Mahasiwa yang Menolak Militerisme Jadi Orang Sukses
Mereka menolak digunduli Jepang. Mereka dikeluarkan tapi akhirnya hidup mereka lebih dari baik-baik saja.
KABINET Merah Putih Presiden Prabowo Subianto telah menyelesaikan acara retreat di Akademi Militer (Akmil) Magelang kemarin, Minggu (27/10/24). Acara yang konon dibiayai oleh Prabowo pribadi itu bertujuan untuk memperkenalkan disiplin keras yang diterapkan dalam Akmil selain untuk menyamakan gerak-langkah kabinet.
Selain berisi pembekalan materi ajar yang salah satunya diisi oleh Prabowo sendiri, acara tersebut juga disisipi latihan dasar ala militer seperti baris-berbaris. Kendati ada pihak yang mengkritisinya sebagai bentuk praktik militerisme, Prabowo mengklaim retreat bukan sebagaiman yang mereka maksudkan.
“Saya tidak bermaksud membuat anda militeristik, salah, bukan itu," kata Prabowo dikutip detik.com, 26 Oktober 2024.
Terlepas dari retreat itu militerisme atau bukan, soal militerisme pernah memicu perlawanan dari beberapa anak bangsa terhadap penguasa di masa pendudukan Jepang. Itu berlangsung di sebuah perguruan tinggi.
Setelah tutup sekitar setahun, sekolah tinggi kedokteran yang di zaman Hindia Belanda bernama Geneeskundige Hoogeschool (GHS) dibuka kembali oleh balatentara Jepang yang berkuasa di Indonesia sejak 8 Maret 1942. Dengan nama Ika Dai Gakku, sekolah di Jakarta itu dibuka kembali pada 29 April 1943.
Namun, banyak yang kecewa dengan sistem pembelajaran di sana. Mereka diharuskan belajar bahasa Jepang yang sulit dan tidak ada kaitannya dengan perkara teknis medis hanya karena dosen Belanda digantikan dosen Jepang.
Pembelajaran bahasa Jepang itu sebagai bagian upaya de-Belanda-isasi sekaligus pengenalan ideologi yang dianut Jepang. Waktu balatentara Jepang menuduki Indonesia, fasisme ditanamkan demi kemenangan Jepang dalam Perang Dunia II yang disebut Perang Asia Timur Raya. Selain belajar bahasa Jepang, penyebaran fasisme dilakukan lewat penggundulan rambut. Tak hanya pada para tentara, orang sipil termasuk mahasiswa pun disuruh gundul oleh tentara Jepang.
Sebagian pemuda tentu tidak menyukai fasisme. Namun banyak dari mereka terpaksa mematuhinya karena balatentara Jepang memaksakannya. Tapi, para pemuda di Ika Dai Gakku termasuk golongan yang tidak menyukai penggundulan paksa itu.
Pada suatu Sabtu di bulan Oktober 1943, perkuliahan hanya berjalan setengah hari. Serdadu Jepang lalu datang ke sekolah calon dokter itu. Mereka ternyata datang untuk memastikan kelancaran proses penggundulan.
“Ketika serdadu Jepang memulai acara penggundulan, timbullah pertengkaran antara seorang mahasiswa yang bernama I Gusti Ngurah dengan seorang opsir Jepang. Opsir Jepang itu mencabut pistol yang kemudian diarahkan ke I Gusti Ngurah,” kata buku Lahirnya Satu Bangsa dan Negara.
Mahasiswa lain berusaha membantu Ngurah. Keributan pun terjadi. Rupanya sudah ada mahasiswa yang menjadi korban penggundulan itu.
Mahasiswa bernama Untung lalu masuk ke asrama dengan marah-marah kendati sehari-harinya dia adalah sosok pendiam. Dia marah karena rambutnya dicukur acak-acakan sehingga terlihat lucu dan membuat sebagian temannya menertawakannya.
“Diam! Kalian tidak tahu Jepang memaksa menggunduli kita?” kata Untung yang membuat mahasiswa lain terdiam dan melongo atas paksaan itu.
Untung segera mengambil minum dan menghabiskannya. Lalu bicara kembali. “Dengar! Tadi Jepang menggunduli kami secara paksa. Kami rasa ini penghinaan terhadap bangsa kita.”
Mendengar penjelasan Untung, kawan-kawannya baru mafhum. Mereka mendukung Untung.
“Saya setuju melawan, kapan, bagaimana dan di mana? Apa sudah kalian tentukan,” kata salah satu dari mereka yang melihat Untung.
“Saya pernah digunduli Jepang, saya tidak punya pilihan. Saya harus memilih Nippon Gakku atau tidak. Memilih masuk berarti harus gundul. Ini lihat, saya masih kelihatan gundul,” kata mahasiswa bernama Suhadi.
“Saya setuju jika memang kita putuskan bersama untuk melawan. Pokoknya kita rame-rame. Walaupun sebenarnya sudah terlambat, karena sudah berbulan-bulan yang lalu anak-anak SMP dan SMT digunduli tanpa ada kita yang memprotes,” kata mahasiswa lain.
Begitulah situasi di Ika Dai Gakku yang dikisahkan mahasiswa lulusan sana bernama Suhario Padmodiwirio alias Hario Kecik dalam Memoar hario Kecik: Autobiografi Seorang Mahasiswa Prajurit.
Sehari kemudian, para mahasiswa berkumpul di ruang pertemuan Ika Dai Gakku. Namun sebagian besar mahasiswa tak berani melawan karena masih ingin kuliah dan jadi dokter seperti harapan orang tua meski perkuliahannya tak jelas. Beberapa yang lain tetap teguh ingin melawan. Selain Ngurah Gde, mahasiswa yang ingin melawan terdapat Soedjatmoko, Soedarpo Sastrosatomo, MT Haryono, Didi Djajadiningrat, dan Eri Sudewo.
“Mereka semua ditangkap Kempeitai (polisi militer Jepang). Saya tidak tahu apakah mereka mendapat hukuman atau tidak, tetapi saya dengar mereka dikeluarkan dari sekolah,” kata M. Harjono Kartohadiprodjo dalam Melangkah di Tiga Zaman .
Lantaran dikeluarkan, Soedjatmoko pulang ke Jawa Tengah dan membantu ayahnya, dr. Saleh, yang masih berpraktek. Selain itu dia banyak membaca buku. Dia nyaris frustasi.
“Sejak ini saya menjadi otodidak. Cita-cita menjadi dokter sudah saya kesampingkan dan sebagai gantinya belajar keras menggali ilmu pengetahuan serta mengejar ketinggalan,” kata Soedjatmoko seperti dikutip dalam Mengenang Soedjatmoko: Kumpulan Berita dan Obituari: Disusun dalam rangka Peringatan 40 Hari wafat Dr. Soedjatmoko.
Sementara, Soedarpo ikut kakaknya di Jawa Barat, juga membantu praktek. Soedarpo disuruh mengawasi seorang pasien yang tidak disiplin dalam pengobatan. Namun Soedarpo berkawan dan belajar berdagang dengan pasien itu. Bahkan Soedarpo titip mata uang Belanda miliknya ke pasien yang keturunan India ini.
Setelah Indonesia merdeka, pecatan-pecatan sekolah kedokteran itu ambil bagian dalam kemerdekaan Indonesia. MT Haryono masuk tentara dan lama menyandang pangkat mayor. Sewaktu terbunuh dalam G30S, dia sudah berpangkat mayor jenderal.
Eri Sudewo juga masuk militer dan pernah menjadi panglima di Jawa Barat. Dia juga mayor jenderal di Angkatan Darat, namun dia juga menjadi dokter juga setelah Jepang kalah.
Seoedarpo dan Soedjatmoko setelah 1945 bekerja di bawah Sutan Sjahrir sebagai delegari RI di Amerika Serikat dalam dalam diplomasi RI di awal kemerdekaan. Soedjatmoko yang sempat kuliah di Amerika sambil bekerja akhirnya menjadi seorang cendekiawan. Di awal era pemerintahan Soeharto, Soedjatmoko pernah menjadi duta besar RI untuk Amerika Serikat. Sementara itu, Soedarpo setelah tak bertugas di New York lagi mulai berdagang. Pedagang India yang bekas pasien kakaknya di Jawa Barat dulu pernah menemuinya dan mengembalikan uang Soedarpo. Pelan-pelan, bisnis Soedarpo membesar sehingga dia dikenal sebagai bos PT Samudra Indonesia.
Sementara itu, Ngurah Gde yang mahasiswa pendiam akhirnya jadi dokter juga dengan kuliah setelah Jepang kalah. Selain menjadi dokter dia juga dosen kedokteran di Bali. Dia pernah menjadi rektor di Universitas Udayana.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar