Perang Saudara Bersandi 17 Agustus
TNI menggelar operasi besar-besaran menggempur PRRI di Sumatra Barat. Inlah salah satu episode perang saudara antara pusat dan daerah dalam sejarah Indonesia.
Pukul 04.00 pagi, 17 April 1958. KRI Gadjah Mada milik Angkatan Laut RI memulai salvo meriamnya. Hujan peluru dan bom kemudian mendarat di pantai Padang. Serangan itu menandai dimulainya operasi penumpasan Pemerintah Revolusiener Republik Indonesia (PRRI) di Sumatra Barat yang diberi sandi: “17 Agustus”
“Sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) saya percayakan sepenuhnya kepada Deputi II Kolonel A. Yani mengenai Operasi 17 Agustus,” tutur Abdul Haris Nasution dalam memoar Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 4: Masa Pancaroba Kedua.
Selain menjabat KSAD, Nasution merangkap sebagai ketua Gabungan Kepala Staf (GKS). Sementara itu, Yani baru saja pulang dari Amerika Serikat (AS) setelah mengikuti pendidikan General Staff College di Fort Leavenworth, Kansas. Yani sendiri yang memberi nama “17 Agustus” untuk operasi militer yang akan dipimpinnya dan disetujui Nasution. Harapannya, PRRI akan tumpas sebelum 17 Agustus sehingga hari kemerdekaan dapat dirayakan dengan euforia kemenangan.
TNI Menang
Ketimbang Operasi Tegas di Pekan Baru, Operasi 17 Agustus merupakan operasi gabungan TNI dengan jumlah personil dan peralatan yang sangat besar. Sebanyak enam kapal perang dan 19 kapal pengangkut dikerahkan untuk memobilisasi 6.500 personel militer. Pasukan penyerbu terbagi ke dalam tiga Resimen Tim Pertempuran (RTP). Masing-masing RTP dipimpin oleh Letkol Kaharudin Nasution, Letkol Sabirin Mochtar, dan Letkol Suwito Haryoko.
Baca juga:
Angkatan Darat menjadi penyumbang pasukan terbesar dengan empat batalion infantri. Selain kapal, Angkatan Laut ikut mengerahkan satu batalion pasukan Korps Komando AL (KKo AL). Sementara itu, AURI mengerahkan 25 pesawat C-47 Dakota, enam pesawat pemburu P-51 Mustang, dilengkapi dengan delapan pembom B-25 Mitchell dan enam pesawat AT-16 Harvard.
“Seluruh armada udara tersebut bertolak dari tiga landasan udara, Palembang, Tanjung Pinang, dan Medan. Armada udara yang sama juga harus menerbangkan satu detasemen pasukan payung PGT TNI-AU,” tulis Julius Pour dalam Benny Moerdani: Profil Prajurit Negarawan.
Pukul 06.00 pagi, tembakan-tembakan dari kapal perang berhenti. Pesawat-pesawat AURI kemudian menjalankan aksi “pembersihan” dengan melancarkan tembakan dan menjatuhkan bom napalm selama sejam. Setelah pantai dibersihkan, pasukan penerjun Pasukan Gerak Tjepat (PGT) dan Resmen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) mulai mendarat dan melakukan penyerbuan.
Pertempuran sengit terjadi antara pukul 07.00—11.00. Meriam-meriam dan mortar pasukan PRRI yang tadinya membisu, kembali memuntahkan peluru ke arah laut dan udara. Namun, serangan dari darat, laut, dan udara nan apik membuat TNI lebih unggul. Pertahanan PRRI pun jebol. Pukul 13.00 siang, seluruh Staf Komando Operasi 17 Agustus berhasil memasuki kota. Pada malam hari, pasukan KKo berhasil membersihkan pelabuhan Teluk Bayur sebelum pasukan PRRI meledakkan ranjau-ranjaunya.
Baca juga:
Kota Padang jatuh ke tangan pasukan pusat pada hari itu juga. Rumah kediaman panglima PRRI eks Letkol Ahmad Husein diubah menjadi markas operasi oleh Yani. Sementara itu, sebagian besar pasukan PRRI melarikan diri ke pedalaman untuk persiapan bergerilya.
“Dalam waktu kurang lebih 12 jam setelah jam ‘D’, rencana pendaratan babak pertama pendaratan berjalan dengan sukses berkat adanya kerja sama yang baik antara tiga angkatan, darat/lau/udara sekalipun baru pertama kalinya dipraktekkan,” tulis Amelia Yani dalam biografi ayahnya Profil Seorang Prajurit TNI.
Kembali ke Ibu Pertiwi
Pasukan TNI tidak berhenti setelah menguasai kota Padang. Pasifikasi militer terus digencarkan ke berbagai tempat. Selanjutnya, dilakukan gerakan untuk menguasai seluruh Sumatra Barat yang menjadi basis PRRI. Ada 11 macam sub-operasi yang dilancarkan guna mendukung “gerakan pembersihan” ini.
Baca juga:
Dalam Kepemimpinan ABRI, Sayidiman Suryohadiprodjo menerangkan rencana lanjutan dari Operasi 17 Agustus. RTP 1 merebut Kota Baru; RTP 2 merebut Pariaman, Padang Panjang, Bukit Tinggi, dan Payakumbuh; RTP 3 merebut Solok. Batu Sangkar, Alahan Panjang, dan Muara Laboh. Ini adalah fase-2 dari Operasi 17 Agustus, setelah menyelesaikan fase ke-1, yaitu pendaratan, perebutan lapangan terbang Tabing, pelabuhan Teluk Bayur, dan kota Padang.
Pada 20 Mei 1958, Payakumbuh diduduki oleh Batalion 510/Brawijaya. Berselang empat hari kemudian, 24 Mei, sebanyak 500 pasukan PRRI menyerahkan diri. Nasution dalam memoarnya mengatakan operasi lanjutan dilakukan non-stop sampai akhir tahun 1958. “Demikianlah selama tahun 1959 PRRI lakukan aksi gerilya dan pihak kita pun telah memenuhi fase anti-gerilya dengan operasi-operasi teritorial pula.”
Menurut Gusti Asnan, sejarawan Universitas Andalas, dominasi TNI di medan tempur disebabkan oleh hampir tidak adanya perlawanan yang berarti dari tentara PRRI. Selain itu, beberapa kesatuan penting PRRI menyerah dan tunduk kepada TNI. Pasukan yang pertama menyerah ialah rombongan Mayor Nurmatias (komandan Batalion 140). Menyusul kemudian Kombes (Pol.) Kaharudin Datuk Rangkayo Basa (Kepala Polisi Provinsi Sumatra Tengah) dan beberapa perwira lainnya seperti, Lettu Johan Rivai, Kapten Bainal, Kapten Almunir, Ayub Bakar, dan Chatib Hasan dengan anggota Batalion 135.
Baca juga:
“Akhirnya pada bulan Juli 1960 tujuan utama dari gerakan itu telah dapat dikatakan berhasil,” tulis Gusti Asnan dalam Memikir Ulang Regionalisme: Sumatra Barat Tahun 1950-an.
Sementara itu, menurut Sayidiman bukan kekuatan bersenjata melainkan pendekatan politiklah yang memungkasi operasi penumpasan PRRI. Dengan semboyan, “Kembali ke pangkuan Republik, Republik yang telah kita perjuangkan bersama,” para pemimpin pemberontakan dapat ditarik untuk mengakhiri perlawannnya.
Meski demikian, perang saudara ini tetap memakan korban diantara sesama anak bangsa. Hingga akhir September 1958, pada pihak pemerintah gugur sebanyak 983 orang, menderita luka-luka 1.695 orang, dan 154 lainnya dinyatakan hilang. Sementara itu, bagi pihak PRRI jatuh korban lebih banyak lagi. Sebanyak 6.373 pasukan gugur, 1.201 luka-luka atau tertawan dalan pertempuran, dan 6.057 orang menyerah. Perang, sebagaimana kata sejarawan Anhar Gonggong, tidak memberikan apa-apa kecuali kehancuran bagi orang-orang yang terlibat didalamnya.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar