Nasihat Menjelang Pemberontakan
Sebelum mengobarkan perlawanan terhadap militer Jepang, tiga perwira PETA sempat berdiskusi dengan Sukarno di Blitar.
14 Februari 1945, kota Blitar dikejutkan dengan kejadian yang menghebohkan. Sepasukan prajurit PETA (Pembela Tanah Air) pimpinan Shodanco Supriyadi, Shodanco Muradi dan Shodanco Sunanto melakukan perlawanan terhadap militer Jepang. Selain perilaku diskriminasi dari prajurit-prajurit Jepang, pemberontakan tersebut dipicu juga oleh kemarahan para anggota PETA terhadap pihak militer Jepang yang kerap membuat penderitaan terhadap rakyat.
Kendati gagal, namun tidak dapat dimungkiri jika pemberontakan tersebut sempat membuat penguasa militer Jepang ketar-ketir. Itu terbukti saat mereka melakukan penumpasan, seluruh kekuatan militer Jepang di Blitar dikerahkan, bahkan juga melibatkan unsur-unsur kavaleri dan infanteri dari wilayah lain.
“Tentara Jepang sama sekali tidak menyangka, para pemuda Indonesia yang tergabung dalam PETA memiliki nyali untuk melawan mereka,” ungkap Purbo S. Suwondo, eks anggota PETA kepada Historia.
Baca juga: Jimat perang tentara PETA
Namun tidak banyak orang tahu bahwa pemberontakan itu terjadi dengan sepengetahuan Sukarno. Hal itu diakui sendiri oleh Sukarno dalam otobiografinya Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat. Menurut Sukarno, seharusnya dirinya pun terkena imbas dari pemberontakan itu karena dirinya sendiri tersangkut paut.
“Aku telah mengetahui sebelumnya. Ingatlah bahwa rumahku di Blitar,” ujar Sukarno seperti dikutip penulis Cindy Adams.
Dikisahkan beberapa minggu sebelum meletusnya perlawanan, datanglah Supriyadi, Muradi dan Sunanto menemui Sukarno yang saat itu sedang pulang ke rumah orangtuanya. Dalam wajah serius dan suara agak berbisik, ketiga perwira PETA itu mengemukakan niat mereka untuk melakukan pemberontakan. Sukarno tentu saja terkejut.
“Pertimbangkanlah masak-masak untung ruginya, saya minta saudara-saudara memikirkan tindakan yang demikian itu tidak hanya dari satu segi saja,” ujar Sukarno.
“Kita akan berhasil!” jawab Supriyadi, yang merupakan pimpinan tertinggi dalam rencana itu.
“Saya berpendapat bahwa saudara terlalu lemah dalam kekuatan militer untuk dapat melancarkan gerakan semacam itu pada waktu sekarang,” tukas Sukarno.
“Kita akan berhasil!” Supriyadi tetap bersikukuh dan berupaya meyakinkan Sukarno.
Baca juga: Cerita dari museum PETA
Menurut Tommy Darmadi (saudara dari Supriyadi) dalam kesempatan itu Bung Karno juga menyatakan bahwa sejatinya Supriyadi dan kawan-kawan adalah cikal bakal para pemimpin ketentaraan Republik Indonesia yang sudah merdeka. Si Bung juga mengingatkan agar Supriyadi dan kawan-kawan bercermin kepada insiden yang baru saja terjadi di Manchuria, ketika satu kompi tentara Jepang yang sudah gerah terhadap perilaku rekan-rekannya melakukan pemberontakan dan ditindas secara kejam.
“Kalau sekiranya saudara-saudara gagal dalam usaha ini, hendaklah sudah siap memikul akibatnya. Jepang akan menembak saudara-saudara semua!”
“Apakah Bung tidak bisa membela kami?!” tanya Supriyadi
“Tidak. Saudara anggota tentara, bukan orang preman. Dalam hukum militer, hukumanmu otomatis,” jawab Sukarno.
Dan apa yang dikatakan Sukarno memang benar adanya. Ketika dalam kenyataannya pemberontakan itu gagal maka pihak Jepang menghukum sekeras-kerasnya para pelaku. Dari 421 anggota PETA Blitar yang terlibat maka 78 diantaranya langsung dihukum berat. Termasuk Muradi dan Sunanto yang dijatuhi hukuman mati pada 16 April 1945.
Supriyadi sendiri hingga kini masih tak jelas rimbanya. Beberapa kalangan meyakini bahwa sesungguhnya begitu pemberontakan berhasil dipadamkan, Supriyadi langsung ditangkap dan dihukum mati di suatu tempat yang dirahasiakan. Namun versi-versi lain pun banyak bertebaran di kalangan masyarakat dan menunggu penelusuran yang lebih serius dari para sejarawan.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar