Membentuk Tentara Rakyat
Bagaimana para pendukung Tan Malaka mendirikan kekuatan bersenjata untuk melawan militer Belanda
SEJAK kaum bersenjata datang dari arah Jakarta pada awal 1946, Karawang yang tenteram berubah menjadi rusuh: perkelahian dan bentrok terjadi di mana-mana. Menurut Telan (91), biasanya mereka bertikai gara-gara masalah kecil. Misalnya satu kelompok lasykar tidak mau bayar makanan di sebuah restoran, lalu pemilik restoran itu lapor ke pihak kelompok bersenjata lainnya.
“Ya jadilah kemudian tawuran pakai peluru,”ujar mantan anggota lasykar di Karawang itu.
Baca juga: Kiai dan Jagoan dalam Perang Kemerdekaan
Soal itu dibenarkan oleh M. Kharis Suhud. Sebagai eks kombatan di Resimen Cikampek, ia menjadi saksi bagaimana dominannya kaum bersenjata di Karawang beberapa bulan setelah Indonesia merdeka. “Terutama sebuah lasykar yang hampir tiap waktu melakukan pamer kekuatan dengan senjata lengkap di kota sambil menyanyikan lagu-lagu menyeramkan seperti lagu “Darah Rakyat” ,“tulis Kharis dalam sebuah tulisannya berjudul Sekilas Pengabdian Resimen Cikampek dalam Perang Kemerdekaan.
Lasykar yang dimaksud oleh Kharis adalah LRDR (Lasjkar Rakjat Djakarta Raja). Itu adalah nama sebuah milisi yang mengklaim sebagai kekuatan bersenjata pendukung ide-ide Tan Malaka. Saat hijrah ke Karawang, LRDR kemudian berubah menjadi LRDB (Lasjkar Rakjat Djawa Barat). Sejak itu pula, Lasjkar Rakjat (sebutan populis untuk LRDB) menyatakan diri sebagai bagian dari Partai Rakjat (kemudian berfusi menjadi Partai Murba). Selanjutnya Lasjkar Rakjat (LR), membangun organ-organ serupa di berbagai kota dan provinsi lainnya.
Baca juga: Konflik Kawan Seiring
Organ Revolusiener
Usai kemerdekaan Indonesia diproklamasikan Sukarno-Hatta, kebutuhan akan suatu organ militer sangat tinggi di kalangan pemuda Indonesia. Pada 1 September 1945, para aktivis Menteng 31 (salah satu kelompok pemuda radikal di Jakarta) memang berhasil mendirikan API (Angkatan Pemoeda Indonesia), namun organ tersebut dirasakakan belum mencukupi.
“Dalam situasi kita belum punya tentara, saat itu kami bertanya-tanya: dengan apa bayi Republik ini bisa kita bela?”ujar A.M. Hanafi (salah satu tokoh terkemuka Menteng 31) dalam Menggugat Kudeta Jenderal Soeharto.
Bersama dua tokoh Menteng 31 lainnya (Chaerul Saleh dan Pandu Kartawiguna), Hanafi kemudian menghadap Menteri Penerangan Amir Sjarifoeddin. Mereka lantas menyampaikan ide-ide mereka tentang sebuah organisasi tentara yang revolusiener dan bisa bertahan lama untuk menghadapi Belanda. Amir menganggukan kepala. Maka pada 5 Oktober 1945, berdirilah BKR (Badan Keamanan Rakjat).
“Namun secara jujur kami harus mengakui kurang puas sebab yang kami inginkan adalah suatu tentara resmi bukan sekadar badan keamanan,”ungkap Hanafi.
Untuk mengisi “kekosongan” belum adanya suatu bentuk organisasi tentara resmi, maka pada 22 November 1945, para aktivis Menteng 31 berinisiatif mengumpulkan sejumlah organ bersenjata (diantaranya: Angkatan Pemoeda Indonesia pimpinan Bahar Rezak, Oesaha Pemoeda Indonesia pimpinan preman Pasar Senen Imam Sjafi’i dan Barisan Rakjat cabang Jakarta Timur pimpinan jagoan Klender Haji Darip) di Salemba, Jakarta Pusat. Mereka lantas sepakat membentuk LRDR, sebuah nama yang menurut A.M. Hanafi, terinspirasi dari konsep tentara rakyat (peoples army).
Baca juga: Yang Raib Ditelan Bumi
LRDR terbukti menjadi kelompok yang cukup memusingkan militer Inggris di Jakarta. Akibatnya, mereka melancarkan Operasi Sergap pada penghujung 1945, dan membuat LRDR terhalau ke arah Karawang. Atas insiatif Maroeto Nitimihardjo, LRDR kemudian merubah namanya menjadi LRDB, mengingat posisi mereka waktu itu berada di Jawa Barat.
“Karena sulit membedakan antara LRDR dengan LRDB, maka orang-orang hanya menyebut kedua organ itu sebagai LR (Lasjkar Rakjat) saja,” ungkap Telan.
Konflik di Karawang
Di Karawang, LR mencitrakan dirinya sebagai kekuatan yang tumbuh dari rahim rakyat. Selain berfungsi sebagai milisi, LR juga terbilang cukup aktif dalam upaya-upaya sosial seperti pemberantasan buta huruf dan pemberdayaan ekonomi rakyat lewat pembentukan BERI ( Badan Ekonomi Rakyat Indonesia).
“Mereka pun memiliki sebuah surat kabar yang bernama Godam Djelata” ujar Robert Cribb, penulis buku Gangsters and Revolutionaries: The Jakarta People’s Militia and The Indonesian Revolution 1945-1949.
Namun sikap politik organ bersenjata pimpinan Sutan Akbar yang menentang Perdana Menteri Sjahrir (karena memilih jalur kompromis dengan Belanda) itu menyebabkan mereka harus berhadapan langsung dengan kekuatan TRI (Tentara Republik Indonesia). Konflik antara dua kubu tersebut semakin mengerucut saat pada 27 November 1946, Komandan Resimen V Tentara Republik Indonesia (TRI) Letnan Kolonel Soeroto Koento hilang tanpa jejak bersama kepala staf-nya Mayor Adel Sofyan. Tuduhan langsung ditujukan kepada LR sebagai pelaku penculikan itu. Namun dengan keras pihak LR menyangkalnya.
Tanggal 18 Maret 1947, Presiden Sukarno mengumumkan penyatuan nasional antara kekuatan tentara resmi dengan kekuatan lasykar di bawah pimpinan Jenderal Soedirman demi menghadapi agresifitas Belanda. Seruan itu dalam kenyataannya hanya dituruti oleh 5 kelompok lasykar ( Barisan Pemberontak Rakjat Indonesia, Barisan Banteng Republik Indonesia, Pemoeda Sosialis Indonesia, Lasjkar Boeroeh dan Markas Poesat Hizboellah Sabilillah) dengan membentuk Detasemen Gerak Cepat bagi Badang Perjuangan yang berkedudukan di Karawang. LR sendiri menolak untuk bergabung dalam detasemen lintas lasykar itu.
Penolakan itu membuat berang TRI. Dengan memakai dalih untuk menghukum pelaku penculikan Soeroto Koento dan Adel Sofyan, pada 17 April 1947, mereka menghajar tanpa ampun kedudukan LR di seluruh Karawang dan Bekasi. Akibatnya, ribuan anggota lasykar tersebut kocar kacir. Usai penumpasan itu, sebagian pimpinan LR melarikan diri ke “wilayah Belanda” atau bergabung dengan para kameradnya di Jawa Tengah.
Baca juga: Serdadu Bumiputra Pembela Ratu Belanda
Tambahkan komentar
Belum ada komentar