Ketika VOC Memburu Perompak Makassar
Armada VOC diterjunkan ke wilayah Nusa Tenggara untuk menghentikan aksi kelompok perompak Makassar yang kian meresahkan. Mereka pulang tanpa hasil memuaskan
Pada 1673, VOC pusat di Batavia mendapat laporan tentang situasi gawat di perairan Nusa Tenggara. Sejumlah besar kapal dagang yang melintas di sana, antara September hingga Desember 1673, dilaporkan tidak pernah sampai ke tempat tujuan. Mereka menghilang dalam perjalanannya mengangkut komoditi dari pesisir Jawa menuju Nusa Tenggara.
Berdasarkan laporan pejabat Belanda di Lombok (Daghregister, Oktober 1673), setidaknya ada 100 sampai 150 buah kapal yang dihancurkan di perairan tersebut. Hanya sedikit sekali kapal bisa merapat kembali ke pesisir Jawa. Kalau pun ada yang selamat, kondisi kapal rusak parah dan para awak kehilangan barang bawaan mereka. Bahkan tidak sedikit kru kapal yang terbunuh.
“Mereka mencelakakan negeri, menjarahi dan membakar beberapa kampung dari Sanggar ke Sape; senjatanya tombak dan senapan, dan mereka menembaki darat dengen meriam dari atas perahu. Semua harta dirampasnya dan orang dibunuh atau dibawa sebagai tawanan,” tulis Henri Chambert-Loir dalam Kerajaan Bima dalam Sastra dan Sejarah.
Baca juga: Ulah Orang Makassar di Pesisir Jawa
Kawasan timur Nusantara, termasuk Nusa Tenggara dan Bali, telah menjadi tempat bermukim baru bagi pelaut Makassar pasca kekalahan di Perang Makassar pertengahan abad ke-17. Para pejuang itu terusir dari tanah airnya setelah Gowa memiliki pemerintahan baru yang tidak sejalan dengan mereka. Terlebih perjanjian Bungaya antara VOC dan Gowa membuat pergerakan mereka di Makassar menjadi lebih terbatas.
Tapi menurut Edward L. Poelinggomang dalam Makassar Abad XIX, perjanjian itu jugalah yang sebenarnya mengantarkan orang-orang Makassar masuk ke Nusa Tenggara dan sekitarnya. Di sana diatur soal hubungan niaga dengan penguasa Bima. Sehingga jalur laut dari dan menuju ke sana menjadi terbuka.
Di luar Makassar para pelaut itu hidup secara terpisah. Masing-masing membangun koloni baru di berbagai tempat, utamanya di Madura, ujung timur Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara. Tiap koloni dipimpinan oleh bangsawan dari tanah kelahirnya, seperti Kraeng Galesong, Kraeng Bonto Marannu, Daeng Manggappa, dan lainnya. Merekalah yang bertanggung jawab atas serangkaian serangan di pesisir Jawa dan perairan Nusa Tenggara.
“Bersarangnya orang Makassar di Sumbawa, kawasannya yang dulu, ditanggapi Kompeni sebagai hal yang sangat gawat. Jauh lebih banyak perhatian ditujukannya pada hal itu daripada bermukimnya para pengembara tersebut pada tetangganya Banten yang mencurigakan,” kata sejarawan H.J. De Graaf.
Pada Desember 1673, sebagaimana dikisahkan De Graaf dalam Runtuhnya Kerajaan Mataram, pemerintah Kolonial mengirim satu armada di bawah pimpinan Jan Franszen Holsteyn ke Nusa Tenggara. Satuan yang terdiri dari delapan buah kapal diberi satu perintah mutlak: “memberi hukuman kepada orang Makassar di Bima dan di mana pun berada”. Hal itu dilakukan VOC agar kegiatan niaga mereka di kawasan timur Nusantara dapat berjalan lancar.
Operasi penyergapan perompak Makassar itu harus dilakukan secara cepat. Mereka hanya diberi waktu kurang dari 15 hari. Begitu selesai, jangkar kembali dinaikkan dan sesegera mungkin berlayar menuju Batavia. Namun apa yang terjadi di lapangan tidak sesuai dengan perkiraan mereka. Belum juga sampai di Bima, kesulitan-kesulitan langsung menerpa armada Jan Franszen tersebut.
Ketika hendak berlayar ke Bima, pasukan tempur Belanda tidak bisa memasuki Teluk Bima. Kapal mereka terlalu besar untuk jalur pelayaran sempit di sana. Meski ada juga faktor kelalaian si nakoda kapal yang keliru memberi instruksi sehingga kapal terjebak di antara bebatuan, atau kehilangan arah. Dari delapan kapal, hanya sedikit yang bisa kembali ke Batavia. Sisanya merapatkan kapal di pelabuhan-pelabuhan terdekat.
Baca juga: Saat Bajak Laut Prancis Menguasai Padang
Sementara kapal yang mengangkut Jan Franszen menabrak karang dan tenggelam. Dia dan sejumlah perutusan Bima selamat berkat kapal pribumi yang melintas, kemudian berlayar menuju Sumbawa. Di sana mereka mendapati negeri yang telah porak poranda. Atas permintaan penguasa Sumbawa, Jan Franszen membangun sebuah benteng bersenjatakan sembilan meriam dan sejumlah besar pasukan yang bersiap menghadapi serangan perompak.
“Ekspedisi ini berlangsung dengan sangat mengecewakan. Di Sumbawa tidak banyak yang dapat dilakukan, kecuali memperingatkan raja di sana, agar berusaha sendiri membersihkan para pembajak,” ungkap de Graaf.
Setelah beberapa bulan di Sumbawa, tidak ada kemajuan sama sekali. Jan Franszen tidak sekalipun melihat perompak Makassar di kawasan tersebut. Malah muncul desas-desus bahwa sejumlah besar orang Makassar telah berlayar menuju Bali dan Banten. Mereka sudah tidak menempati kawasan Sumbawa. Menurut De Graaf, kabar itu membuat pemerintah Kolonial tidak senang. Mereka pun mengalihkan pasukan di Sumbawa ke Bima.
Pada 1675, pemerintah Kolonial di Batavia kembali mengirim pasukan ke perairan Nusa Tenggara. Kali ini mereka menyusuri pesisir utara Jawa, Madura, Cirebon, dan Lombok menuju Sumbawa. Mereka berharap dapat berjumpa dengan sisa-sisa perompak Makassar. Tapi tetap tak berbuah hasil. Rupanya para pelaut itu kerap bersembunyi di anak sungai dan muara. Mereka cukup pandai mengelabui kapal-kapal Belanda.
Sejak itu, di wilayah perairan Nusa Tenggara sudah tidak terdapat perompak Makassar dalam jumlah yang berarti. Mereka sudah tidak menarik perhatian dengan kegiatan merampok kapal niaga, dan lebih banyak melancarkan aksi kecil-kecilan di dekat muara. Jan Franszen lalu dipanggil kembali ke Batavia. Sebelumnya dia diperintahkan menghancurkan benteng buatannya di Sumbawa. Benteng itu pun dikenal dengan sebutan Succelenburg di kalangan pejabat Belanda; artinya “benteng morat-marit”.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar