Pengusaha Tionghoa Penyelundup Senjata
Pengusaha Tionghoa ini menyelundupkan senjata dari Singapura untuk Tentara Nasional Indonesia.
Pada 17 Maret 2014, Pemerintah Provinsi Lampung memberikan penghargaan kepada delapan tokoh Lampung, salah satunya Ang Tiauw Bie sebagai tokoh pelayaran. Sebenarnya, Ang lahir di Pandeglang, Banten pada 1892 –sumber lain menyebut dia berasal dari Tangerang, Banten.
Kemiskinan membuat Ang tak bisa sekolah. Sulung dari lima bersaudara pasangan Ang Sioe Hok dan Tan Djin Nio ini kemudian bekerja sebagai penjaga kebun kelapa. Pak Ubi, demikian sapaannya semasa muda, kemudian belajar berdagang kopra dari pamannya, Ang Sioe Tjwan. Dia mondar-mandir Merak-Lampung. Pada 1930-an, dia menetap di Teluk Betung, Lampung, untuk berdagang hasil bumi dan mendirikan usahanya sendiri, pabrik minyak kelapa dan pabrik sabun.
Menurut Twang Peck Yang dalam Elite Bisnis Cina di Indonesia dan Masa Transisi Kemerdekaan 1940-1950, di antara pengusaha-pengusaha baru di berbagai bidang usaha di Sumatra dan Jawa, Ang adalah satu-satunya peranakan yang menguasai bahasa Indonesia dan berhasil sukses. Di rumah, dia menggunakan bahasa Indonesia dan sedikit menguasai bahasa Hokkien.
Sebelum perang, Ang telah menjadi pengusaha berpenghasilan besar. Selain memiliki pabrik kelapa sawit kecil bernama Swan Liong, dia juga bermitra dengan seorang warga negara Jerman dalam kepemilikan sebuah kapal kayu berbobot mati 25 ton yang digunakan untuk mengekspor hasil-hasil bumi.
“Dia seorang big brother di sebuah organisasi Cina peranakan tradisional: Ho Hap yang fungsi utamanya di abad ke-20 berkaitan dengan kesejahteraan sosial kalangan peranakan, termasuk dalam hal pemakaman orang meninggal dan perlindungan terhadap anggota-anggotanya,” tulis Twang. Namun, menurut Twang, terdapat indikasi bahwa Ho Hap berprinsip anti-Belanda. Ia organisasi masyarakat Tionghoa yang tidak dianggap bermusuhan oleh pihak Jepang.
Menurut Sam Setyautama dalam Tokoh-tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia, ketika Jepang datang pada 1942, pabriknya dibumihanguskan, namun setahun kemudian dia berhasil membangunnya kembali. Setelah pabriknya beroperasi kembali, dia membuka kebun kopi di Waylima, Simpang Kiri, dan Bernung, Lampung Selatan. Dia juga membuka kebun kelapa Sibalong di Kalianda, Lampung.
Namun, menurut Twang, Ang berhubungan dekat dengan Gunseikanbu (pemerintah militer Jepang). Pabrik minyak kelapanya di Tanjung Karang bahkan berganti nama menjadi Yamato. Dia sukses menjalankan usahanya.
Pada masa revolusi kemerdekaan, perdagangan Ang semakin maju sehingga dia dapat membeli dua kapal layar yang dinamai Sri Menanti dan Sri Nona untuk mengangkut hasil bumi ke Jawa dan Singapura. “Kapal-kapal itu sekembalinya dari Singapura diisinya senjata untuk keperluan TNI (Tentara Nasional Indonesia),” tulis Sam.
Twang menambahkan bahwa selama masa revolusi, Ang digambarkan sebagai “tokoh pemimpin Cina di Teluk Betung, seorang penyelundup senjata.” “Seperti sejumlah totok penyelundup lainnya, keluarga Ang ikut ambil bagian dalam operasi penyelundupan yang berpusat di Palembang, Jakarta, dan Lampung,” tulis Twang.
Tentu saja, penyelundup senjata legendaris adalah Laksamana John Lie (Jahja Daniel Dharma) yang telah ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pertama dari Tionghoa. Namanya juga dijadikan nama KRI John Lie.
Pada 1948, Ang mendirikan firma NV Handel Mij Swan Liong di Jakarta yang mengurusi perdagangan hasil bumi, bertindak selaku agen komisi, dan mengelola gudang-gudang penyimpanan. Awal era 1950-an, dia melanjutkan operasi pabrik minyak kelapanya yang telah dimekanisasi dan dipindahkan dari Tanjung Karang ke Teluk Betung.
Pada saat yang sama, Ang menjalankan usaha pelayaran (Swan Liong NVHM Bagian Pelayaran). Sebelum tahun 1950, firma ini hanya memiliki dua perahu kecil bernama Teluk No. 1 dan Teluk No. 2 –mungkinkah nama itu perubahan dari Sri Menanti dan Sri Nona? Memasuki tahun 1951, dia menambah lima kapalnya sehingga kapalnya sampai Teluk No. 7 –sumber lain menyebut dia memiliki kapal Teluk 1-9 dan 11. Masing-masing kapal berbobot mati sekitar 100 ton, melayani pelayaran antarpulau, terutama antara Jakarta, Lampung, Palembang, dan Pontianak.
Dengan perusahaan pelayarannya itu, menurut Siauw Giok Tjhan dalam Lima Jaman Perwujudan Integrasi Wajar, Ang menjadi salah seorang pelopor dalam usaha perhubungan antarpulau. Dia usahawan besar dan perusahaannya berkembang dengan baik. Perusahaan pelayarannya kemudian berganti nama menjadi PT Naga Berlian. Sedangkan perusahaan dagangnya menjadi PT Naga Intan.
“Anak cucunya yang memperoleh didikan sekolah yang cukup tinggi ternyata tidak dapat mempertahankan dan mengembangkan usaha yang telah dimulainya itu,” kata Siauw Giok Tjhan.
Menurut Sam, Ang bergaul dengan para petinggi negara antara lain Sukarno, Mohammad Hatta, Sultan Hamengkubuwono IX, dan Residen Lampung Basyid. Atas jasanya menyelundupkan senjata untuk perjuangan kemerdekaan, pada 1958 Menteri Pertahanan Djuanda menganugerahkan penghargaan Satyalencana Persiapan Kemerdekaan Kesatu dan Kedua. Pada 1959, dia mendapat penghargaan Satyalencana Gerakan Operasi Militer III dan IV. Yang menarik, pada 15 Januari 1960, Sukarno memberinya nama: Anggakusuma. Dan pada 20 Februari 1963 dia diakui sebagai veteran Republik Indonesia dengan Keputusan No. 35/H/Kpts/MUV/63.
Ang pernah menjadi direktur Thong Bie Kongsi sewaktu perusahaan itu berubah menjadi PT Dayasakti di Teluk Betung. Usahanya melebar ke bidang farmasi, apotek, dan pabrik obat. Dia banyak membantu perkumpulan sosial seperti Ho Hap (Tolong Menolong) dan Hok Kian Hwee Koan (Perkumpulan Sosial Dharma Bakti). Dia juga banyak menyumbang pada klenteng Thai Hien Bio di Teluk Betung dan klenteng di Banten. Dia meninggal pada 10 September 1971 dan dimakamkan di Kebon Nanas, Jatinegara, Jakarta Timur.
[pages]
Tambahkan komentar
Belum ada komentar