Pangkalan Militer Amerika di Filipina
Setelah lebih dari dua dekade ditutup, akankah Amerika Serikat membangun kembali pangkalan militernya di Filipina?
Pemerintah Filipina dan Amerika Serikat menandatangani kesepakatan peningkatan kerja sama militer, 28 April 2014. Kerja sama ini muncul menyusul sengketa antara Filipina dan China terkait kepemilikan pulau karang di Laut Cina Selatan.
Kesepakatan ini memungkinkan militer Amerika memiliki akses ke sejumlah pangkalan militer, pelabuhan, dan lapangan udara hingga sepuluh tahun ke depan. Namun, Amerika tak diperkenankan membangun pangkalan militer secara permanen. Kesepakatan ini menuai protes dari sebagian rakyat Filipina yang berdemonstrasi di kedutaan besar Amerika di Manila.
Kehadiran militer Amerika di Filipina sudah lebih dari seabad. Pada 1898, setelah mengalahkan Spanyol, Amerika menguasai Filipina sesuai Perjanjian Paris. Rakyat Filipina di bawah Emilio Aguinaldo, yang memimpin perjuangan kemerdekaan FIlipina dari tangan Spanyol, melancarkan perlawanan hingga 1902. Tapi militer Amerika terlalu besar untuk dikalahkan.
Baca juga: Mimpi Damai di Filipina Selatan
“Hal itu (kolonialisme Amerika di Filipina) berlangsung hingga Jepang menguasai Filipina dalam Perang Dunia II,” tulis Glenn P. Hastedt dalam Encyclopedia of American Foreign Policy.
Amerika kembali menggenggam Filipina ketika Perang Dunia hampir berakhir. Tapi gerakan kemerdekaan rakyat Filipina tak pernah berhenti. Melalui Perjanjian Manila, Amerika akhirnya memberi kemerdekaan kepada Filipina pada 4 Juli 1946.
Tapi cengkeraman Amerika terus berlanjut melalui Perjanjian Pangkalan Militer yang ditandatangani kedua negara pada 14 Maret 1947. Maka, Amerika pun membangun Pangkalan Angkatan Laut Teluk Subic dan Pangkalan Angkatan Udara Clark. Sebagai imbalannya, Amerika memberikan pelatihan dan peralatan militer terbatas kepada militer Filipina.
Baca juga: Tentara Filipina Tewas di Yogyakarta
Bagi Amerika, Filipina merupakan tembok terdepan di sebelah utara Asia Tenggara dari gempuran komunisme, terutama dari China. Apabila Filipina jatuh ke tangan komunis, menurut teori domino yang dianut Amerika, wilayah-wilayah di selatannya bakal mengikuti. Filipina juga merupakan garis pelindung Amerika di Pasifik dari serangan negara lain. Peran yang tak kalah penting adalah sebagai penjamin kepentingan ekonomi Amerika.
Sejak awal, tentangan muncul. Senator Tomas Confesor, misalnya, mengecam perjanjian pangkalan militer dengan Amerika karena tak memberi banyak maslahat buat rakyat Filipina.
“Kita berada dalam orbit ekspansi imperium Amerika. Imperialisme belum mati,” ujarnya, sebagaimana disitir Stephen R. Shalom, profesor ilmu politik dari William Paterson University, New Jersey, Amerika Serikat, dalam “Securing the US-Philippine Military Bases Agreement of 1947”, dimuat wpunj.edu.
Baca juga: Silat Kali Majapahit Dilestarikan di Filipina
Namun kuatnya kaki-tangan Amerika di jajaran elite pemerintahan Filipina, terutama semasa pemerintahan Ferdinand Marcos, membuat upaya penghapusan pangkalan militer Amerika seolah berjalan di tempat. Baru setelah Presiden Qorazon Aquino naik ke tampuk kekuasaan pada 1986, upaya tersebut mendapat angin segar. Kaum kiri menjadi penggerak utamanya. Pada 1991, melalui voting, Senat sepakat menutup Pangkalan Angkatan Laut Teluk Subic dan Pangkalan Angkatan Udara Clark.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar