dari Titi Bambu ke Bukit Kadir".

HARI Natal 25 Desember 1948 bukanlah hari yang santai bagi Komandan Resimen IV Divisi X TNI, Letkol Djamin Gintings. Sebagai umat Kristen, sedianya Djamin merayakan hari raya dan mengumandangkan kidung pujian di gereja. Begitu pula pasukannya yang mayoritas beragama Kristen. Namun, hari itu sang komandan justru mengumumkan keadaan bahaya.


Siaran Radio Yogyakarta memberitakan agresi militer Belanda untuk kali kedua. Sejumlah pejabat tinggi Republik ditangkapi, termasuk Presiden Sukarno dan wakilnya, Bung Hatta. Selain itu, tersiar kabar daerah Sektor III di bawah pimpinan Mayor Selamat Ginting sudah diserang Belanda.


“Saya masih belum mendapat perintah dari atasan langsung (Divisi X) tindakan apa yang harus dijalankan. Tetapi demi keselamatan Negara Republik Indonesia saya merasa bertanggung jawab penuh untuk memulai penyerangan terhadap Belanda,” kenang Djamin Gintings dalam catatan hariannya yang kemudian diterbitkan dalam otobiografi Dari Titi Bambu ke Bukit Kadir.


Bersiap untuk Perang


Djamin Gintings mengumpulkan seluruh anggota Resimen IV. Disampaikannya misi rahasia untuk melancarkan serangan ke basis tentara Belanda. Menurutnya operasi ini diperlukan sebagai strategi bertahan sekaligus memberi efek kejut bagi Belanda. Langkah ini diambil sebab basis Resimen IV di Tanah Alas, Kuta Cane yang menjadi pintu gerbang menuju Aceh masih belum diduduki Belanda. Sementara Aceh merupakan benteng pertahanan terakhir Republik yang belum disentuh Belanda.  


 “Para Prajurit, Bintara, dan Perwira,” kata Djamin memulai pidatonya, “Saya selaku Komandan Resimen IV memikul pertanggungjawaban ini dan memerintahkan kepada saudara-saudara untuk menyerang daerah yang diduduki Belanda sebelum Belanda menyerang daerah kita. Pertama, kita duduki Mardinding dan Lau Beleng.”


Desa Mardinding yang menjadi sasaran penyerangan terletak di Kabupaten Karo. Menurut A.R. Surbakti dalam Perang Kemerdekaan di Karo Area, Belanda telah menduduki Desa Mardinding sejak awal 1948 sebagai buntut dari Perjanjian Renville. Di sana, Belanda menjadikan rumah besar milik kepala desa sebagai tangsi tempat bertolak patroli mereka. Adapun kekuatan pasukan Belanda di Mardinding sebagaimana tercatat dalam Kadet Brastagi yang dikutip Arifin Pulungan dari Achter de Sinabung: schint toch de zon, terdiri dari satu grup kesatuan mortir, satu seksi (penembak) Vickers, 15 orang Barisan Pengawal. Sedangkan komandannya ialah Sersan Ritzer dari Peleton Mortir.   


Rumah besar yang dijadikan tangsi dan pos tentara Belanda di Mardinding. (Foto: Repro buku "Kadet Brastagi".)
Rumah besar yang dijadikan tangsi dan pos tentara Belanda di Mardinding. (Foto: Repro buku "Kadet Brastagi".)

Tugas untuk melancarkan serangan tiba-tiba ke tangsi itu diembankan kepada Batalion XV di bawah pimpinan Kapten Nelang Sembiring. Formasi serangan terbagi atas tiga kompi: Kompi 1dipimpin oleh Letnan I Oroh, Kompi 2 dipimpin oleh Letnan I Rimrim Ginting, Kompi 3 dipimpin oleh Letnan II Radja Sjahnan.


Pada 28 Desember 1948, rombongan pasukan tiba di puncak Bukit Mardinding pukul 02.00 pagi. Untuk persiapan serangan, setiap kompi di sebar ke berbagai penjuru. Kompi 1 mengambil posisi sayap kanan, Kompi 2 di bagian tengah, Kompi 3 di sayap kiri, dan di atas bukit bersiaga pasukan mortir yang dipimpin Letnan Laban. Sementara itu, masing-masing kompi di bagi lagi dalam tiga seksi.


Direncanakan, serangan dilancarkan secara serentak untuk memberi efek kejut yang lebih besar. Setiap pasukan tidak diperkenankan melepaskan tembakan sebelum aba-aba tembakan dari komandan Kompi 1. Untuk memastikan itu semua, masing-masing kompi mengirimkan kurir yang melaporkan kesiapan kompinya. Waktu penyerangan ditentukan: pukul 13.00 siang.


Tembakan Tanpa Perintah


Jarak antara pasukan penyerang dengan pos tentara Belanda cukup dekat, sekitar 50 meter. Dalam amatan tim pengintai, tampak sekumpulan tentara Belanda sedang asyik bermain bola di tanah lapang dekat tangsi. Mereka terlihat seperti mangsa empuk.  Namun sebelum waktu yang ditentukan, tiba-tiba meletus sebuah tembakan dari seksi pasukan yang dipimpin Letnan Djohan.


Menurut Djamin Gintings, seksi Djohan sebenarnya tidak masuk ke dalam formasi penyerangan. Oleh karena itu, Letnan Djohan berikut seksinya diminta supaya jangan terlalu mendekati posisi musuh. Tetapi mereka terus bergerak melalui kedai-kedai penduduk yang digunakan sebagai pelindung. Saat itulah beberapa tentara Belanda yang hendak kencing di belakang warung mendapati keberadaan pasukan Letnan Djohan.


Sontak saja Letnan Djohan melepaskan dua tembakan. Seorang tentara Belanda tersungkur dan tewas sedangkan yang lainnya segera kabur menyelamatkan diri menuju pos dan tangsi mereka. Tembakan tanpa perintah itulah yang memulai jalannya pertempuran. Selama setengah jam, pasukan TNI melepaskan bertubi-tubi tembakan yang membuat sekumpulan tentara Belanda kocar-kacir. Kendati demikian, pihak Belanda masih menangguhkan balasan.


Melihat tentara Belanda yang pasif, Komandan Seksi 2 dari  Kompi 1, Letnan Kadir Saragih mengerahkan pasukannya untuk maju menyerbu. Pada saat yang sama, tentara Belanda keluar dari tangsi persembunyian. Sewaktu tembak-menembak berlangsung, terdengar deru tank dan panser Belanda yang langsung melepaskan peluru ke arah pasukan TNI. Terjangan tank dan panser itu diikuti dengan serangan mortir yang memuntahkan pelurunya berpuluh kali lipat ke Bukit Mardinding.  


“Rupanya Belanda menunggu pasukan kita berada di posisi itu baru memulai tembakan balasan,” catat Djamin Gintings.


Pertempuran yang berlangsung selama berjam-jam itu berhenti pada pukul 17.00 sore. Pasukan TNI diperintahkan mundur ke perbukitan untuk menghindari tekanan panser dan tank Belanda. Pada pukul 21.00 malam pasukan tiba di puncak bukit. Djamin Gintings kemudian memutuskan untuk melanjutkan pertempuran dengan mengguakan taktik gerilya.  


Sebanyak 8 prajurit TNI gugur dalam pertempuran itu, termasuk Letnan Kadir Saragih yang dimakamkan di Bukit Mardinding. Sementara di pihak Belanda, menurut berita dari penduduk setempat yang tercatat dalam Sejarah Perjuangan Komando Daerah Militer II Bukit Barisan, disebutkan 8 orang yang tewas. Untuk mengenang keberanian Letnan Kadir, Letkol Djamin Gintings menamakan puncak Bukit Mardinding dengan nama Bukit Kadir.  

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Film “The Voice of Hind Rajab” jadi antidot amnesia kisah bocah Gaza yang dibantai Israel dengan 335 peluru. PBB menyertakan tragedinya sebagai bagian dari genosida.
Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Dulu, orang Dayak dituduh pembakar hutan yang lebih berbahaya dari industri. Padahal, tidak banyak lahan hutan alam Kalimantan yang mereka gunduli.
Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Korupsi sejak masa VOC hingga kolonial Belanda terekam dalam arsip. Korupsi akan terus ada karena berkaitan dengan kekuasaan, kewenangan, dan keserakahan manusia.
Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Dari pelatih sepakbola Timnas Indonesia Toni Pogacnik hingga pembalap Hengky Iriawan. Sejumlah pahlawan olahraga yang mewarnai sejarah Indonesia dimakamkan di TPU Petamburan.
Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Cerita di balik potret bocah-bocah yang menangis histeris saat terjadi serangan napalm di Perang Vietnam. Kini atribusi fotonya jadi polemik.
bottom of page