Kisah Petempur Cilik dalam Revolusi Indonesia
Perang Kemerdekaan di Indonesia (1945—1949) tidak hanya melibatkan orang-orang dewasa, anak-anak pun banyak yang menerjunkan diri ke dalamnya.
Dua lelaki kecil itu nampak di barisan terdepan para gerilayawan republik. Sikap tubuhnya gagah dengan masing-masing memegang senjata laras panjang, berdiri tegap tanpa alas kaki. Pemandangan dalam foto tua itu (kemungkinan) diambil oleh seorang fotografer dari Kementerian Penerangan Republik Indonesia, sesaat Divisi Siliwangi akan pergi berhijrah ke Jawa Tengah pada awal 1948.
Bambang S. Santoso dalam blog-nya menyebut dua bocah perang tersebut merupakan anggota Kompi III Yon 33 Pelopor/ Langlangbuana, salah satu kesatuan yang berafiliasi ke Divisi Siliwangi. Dia mengetahui informasi tersebut berdasarkan keterangan sang ayah yakni Kolonel (Purn.) Loekito Santoso, yang pada zaman revolusi merupakan komandan kompi di kesatuan tersebut.
Keterlibatan para bocah dalam revolusi kemerdekaan Indonesia (1945-1949) selama ini kisahnya hanya terketahui lamat-lamat saja. Beberapa film nasional memang pernah mengangkat sekilas peran mereka. Sebut saja dalam film layar lebar yang diproduksi pada tahun 1982: Serangan Fajar dan Pasukan Berani Mati.
Baca juga:
Aksi Andjing NICA di Medan Laga
Satya Graha (89) adalah salah satu dari para bocah itu. Ketika kali pertama menjadi gerilyawan usianya baru 15 tahun. Dia menggabungkan diri dalam Divisi Ayam Jago pimpinan Mayor Jenderal Moestopo yang dikenal sebagai opsir republik yang sangat nyentrik. Berbagai pertempuran pun pernah diikutinya walau (diam-diam) dia mengaku merasa takut dan gemetaran juga.
“Saya ingat kalau setiap bertempur, Pak Moes selalu berada di paling depan. Sambil menembakan senjatanya, dia tak henti berteriak-teriak dalam bahasa Belanda, mengejek para serdadu yang tengah kami hadapi,” ujar mantan jurnalis Indonesia terkemuka di era 1960-an itu.
Suatu hari saat tengah beristirahat, dia dipanggil oleh Moestopo ke ruangan utama markas. Saat sampai di sana, alangkah terkejutnya Satya ketika melihat ibunya tengah adu omong dengan Moestopo. Begitu melihat kehadiran Satya, ibunya langsung mengajak dia pulang namun Satya bersikeras untuk bertahan.
“Lha itu buktinya saya ndak memaksa, anak-nya kok yang mau ikut berjuang,” kata Moestopo kepada ibunya Satya. Barulah Satya saat itu paham bahwa ibunya dengan sang komandan dulu merupakan kawan sekolahan waktu SMP.
Kendati dimarahi dan ditakuti, Satya tetap tak mau pulang ke rumah. Akhirnya tak ada yang bisa dilakukan sang ibu kecuali menyerahkan keputusan kepada anaknya sendiri. Namun sebelum pulang, sang ibu tak henti-nya mengingatkan Moestopo untuk menjaga anaknya.
“Saya sempat malu juga kepada komandan, tapi ya gimana saat itu memang saya masih termasuk anak kecil,” kenang Satya.
Kisah yang sama juga pernah dialami oleh J.A. Soetjipto (83). Pada 1949, saat dirinya masih berusia 12 tahun, perang melawan tentara Belanda lagi hebat-hebatnya di seluruh timur Jawa. Di desanya, Prambonwetan (masuk dalam wilayah Kabupaten Tuban), pertempuran-pertempuran antara pasukan TNI (Tentara Nasional Indonesia) dengan militer Belanda kerap terjadi hampir setiap minggu.
Gencarnya serangan dan patroli yang dilakukan militer Belanda sepertinya disebabkan keyakinan mereka bahwa wilayah Prambonwetan merupakan salah satu basis terkuat TNI di timur Jawa. Penilaian itu memang benar adanya. Selama 1949, Brigade Ronggolawe menempatkan satuan-satuan kecil dari Batalyon XVI pimpinan Mayor Basuki Rakhmat.
“Di sana ada beberapa seksi pimpinan Sersan Sudjiman, Sersan Kemis dan Sersan Safii yang salah satu tugasnya melatih anak-anak muda setempat untuk menjadi tenaga tempur,” demikian disebutkan oleh buku Pengabdian Selama Perang Kemerdekaan Bersama Brigade Ronggolawe karya Panitia Penyusunan Sejarah Brigade Ronggolawe.
Baca juga:
Operasi Pembebasan 7 Marinir Belanda
Kendati belum lulus Sekolah Rakjat (SR), Soetjipto sudah direkrut sebagai tenaga tempur. Dia bergabung dengan kelompok yang dipimpin oleh Sersan Sujiman. Sebenarnya kata “direkrut” tidak begitu tepat karena bergabungnya Soetjipto ke kelompok tentara itu dilakukan secara sukarela.
“Waktu itu saya merasa ikut berperang seperti main-main saja,” ujarnya.
Kendati ke mana-mana menyandang sepucuk karaben, aura kebocahannya tetap tidak lepas dari wajah Soetjipto. Dia ingat pada suatu hari dibawa Sersan Sudjiman ke markas komando di sebuah dukuh bernama Manor. Di sana bertemulah dirinya dengan Mayor Basuki Rakhmat yang jadi terheran-heran melihat kehadirannya.
“Iki cah cilik melu-melu, ngapain?” tanya sang komandan.
“Dia itu kecil-kecil juga ikut berjuang, Pak…” jawab Sersan Sudjiman sambil terkekeh.
Mendengar penjelasan bawahannya, Mayor Rakhmat seolah masih tak percaya. Setelah menatap kembali Soetjipto, sambil tersenyum ia kemudian bilang: “Yo wis, kamu sana main-main dulu, kami mau ngomong-ngomong dulu…” katanya.
Sebagai petempur, Soetjipto tentu saja terlibat dalam sejumlah pertempuran. Namun dari sekian pengalaman tempurnya, hanya kejadian di perbatasan antara Prambonwetan dan Banjararum-lah yang hingga detik ini tak pernah bisa dilupakannya.
“Di sanalah saya mengalami pertempuran yang demikian hebat dan mengerikan,” ungkapnya.
Ceritanya pada Selasa, 23 Juli 1949 dia terlibat dalam suatu rencana penyergapan terhadap satu seksi Marinir Belanda pimpinan seorang letnan satu bernama Leen Teeken. Operasi penyergapan itu sendiri dipimpin oleh seorang letnan muda bernama Noortjahjo.
“Kami tunggu mereka di balik tanggul sebuah sungai kecil yang mengapit jalanan kampung lalu tanpa ampun menghancurkan pasukan musuh tersebut,” kenang Soetjipto.
Baca juga:
Maut Bernyanyi di Tepi Bengawan Solo
Akibat penyergapan itu, 3 orang tewas di pihak musuh dan tujuh lainnya berhasil ditawan. Tak ada korban jatuh sama sekali di pihak TNI dan rakyat. “Pertempuran itu berlangsung sangat brutal, dengan mata kepala saya sendiri saya meyaksikan kepala komandan Marinir Belanda itu ditembus serpihan-serpihan granat hingga menyebabkan otaknya berhamburan dan tercecer di pematang sawah…” ungkap Soetjipto.
Lima bulan setelah pertempuran itu, perang pun berakhir. Sebagai seorang anak petani, Soetjipto merasa bahwa hidupnya harus berubah. Dia kemudian kembali ke bangku sekolah dan berhasil masuk Sekolah Pertanian Menengah Atas (SPMA) dan dari sana dia meniti karir di Badan Pertanahan Nasional (BPN) hingga mencapai pensiun.
“Walaupun saya pernah terlibat dalam perjuangan dahulu, namun sesungguhnya saya tak pernah merasa berjasa untuk negeri ini. Bukankah saat itu hampir semua orang berjuang?" ujarnya.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar