Perang Westerling di Timur Jauh
Kaya dengan adegan-adegan kekerasan, De Oost tidak mampu menarik diri dari kisah klise tentang petualangan militer Belanda di Indonesia.
Kapten R.P.P. Westerling kembali bangkit dari kubur. Kali ini komandan DST (Depot Pasukan Khusus) Belanda paling legendaris itu dimunculkan oleh sutradara berdarah Maluku Jim Taihuttu dalam De Oost. Itu nama drama perang bertajuk petualangan militer Belanda di Indonesia, salah satu tanah jajahannya di Timur Jauh.
Begitu dirilis empat hari yang lalu, De Oost langsung menuai kecaman beruntun dari para veteran Belanda dan keluarganya. Salah satu dari mereka adalah Palmyra Westerling, salah satu putri dari Raymond Westerling. Dalam surat terbuka yang beberapa hari ini beredar di media sosial, Palmyra menyerukan khalayak Belanda untuk memboikot peredaran film tersebut.
“(Menghimbau kepada) seluruh pembaca surat saya dan saudara sebangsa untuk tidak mendukung fim fantasi ini…”ungkapnya.
Baca juga:
Terlepas dari surat terbuka Palmyra, De Oost memang ramai dengan adegan penuh kekerasan ala sutradara termasyhur Quentin Tarantino. Adegan kepala pecah ditembus peluru begitu sering ditampilkan film ini. Sialnya, semua praktek kebrutalan perang tersebut lebih banyak dilakukan oleh Westerling (Marwan Kenzari) dan anak buahnya.
“Praktek eksekusi langsung terhadap orang-orang Indonesia yang dicurigai teroris memang biasa dilakukan Westerling,” ungkap Maarten Hidskes, penulis buku Thuis gelooft niemand mij: Zuid Celebes 1946-1947 (dialihbahasakan menjadi Di Belanda Tak Seorang pun Mempercayai Saya: Korban metode Westerling di Sulawesi Selatan 1946-1947).
Taihuttu bukan tidak sama sekali menampilkan kekerasan yang dilakukan pihak pejuang Indonesia. Dalam salah satu adegan, ada gambaran brutal bagaimana para pejuang Indonesia memperlakukan seorang “pengkhianat” dengan memenggal kepala-nya dan menyumpalkan sekalian (maaf) penis “sang pengkhianat” yang terpotong itu ke mulutnya.
Dalam beberapa riset Perang Kemerdekaan (1945-1949), saya menemukan praktek sadis itu memang ada. Itu dilakukan oleh para pejuang Indonesia (bukan hanya laskar tapi juga TNI) di palagan Karawang. Beberapa narasumber saya mengatakan bahwa insiden pembantaian di Rawagede (1947) juga salah satu pemicunya adalah praktek brutal seperti itu. Bedanya hal tersebut dikenakan kepada serdadu Belanda yang sudah tewas.
Secara keseluruhan, De Oost tidak menampilkan informasi baru mengenai kekerasan perang yang dilakukan oleh Westerling dan pasukannya di Indonesia. Alih-alih demikian, Taihuttu sepertinya tak bisa keluar dari gambaran klise mengenai perang batin, rasa menyesal dan trauma pasca perang sebagian serdadu Belanda yang pernah dikirimkan untuk menolong rakyat Indonesia dari kejahatan “para rampokers” di tanah jajahan tropis mereka. Dalam De Oost, itu diwakili oleh sang punya lakon yakni Johan de Vries (Martijn Lekemeier).
Baca juga:
Kritik kecil juga harus diarahkan kepada adegan-adegan “seharusnya” yang terkait dengan kelaziman sebuah gerakan militer. Seperti salah satu adegan ketika para prajurit dari Batalyon Sepatoe Roesak menyeberangi secara ceroboh sebuah sungai lebar tanpa adanya pasukan pelindung. Akibatnya mereka harus menjadi bulan-bulanan penembak runduk pejuang Indonesia.
Namun dari sisi artistik dan detail, De Oost patut diacungi jempol. Suasana tropika dengan sawah-sawah hijau dan gunung-gunung biru begitu elok bak dalam lukisan. Begitu juga soal kostum pemain, film ini berupaya menampilkannya secara maksimal sesuai aslinya. Kecuali seragam hitam yang dikenakan para prajurit DST (harusnya seragam hijau) saat menjalankan aksi mereka di Sulawesi Selatan.
Soal seragam hitam DST yang banyak disebut mirip seragam Schutzstaffel (pasukan elit Nazi Jerman) itu memang banyak dikecam habis. Meskipun Taihuttu menolak tuduhan tersebut, namun identifikasi sebagian khalayak Belanda sudah terlanjur matang. Padahal pemakaian seragam hitam dalam suatu operasi penyergapan (terutama di malam hari) adalah suatu kelumrahan di dunia militer.
Dialog-dialog ironis khas perang juga terbuhul dalam film ini. Misalnya ketika Johan kali pertama tiba di Kamp Macan Liar, seorang instruktur militer menasehatinya untuk hati-hati saat dia ingin buang hajat besar di lingkungan tropis. Pilihannya cuma dua: mereka harus buang hajat di lingkungan kamp dalam situasi panas menggila atau melakukan panggilan alam itu di tempat yang rimbun (seperti hutan) dengan resiko bokong akan ditancapi sebilah keris dari kaum Republik.
Baca juga:
Akhir kata, sebagai penambahan khazanah pengetahuan kita, film ini layak untuk ditonton (tentunya untuk usia yang sesuai). Tak perlu ada yang ditakutkan. Pun saya pikir reaksi para veteran yang diwakili Palmyra juga masih wajar-wajar saja. Sebagai anak yang baik dari Westerling, Palmyra sedang menjalankan kewajibannya. Selamat menonton.
De Oost (The East)
Belanda,2020
Pemain: Martijn Lekemeier, Marwan Kenzari, Jonas Smulders, Lukman Sardi, Denise Aznam, Putri Ayudya,
Sutradara: Jim Taihuttu
Tambahkan komentar
Belum ada komentar