Pejuang Tua dari Aceh dalam Perang Kemerdekaan
Perang mempertahankan kemerdekaan tidak hanya melibatkan pemuda pejuang saja. Bermodal nyali dan pengalaman, pejuang tua Aceh yang telah melawan Belanda sejak zaman kolonial juga turut ambil bagian.
SEWAKTU Kota Medan jatuh ke tangan tentara Belanda, pejuang dari berbagai tempat berbondong-bondong turun ke front Pertempuran Medan Area. Mereka datang dari berbagai daerah. Mulai dari Langkat, Simalungun, Tapanuli, Tanah Karo, hingga Aceh. Kedatangan para pejuang ke Medan seiring dengan makin banyaknya pengungsi warga sipil dari Medan ke pedalaman.
Pejuang Aceh yang turun ke front Medan Area punya misi khusus. Mereka lebih memilih menjemput lawan ke Medan daripada menunggu tentara Belanda memasuki tanah Aceh. Gelombang kedatangan pejuang Aceh ke Medan terjadi sekitar pertengahan Februari 1946. Tidak hanya pasukan laskar yang kebanyakan dari kelompok pemuda pejuang, pejuang tua dari Aceh juga turun ke front Medan Area.
“Tercatat juga dalam rombongan yang besar, sejumlah tokoh-tokoh tua, yang pada usia remajanya pernah ikut dalam perang Aceh-Belanda,” catat Abdul Karim Jakobi dalam Aceh Darah Modal: Long March ke Medan Area.
Baca juga: Gerilyawan Aceh di Medan Area
Menurut Jakobi, para pejuang tua Aceh itu sudah angkat senjata sewaktu Kapten van Daalen menyerbu dataran tinggi Pegunungan Gayo dan Alas pada awal abad ke-20. Gotfried Coenraad Ernst van Daalen (1863--1930) dikenal atas tindakan bengisnya di Aceh semasa menjabat gubernur militer. Pada 1904, van Daalen memimpin ekspedisi militer ke Tanah Gayo dan Alas serta membantai ribuan warga setempat termasuk perempuan dan anak-anak. Pembantaian itu memunculkan perlawanan dari para pejuang Aceh yang disebut “Gerilyawan Muslimin”. Mereka terus melakukan gerilya jangka panjang sampai Belanda menyerah di tangan serdadu Jepang.
Hingga memasuki Indonesia merdeka, dari antara pejuang angkatan tua itu masih ada beberapa yang tersisa. Pada masanya, orang-orang tua ini dikenal sebagai “Pang” atau jagoan. Mereka antara lain Datok Sore, Datok Pinding, Teungku Thapa, dan Pang Lokop. Selain berani, para datok ini disebut-sebut memiliki ilmu tenaga dalam yang dahsyat. Salah satunya Pang Lokop, yang kemudian bergabung ke dalam pasukan Letnan Bustanil Arifin.
Dalam kompi Bustanil, Pang Lokop menjadi bagian kompi “Parang Berdarah”. Inilah unit pasukan pembunuh dalam Pertempuran Medan Area yang beroperasi hanya di malam hari dengan mempergunakan senjata tradisional. Selain terampil menebas leher lawan pakai senjata tajam, Pang Lokop juga seorang pawang tawon yang bisa menggerakkan serangga penyengat itu untuk menyerang lawan.
“Di masa perjuangan, Letnan Bustanil Arifin dengan kompinya 'Parang Berdarah' memimpin perjuangan melawan Belanda di Medan Area yang sebagian bersenjatakan parang (tidak ada senapan). Kompi di bawah Pak Bus ini sangat unik, terdiri dari orang-orang sakti yang apabila ditembak 'tidak kena', di antaranya adalah Pak Lokop dengan senjata utamanya berupa tawon,” ungkap Fachry Ali dalam Beras, Koperasi, dan Politik Orde Baru: Bustanil Arifin 70 Tahun.
Baca juga: Alkisah Kompi Parang Berdarah
Pada 7 Oktober 1947, 12 orang tua dari pedalaman Aceh Besar mendatangi markas laskar Pesindo Kutaraja (sekarang Banda Aceh). Bukannya minta perlindungan karena sudah lanjut usia, mereka malah minta dikirim ke perbatasan Aceh-Sumatra Timur untuk bertempur. Fisik yang menua bukan penghalang bagi pejuang gaek itu menghadapi tentara Belanda secara langsung,
“Permintaan mereka dikabulkan, tinggal menanti giliran pengiriman,” catat Pramoedya Ananta Toer, Koesalah Soebagyo Toer, dan Ediati Kamil dalam Kronik Revolusi Indonesia Jili III (1947).
Mendapat tambahan pasukan pejuang tua juga dialami Letnan Dua Raja Sjahnan. Komandan Kompi III Batalion XV itu pada 20 Desember 1947 kedatangan dua seksi pasukan pejuang tua Aceh dari Blangkejeren, Aceh Tenggara. Sepuluh hari berselang, mereka dilibatkan dalam operasi penyerangan markas tentara Belanda di Tiga Binanga, Tanah Karo.
“Saya sebagai komandan front merasa gembira sekali mendapat bantuan tenaga dari pasukan Parang ini, yang sengaja datang dari jauh, walaupun untuk sekali penyerangan, apalagi mendengar berita yang menyenangkan itu dan mudah-mudahan berhasil,” tutur Raja Sjahnan dalam memoar perjuangan Dari Medan Area ke Pedalaman dan Kembali ke Kota Medan.
Baca juga: Ilmu Komandan di Palagan
Tapi apa daya, faktor usia amat berpengaruh terhadap laju pejuang tua Aceh itu. Serangan yang dimulai pada pagi buta 30 Desember 1947 itu mengalami kegagalan. Mereka kesulitan melakukan mobilitas di malam hari karena penglihatan yang semakin kabur. Medan pertempuran pun sudah jauh berbeda dengan zaman kolonial dahulu, yang bisa dilakukan dengan perkelahian satu lawan satu. Apalagi persenjataan tentara Belanda lengkap dengan senapan mesin, yang dalam sekali tembakan dapat memuntahkan puluhan peluru.
“Gerakan Pasukan Parang ketahuan oleh musuh, karena mereka ribut,” kenang Raja Sjahnan. “Mereka mendapat tembakan pasukan-pasukan musuh/Belanda dari jauh. Hal ini membuat mereka terpaksa mundur.”
Satu orang pejuang tua Aceh terluka dalam baku-tembak dengan tentara Belanda. Sementara itu, tiga lainnya mengalami luka akibat jatuh di jurang. Mereka yang tersisa kemudian dipulangkan ke kampung masing-masing. Meski gagal menyerang Belanda, semangat juang dan keberanian mereka, menurut Raja Sjahnan, patut dihargai dan dikenang dengan rasa hormat.
Baca juga: Nahas Pasukan Parang di Palagan Tiga Binanga
Tambahkan komentar
Belum ada komentar