Mendengar Peristiwa 1965 di Udara
Saat menerbangkan helikopter dari Bandung ke Bogor, Letda Udara Pramono mendapati hal tak biasa. Tak mengubah situasi di Lanud Atang.
HARI itu, 2 Oktober 1965. Letda Udara (kini kolonel purnawirawan) Pramono Adam mendapati hal tak biasa ketika sedang di udara. Kala itu, Pram, sapaan akrab Pramono, sedang menerbangkan helikopter Mi-6 dari Lanud Husein Sastranegara, Bandung menuju Lanud Atang Senjaya, Bogor. Informasi radio begitu ramai di cockpitnya. Informasi itu ternyata menyangkut politik dan menentukan jalannya sejarah bangsa.
Kendati perwira, Pram selaku perwira AURI mengaku "buta" politik. Saat itu mayoritas personil AURI “buta” politik. “Memang jaman itu tentara sebetulnya nggak boleh berpolitik, apalagi Angkatan Udara. Kita hanya jadi technology savior. Jadi boleh ngomong hanya soal pesawat, politik nggak ada,” ujarnya kepada Historia.ID.
Ketidaktahuan politik itu membuat Pram menjalani hari-hari sejak 30 September hingga 2 Oktober 1965 seperti hari-hari sebelumnya di Wings Operasi 004 Lanud Atang, tempatnya bertugas, kendati situasi politik di pusat tengah bergejolak. Pada 1 Oktober, Pram bersama rekannya seorang penerbang AURI harus menerbangkan heli Mi-6 ke Bandung. “Kita lagi me-repair ramp door-nya, itu rusak,” ujar Pram.
Baca juga: Akhir Tragis Alutsista Legendaris
Sebelum berangkat, dia dan beberapa personil AURI di Lanud Atang sempat mendengarkan pidato Letkol Untung Sjamsuri tentang gerakan kontra-revolusioner Gerakan 30 September dari siaran radio RRI. “Kita cuma mendengarkan saja, nggak ngerti apa-apa. Kita diam saja.”
Tak ada perubahan situasi di Lanud Atang. Maka penerbangan Pram ke Bandung tak ubahnya penerbangan-penerbangan sebelumnya. Situasi di Lanud Husein pun tak ada yang berbeda. Rutinitas berjalan seperti biasa. Pram dan rekannya sibuk memperbaiki pintu Mi-6 bersama teknisi setempat.
Setelah selesai, Pram dan rekannya kembali ke Bogor keesokannya. Baru setelah heli mengudara, Pram mendapati suasana berbeda. “Di atas, ramai (informasi radio, red.). Nggak boleh ke sana, nggak boleh ke sini. Nggak boleh ke Halim, Halim udah diduduki oleh Angkatan Darat,” kata Pram menirukan suara radio. “Ternyata terjadi itu, G30S.”
Larangan pesawat-pesawat AURI mendarat di Lanud Halim Perdanakusuma dikeluarkan lantaran pada 1 Oktober sore pasukan RPKAD (kini Kopassus) mulai mendatangi lanud tersebut. Keesokannya, pasukan RPKAD berhasil menguasai Halim karena mengira AURI akan mengebom markas Kostrad.
Baca juga: AU di Tengah AD
Larangan pertama keluar pada 2 Oktober dini hari, ditujukan pada lima pesawat AURI dari Wing Ops 002 Abdulrachman Saleh. “Untuk menghindari segala kemungkinan yang mencurigakan, Komandan PAU Husein Sastranegara, Bandung melalui menara PLLU, memerintahkan kelima pesawat dari Wing Ops 002 itu mendarat di PAU Husein. Namun sebuah B-25 Mitchell terlanjur mendarat di PAU Halim Perdanakusuma, yang kemudian digembosi bannya oleh pasukan RPKAD yang sudah masuk di pangkalan,” tulis Aristides Katoppo dan kawan-kawan dalam Menyingkap Kabut Halim 1965.
Akibat larangan mendarat di Halim itu, Lanud Atang kebanjiran pesawat AURI. “Pesawat Hercules yang nggak boleh mendarat di sana, mendaratnya di sini. Pesawat Albatros yang nggak boleh ke Halim, ditolak, mendaratnya di sini. Mustang juga ada yang ke sini, itu Pak Ashadi (Tjahjadi, red.).” kata Pram.
Kolonel Udara Ashadi Tjahjadi, komandan Lanud Husein Sastranegara, datang ke Atang untuk menghadiri rapat dengan presiden di Istana Bogor pada 2 Oktober. “Dengan pertimbangan ada rapat menteri/panglima di Bogor, maka Kolonel Ashadi Tjahjadi mengambil keputusan untuk menunggu Men/Pangau di Semplak, Bogor. Dalam penantian, Ashadi Tjahjadi melihat Laksda Udara Sri Moeljono Herlambang turun dari helikopter bersama dengan Komodor Udara Dewanto, Kolonel Sarwo Edhie dan seorang mayor RPKAD yang kemudian dikenalnya sebagai Mayor Goenawan Wibisono. Kemudian petang hari sekitar pukul 15.00 bertolak ke Bogor untuk menghadiri rapat dengan presiden,” tulis Aristides dkk.
Kedatangan Kol. Sarwo Edhie itulah yang membuat Pram dan para personil AURI di Atang sedikit “melek” tentang apa yang terjadi di ibukota. “Pak Sarwo (Edhie) Wibowo juga kita anter ke sini (istana). (Kami) ketemu dengan Sarwo Edhie Wibowo, (dia) ngomong macem-macem,” ujar Pram.
Baca juga: Wangsit Sarwo Edhie Wibowo
Situasi yang berubah sejak 1 Oktober, ditambah pernyataan Men/Pangau Laksdya Omar Dani yang mendukung gerakan tersebut, membuat AURI jadi tersudut secara politik. “Di Jakarta saja, kadang-kadang ada orang TNI AU yang rumahnya nggak di asrama diganggu-ganggu di jalanan. Dikira keterlibatannya (terhadap G30S, red.).”
"Makanya Omar Dani dicela sama Bung Karno, 'Habis kerja kamu cuma ngitungi jam terbang doang, nggak ngerti politik'.”
Situasi tak mengenakkan itu membuat Danlanud Atang Kolonel Udara Soewoto Soekendar mengambil keputusan yang ditujukan kepada para bawahannya. “Kita ya cuma stand by di rumah. Kalau malem disuruh konsinyir,” sambungnya.
Beruntung apa yang dialami para personil AURI di Jakarta dan kota-kota lain tak dialami Pram dan para personil AURI lain di Lanud Atang. Hal itu dikarenakan adanya kerjasama baik antara pihak Lanud dan Kodam Siliwangi yang dipimpin Mayjen TNI Ibrahim Adjie.
“Pak Ibrahim Adjie juga ngomong AU tidak terlibat secara institusional. Kalau ada paling oknum. Dengan kita (Adjie) sudah sering ketemu, jadi tau situasi yang sebenarnya. Maka terus hubungan kita dengan Pak Ibrahim Adjie baik sekali,” ujar Pram.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar