Penerbang Amerika Pertama yang Hilang di Perang Pasifik
Terombang-ambing di lautan ganas selama 34 hari tanpa perlengkapan survival. Bertahan hidup bergantung pada hujan dan daging ikan hiu.
SUDAH lebih dari sebulan kapal induk Angkatan Laut Amerika Serikat (AL-AS) USS Enterprise (CV-6) berlayar di Samudera Pasifik Tengah sejak pembokongan Jepang atas Pearl Harbor. Pada bulan pertama tahun 1942, USS Enterprise –bertindak sebagai kapal komando Divisi Kapal Induk ke-2 AL dengan panglima Laksamana Madya William Halsey Jr.– sudah kesumat untuk membalas dendam.
Di lambung kapal induk kelas Yorktown itu dimuat senjata utama: 90 pesawat terbang. Salah satunya pesawat pembom torpedo Douglas TBD Devastator yang diawaki Aviation Chief Machinist Mate (ACMM, setara sersan mayor) Harold Dixon, penembak A. J. ‘Tony’ Pastula, dan opsir radio Gene D. Aldrich.
Sejak USS Enterprise melepas jangkar dari Pearl Harbor pada 8 Desember 1941, Laksdya Halsey memimpin Divisi Kapal Induk ke-2 menjelang misi raid ke Kepulauan Marshall dan Gilberts. Seperti biasa, pesawat-pesawatnya saban hari diterbangkan untuk misi anti-kapal selam dan patroli, termasuk yang dilakoni Dixon dan krunya yang ditugaskan di Skadron Torpedo VT-6.
Baca juga: Kawanan Kapal Selam Berburu Mangsa
Menjelang misi rutin pada Jumat petang, 16 Januari 1942, Dixon punya perasaan tak enak. Perasaan tak enak itu baru pertamakali dialaminya dalam 22 tahun masa tugasnya sebagai penerbang AL.
“Kebanyakan pelaut percaya akan hal takhayul. Lucunya beberapa hari sebelum 16 Januari seiring kapal kami berlayar ke selatan Pasifik, saya memiliki perasaan aneh bahwa sesuatu akan terjadi. Sulit untuk mengabaikan perasaan itu karena beberapa hal kecil yang aneh juga terjadi kepada saya,” kata Dixon mengenang yang dituangkannya di Majalah Life, 6 April 1942.
Saat Dixon makan siang menjelang misi pada petangnya, misalnya, ia mengaku muncul dorongan dari hatinya untuk makan dua atau tiga kali lebih banyak. Saat selesai makan dan melewati kabin medis, tiba-tiba ia diajak masuk ke kabin oleh salah seorang petugas medis.
Tetapi Dixon tak mengungkapkan semua itu kepada Aldrich dan Pastula yang masih “hijau”. Kala waktu menunaikan misi patroli tiba, Dixon setenang mungkin memimpin keduanya naik ke pesawat TBD Devastator mereka yang bernomor ekor 0335. Pastula dan Aldrich tak pernah menduga bahwa itu akan jadi misi yang berujung petaka yang membuat mereka menjadi penerbang pertama yang hilang di Perang Pasifik.
Baca juga: Kapal Perang USS Houston Tiga Kali Celaka
Petaka itu bermula setelah mereka sudah tinggal landas dari geladak USS Enteprise. Semakin lama mereka terbang, situasi makin pelik. Diperparah cuaca buruk, Dixon berkali-kali sibuk memerhatikan kompas dan petanya lagi, hingga akhirnya ia mengakui telah tersesat.
“Patroli di hari itu benar-benar sarat kejadian. Selain harus terbang pada petang hari, kumpulan awan yang menurunkan hujan membuat kami sulit melihat lautan, hingga entah bagaimana pesawat kami tersesat. Selama berjam-jam saya mencari arah kembali ke kapal (induk) sampai bahan bakar hampir habis. Tiada lain saya harus membawa pesawat mendarat di air,” sambung Dixon.
Bertahan Hidup
Kendati berhasil mengumpulkan perlengkapan survival dan bisa mendaratkan pesawat di laut dengan selamat, Dixon mengakui nasib sial mereka terjadi justru pasca-keluar dari pesawat. Mayoritas perlengkapan surival vital seperti makanan, persediaan air, dan pistol suar justru gagal terselamatkan.
Pasalnya, ketika Dixon berupaya membuka kaleng CO2 yang macet demi mengembangkan perahu karet, Aldrich dan Pastula yang diperintah membawa perlengkapan itu justru bergulat maut. Pastula membantu Aldrich melepas sabuk pengamannya agar tidak terbawa tenggelam bersama pesawat.
Mereka akhirnya hanya bisa berharap pada hujan untuk mendapatkan air tawar untuk diminum. Di saat kritis itulah keyakinan mereka diuji. Selain kegigihan untuk bertahan hidup, nasib mereka bergantung pada belas kasih Sang Pencipta. Terlebih mereka hanya bertiga di lautan itu. Optimisme mereka meningkat tatkala melihat sebuah pesawat terbang di atas mereka.
“Kami berteriak sebisanya. Namun ketika pesawat itu berlalu, hati saya ikut tenggelam ke dasar laut. Saya mengerti prosedur itu. Laksamana (William Halsey Jr., red.) yang saya kenal takkan mengambil risiko mengerahkan segenap armada hanya untuk menyelamatkan satu pesawat,” lanjutnya.
Baca juga: Melindungi Kenangan Kapal Perang
Optimisme mereka seketika berubah jadi pesimisme. Sebagaimana dikisahkan dalam Fly Navy: Discovering the Extraordinary People and Enduring Spirit of Naval Aviation karya Alvin Townley, setelah mereka terpaksa menahan dahaga dan lapar hampir satu pekan, hujan deras akhirnya turun. Dixon, Aldrich, dan Pastula buru-buru merentangkan pakaian untuk menampung air hujan yang kemudian mereka peras lalu airnya mereka tampung di kantung air.
Air persediaan itu harus dijatah untuk minum bertiga. Mereka berharap hujan turun lagi hujan sebelum persediaan air tandas.
Selain air, masalah yang membelit mereka adalah tempat untuk tidur.
“Kami segera tersadar tak bisa tidur. Perahunya hanya delapan kaki. Dimensi di dalamnya lebih kecil, 80x40 inci. Mustahil cukup ruang untuk kami bertiga beristirahat dengan nyaman,” ujar Dixon dikutip Townley.
Keputusan segera diambil Dixon sebagai solusi. Secara bergiliran satu dari mereka mesti melek setiap empat jam sekali guna mendapatkan ruang untuk merebahkan diri dua rekannya.
Baca juga: Midway, Adu Kekuatan Dua Armada
Untuk urusan perut, Aldrich menjadi andalan dua rekannya karena masih menyimpan pisau lipat di sakunya. Pisau itu lalu dimanfaatkannya untuk mencari ikan kendati sempat dikhawatirkan Dixon pisau itu akan mengenai perahu karetnya. Namun alih-alih mendapat ikan segar berukuran kecil, pisau Aldrich justru menghujam seekor hiu.
“Dengan pisaunya, Gene (Aldrich) menusuk badan hiu yang menggelepar hingga melompat ke perahu. Tony (Pastula) ikut memeganginya hingga tikaman berikutnya yang membuatnya mati. Setelah 10 menit bergulat dengan hiu, akhirnya kami bisa memotong-motongnya,” sambung Dixon.
Kendati hanya bisa disantap mentah-mentah, daging ikan hiu itu bisa memperpanjang hidup mereka. Beberapa bagian daging lalu disimpan di dalam kaus kaki yang dibasahi air laut agar bisa awet selama beberapa hari.
Selain daging hiu, menu lain yang sempat mereka nikmati adalah daging burung albatros. Pada suatu pagi, burung itu hinggap di salah satu ujung perahu. Burung malang itu segera dimangsa peluru pistol M-1911 yang ditembakkan Pastula. Begitu mati dan tercebur ke laut, burung itu diambil Dixon yang buru-buru nyemplung untuk menghindari jadi mangsa hiu yang masih banyak di sekitar perahu mereka.
Baca juga: Kisah George Bush Terdampar di Pasifik
Entah di hari ke berapa, Dixon tiba-tiba teringat pada skema peta sebelum pesawat mereka jatuh. Peta itu ikut hilang bersama persediaan makanan dan air, namun tidak dengan kompas yang masih dikantongi Dixon. Lantaran mulai ingat skema peta yang didapat dari briefing sebelum misi, Dixon menggambarnya ulang dengan pensil di atas jaket pelampung. Ia pun mulai memperkirakan posisi mereka dan posisi kepulauan terdekat yang bisa mereka capai.
“Saya sudah mempelajari peta-petanya dan kemudian ingatan saya kembali tentang di mana saja posisi-posisi pulau-pulau di peta itu. Ke arah barat dan utara dari posisi (jatuh) kami adalah Kepulauan Jepang. Tentu saya ingin menghindari mereka. Ke timur adalah kepulauan tak berpenghuni. Harapan kami hanya bermanuver ke arah selatan dan timur, letak kepulauan yang lebih bersahabat, sembari berharap kami berjumpa sebuah konvoi kapal Amerika,” imbuhnya.
Dixon, Aldrich, dan Pastula lalu berusaha mengarahkan perahu dengan memanfaatkan angin. Mereka juga membuat jangkar darurat dari jaket pelampung dan kawat, dan menggunakan sol sepatu sebagai dayung. Mereka berusaha mengarungi 30-40 mil setiap harinya.
Mereka terus berusaha meski berhari-hari menahan rasa lapar, haus, serta terik matahari saat siang dan badai tropis kala malam. Pada hari ke-34, Aldrich dengan tenaga tersisa berteriak kepada atasannya.
“Pak, saya melihat ladang jagung yang indah. Saya melihatnya dengan jelas, Pak. Saya melihat sesuatu dari kejauhan!” teriak Aldrich, dikutip Stephen W. Sears dalam World War II: Carrier Way.
Perjuangan mereka yang menguras tenaga, pikiran, dan perasaan itu akhirnya berbuah manis. Daratan yang dilihat Aldrich adalah Atol Pukapuka di gugusan karang Kepulauan Cook, 750 mil dari lokasi jatuhnya pesawat mereka.
Bagi mereka itu suatu mukjizat. Pasalnya di belakang mereka sudah berkerumun lagi awan hitam dan angin yang mulai berhembus kencang. Pertanda badai bakal kembali menerjang, seperti halnya beberapa hari sebelum mereka melihat daratan, di mana mereka nyaris mati dihempas badai tropis.
“Kami melihat daratan itu di waktu yang kritis. Jika ditambah satu hari lagi (di laut) mungkin badai akan menuntaskan apa yang gagal dilakukan oleh rasa lapar, haus, angin, matahari dan hiu,” kenang Dixon lagi.
Baca juga: Against the Sun, Penyintas Terlupakan di Pasifik
Dengan tenaga tersisa, mereka mendayung perahu menuju Pukapuka. Ketika sampai di perairan dangkal, mereka turun dan dengan tertatih-tatih mencapai daratan.
“Kemudian mereka ditemukan dan dirawat penduduk asli pulau itu. Setelah seminggu dirawat dan pulih, mereka bisa membuat isyarat untuk bisa dideteksi sebuah pesawat Amerika. Tak berapa lama, Dixon, Pastula, dan Aldrich dievakuasi oleh para kru kapal penyapu ranjau USS Swan,” tandas Sears.
Setelah pulih dan kembali ke USS Enterprise yang berlabuh di Pearl Harbor pada 17 Maret 1942, mereka disambut Laksdya Halsey dan Panglima Armada Pasifik Laksamana Chester Nimitz. Atas keteguhan jiwa dan fisik mereka, Nimitz menganugerahkan medali Navy Cross pada Dixon dan piagam Presidential Commendations pada Aldrich dan Pastula. Kisah mereka diangkat ke layar lebar pada 2014 oleh sineas Brian Falk bertajuk Against the Sun.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar