Operasi Jayawijaya, Kisah Invasi yang Tak Terjadi
Bagaimana sebuah operasi militer terbesar sepanjang sejarah Republik Indonesia berdiri harus berhenti tiba-tiba karena upaya diplomasi.
Mayor Jenderal Soeharto menjadi rombongan terakhir pasukan ABRI yang bergerak dari Ambon menuju Teluk Peling, tempat pertemuan satuan amfibi. Dia menumpang kapal patroli Angkatan Kepolisian diiringi kapal penyapu ranjau dan kapal anti kapal selam milik ALRI. Di gugusan pulau lepas pantai Sulawesi Tengah itu, Soeharto tiba pada 5 Agustus 1962.
Reputasi sang jenderal selaku Panglima Komando Mandala dalam pertaruhan. Rakyat Indonesia akan memperingati hari kemerdekaan, sementara Irian Barat masih dikuasai Belanda. “Sesuai dengan tugas yang telah ditentukan, selambat-lambatnya tanggal 17 Agustus 1962 bendera Merah Putih harus sudah berkibar di Irian,” kata Soeharto kepada Ramadhan K.H dalam Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya.
Di Teluk Peling, semua unit armada laut yang tergabung dalam Angkatan Tugas Amfibi (ATA) 17 sudah siap siaga. Penyerbuan tinggal menunggu perintah Panglima Tertinggi. Soeharto harap-harap cemas. Jakarta masih belum memberikan keputusan. Perang terbuka di depan mata sementara jaminan menang belum pasti.
“Kita ini hanya mampu menyusun satu kali kekuatan pukul yang terdiri atas darat, laut, dan udara. Lebih dari itu tidak bisa. Kita tidak punya cadangan” kata Soeharto kepada seluruh pasukannya. “Ibarat pertandingan tinju: sekali pukul dengan semua tenaga yang ada dan musuh harus KO.”
Sandi Operasi: Jayawijaya
Memasuki tahun 1962, pemerintah Belanda menolak berunding soal Irian Barat dengan Indonesia. Untuk memukul Belanda, sebuah operasi militer gabungan skala besar dipersiapkan. Operasi ini direncanakan di Markas Komando Caduad (kini Kostrad) di Jalan Medan Merdeka Timur, Jakarta Pusat pada Februari 1962.
Di Markas Caduad terjadi perdebatan. Sebagian menghendaki kota industri minyak Sorong sebagai target penyerbuan. Sebagian lagi mengehendaki pulau Biak. Alasannya, Biak merupakan jantung pertahanan Belanda di Irian Barat.
Pemilihan Biak memang sangat riskan. Di sana, militer Belanda memusatkan kekuatan Angkatan Laut sekaligus basis Angkatan Udara-nya. Menurut Julius Pour dalam Konspirasi Di Balik Tenggelamnya Matjan Tutul, markas operasional pasukan Belanda sengaja ditempatkan di Biak, berhadapan langsung dengan wilayah Republik Indonesia.
Untuk menentukan target operasi diadakan rembug bersama Kepala Staf Komando Operasi Tertinggi (KOTI), Mayor Jenderal Ahmad Yani. KOTI memutuskan Biak sebagai sasaran operasi besar-besaran (B-1). Sedangkan hari-H operasi ditetapkan bulan Agustus 1962. Kode operasi diberi sandi: Jayawijaya. Menurut Amir Machmud, Kepala Staf Gabungan II (bidang operasi) Komando Mandala, Soeharto sendiri yang menamai sandi Jayawijaya merujuk puncak tertinggi di Irian Barat.
Selanjutnya, diadakan pembagian tugas masing-masing pimpinan komponen Mandala. Komodor (AL) Soedomo memimpin operasi amfibi; Brigadir Jenderal (AD) Rukman memimpin operasi pendaratan; Kolonel (AU) Leo Wattimena memimpin serangan udara. Sementara Panglima Mandala Mayjen Soeharto akan memimpin langsung operasi penerjunan (airborne).
Skema Operasi Jayawijaya. Pulau Biak menjadi target invasi. Foto: Pusat Sejarah TNI.Dalam buku Sejarah Operasi-operasi Pembebasan Irian Barat karya M. Cholil, Operasi Jayawijaya akan diawali dengan serangan sporadis dari satuan lintas udara. AU Mandala mengincar basis militer vital di Biak lewat serangkaian pemboman dan penembakan. Selanjutnya, pasukan-pasukan komando melakukan penyerbuan serta pemburuan bebas oleh AL Mandala. Setelah Biak dikuasai, maka pusat pemerintahan di Kotabaru (Jayapura) harus direbut.
Menurut rencana, hari-H jatuh pada tanggal 12 Agustus 1962. Namun karena perhitungan cuaca, mundur menjadi 14 Agustus. “Pokoknya sebelum Hari ulang tahun ke-17 Proklamasi Kemerdekaan, Irian Barat sudah harus di tangan Republik Indonesia,” ujar Amir Machmud dalam Otobiografi H. Amir Machmud: Prajurit Pejuang.
Operasi Jayawijaya mengerahkan hampir seluruh kekuatan inti TNI. Dari AD, sebanyak dua puluh ribu pasukan dari berbagai divisi diturunkan. AL menyumbang 126 kapal meliputi: buru torpedo, kapal selam, kapal fregat, buru selam, kapal cepat torpedo, penyapu ranjau, tangker, kapal rumah sakit, termasuk 33 kapal pengangkut, dan tiga batalion (sepuluh ribu) pasukan elite marinir Korps Komando. Sedangkan AU mempersiapkan pesawat tempur tercanggih yang dibeli dari Uni Soviet antara lain: 38 unit bomber TU-16, 18 unit MIG-17, 6 unit P-51/Mustang, 1 Skuadron Gannet, dan 6 unit Albatros. (Baca juga: Jenderal Nasution dan Senjata Uni Soviet dan Bantuan Alutsista dari Uni Soviet)
“Operasi ini melibatkan personil pasukan sebanyak 70.000 orang,” tulis Saleh Djamhari dan tim pusat sejarah ABRI dalam Tri Komando Rakyat Pembebasan Irian Barat.
Batal Seketika
Di saat Soeharto hendak melaksanakan misinya, tetiba keluar perintah untuk menunda operasi. Di belahan bumi yang lain para negosiator Indonesia beraksi. Atas tekanan Amerika Serikat (AS), Belanda bersedia berunding dengan Indonesia.
Pada hari-H Operasi Jayawijaya, 14 Agustus yang jatuhnya sama dengan 15 Agustus waktu New York, berita menyerahnya Belanda di meja diplomasi terdengar di Ujungpandang, Markas Komando Mandala. Perundingan yang dimediasi pemerintah AS dan PBB itu berbuah Perjanjian New York yang mengakhiri sengketa Irian Barat. Hasilnya, wilayah Irian Barat akan berada di bawah pemerintah Indonesia sedangkan Belanda harus angkat kaki. Pemerintahan transisi berlaku hingga pertengahan 1963. (Baca juga: Kemenangan yang Ternoda di Papua)
Kendati urung dieksekusi, persiapan Operasi Jayawijaya turut menentukan posisi tawar Indonesia. Menteri Luar Negeri Soebandrio, delegasi Indonesia dalam Perjanjian New York setidaknya mengakui hal ini. Dalam Meluruskan Sejarah Perjuangan Irian Barat, Soebandrio menuturkan, pesawat U-17 milik AS melintas dua kali ketika aktivitas militer TNI kian meningkat di Irian Barat. Pengintaian itu sengaja dilakukan. Potret dari udara memberikan gambaran betapa perang siap pecah.
“Hasil pemotretan itu yang benar-benar memperlihatkan bagaimana Irian Barat sudah dikepung oleh armada Angkatan Laut Indonesia yang siap menyerang,” kata Soebandrio.
Kesepakatan damai antara Indonesia dan Belanda ditindaklanjuti dengan genjatan senjata. Presiden Sukarno memerintahkan pengehentian permusuhan yang berlaku sejak 18 Agustus pukul 19.31 waktu Irian Barat. Seminggu kemudian, Mayor Jenderal Soeharto secara resmi membatalkan Operasi Jayawijaya.
Baca juga:
Papua dan Ambisi Presiden Pertama
Belanda Kirim Kapal Perang, Sukarno Meradang
Pasukan Penerjun Operasi Naga Kesasar di Hutan Papua
Aksi Kapal Selam di Papua dan Sabotase yang Gagal
Tambahkan komentar
Belum ada komentar