Ketika Kapal Selam RI Diintai Armada VII AS
Bagaimana Angkatan Laut Amerika Serikat secara intens memata-matai pengalihan sejumlah kapal selam Uni Sovyet kepada Indonesia.
Pangkalan Laut Vladivostok, 8 Agustus 1959. Hari baru saja memasuki malam. Jarum jam menunjuk ke angka tujuh, kala dua kapal selam jenis Whiskey (W) bergerak perlahan meninggalkan perairan Uni Sovyet menuju sebuah negara kepulauan di Timur Jauh. Dua kapal selam yang masih mempergunakan nomor lambung milik Angkatan Laut Uni Sovyet itu (S-79 dan S-91) sejatinya sudah dimiliki oleh Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI).
“Pengiriman S-79 dan S-91 merupakan salah satu bentuk realisasi dari janji Perdana Menteri Nikita Khrushchev kepada Presiden Sukarno setahun sebelumnya,” ungkap sejarawan militer Uni Sovyet Alexander Okorokov dalam Тайные войны СССР (Perang Rahasia Uni Sovyet).
Baca juga:
Misi ke Indonesia itu melibatkan sejumlah awak kapal selam berkebangsaan Rusia pimpinan dua perwira menengah: Kapten Tingkat II S.M. Susoev untuk S-79 dan Kapten Tingkat III F.S. Volovik untuk S-91. Ikut bersama mereka sejumlah calon awak kapal selam ALRI yang dipimpin oleh dua perwira menengah ALRI.
“Mereka adalah Mayor J.Koesno dan Mayor R.P. Poernomo. Kelak mereka menjadi komandan di Kapal Selam RI Tjakra dan Kalal Selam RI Nanggala,” ungkap Laksamana Muda (Purn) I Nyoman Suharta.
Proses pengalihan semua kapal-kapal perang (termasuk kapal selam) milik Uni Sovyet kepada ALRI sesungguhnya sudah berlangsung sejak awal Mei 1959. Menurut Okorokov, rencana operasi itu dipersiapkan dengan cermat dan ketat di bawah supervisi seorang perwira menengah bernama Kapten Tingkat I P.Vosmak. Semua kapal perang dilengkapi dengan persenjataan artileri paling canggih saat itu.
“Beberapa saat sebelum kapal-kapal perang itu diberangkatkan ke Indonesia, Angkatan Laut Uni Sovyet melakukan perbaikan besar-besaran di Dalzavod,” ungkap dosen sejarah di Akademi Ilmu Militer Rusia itu.
Pada 25 Agustus 1959, dua kapal selam itu mulai memasuki Laut Jawa. Beberapa jam sebelum memasuki Pangkalan Laut Surabaya, terlihat sebuah pesawat Neptune milik Angkatan Laut Amerika Serikat mengintai pergerakan mereka dari ketinggian sedang. “Pengawalan” itu berlangsung hingga kapal-kapal selam tersebut memasuki Pangkalan Laut Dermaga Ujung, Surabaya.
Pengintaian intens kembali dilancarkan oleh Armada ke-7 Angkatan Laut Amerika Serikat saat Uni Sovyet mengirimkan lagi 4 kapal selam jenis W ke Indonesia pada 30 Oktober 1961. Dikisahkan oleh Okorokov, bagaimana rombongan kapal selam itu terus diawasi sejak Kepulauan Okinawa (Jepang) oleh pesawat-pesawat patroli laut AL Amerika Serikat.
“Mereka melakukan pengawasan sampai rombongan kapal selam Whiskey memasuki Selat Makassar,”ungkap Okorokov.
Namun situasi paling menegangkan justru terjadi di detik-detik terakhir konflik Indonesia-Belanda. Ketika itu Operasi Djajawidjaja (rencana menginvasi Irian Barat secara besar-besaran) akan segera diluncurkan. Enam kapal selam pun diberangkatkan ke Bitung (Sulawesi Utara) sebagai persiapan menerobos perairan Irian Barat.
Baca juga:
Persoalan muncul ketika ALRI tidak memiliki kru lagi untuk mengisi 6 kapal selam itu. Maka untuk mengantisipasi situasi tersebut, pemerintah RI memakai jasa ratusan kru kapal selam Angkatan Laut Uni Soviet. Mereka ada bukan saja sebagai instruktur, namun juga sebagai tenaga tempur aktif .
“Saya berangkat (ke Irian) bersama ratusan kru Uni Sovyet untuk bertempur di Irian Barat,” Kolonel (Purn) F.X. Soeyatno, salah satu eks anggota Korps Hiu Kencana ALRI.
Salah satu kapal selam, kata Okorokov, mendapat misi untuk menerobos Teluk Doreri. Menurut salah seorang sukarelawan Rusia bernama G.M. Melkov, penerobosan itu memiliki tujuan akhir menghancurkan dermaga di kota Manokwari (yang merupakan tempat mengisi bahan bakar kapal-kapal perang Belanda) dengan torpedo.
“Persoalannya dermaga di teluk itu dijaga oleh sejumlah kapal anti kapal selam,” ungkap Melkov.
Satu-satunya cara untuk mengantisipasi masalah tersebut, kru kapal selam ALRI harus mendapat pasokan informasi dari darat yang betul-betul akurat. Menurut Okorokov, soal itu juga menjadi masalah mengingat betapa buruknya kinerja intelijen Indonesia kala itu. Mereka bukan saja memberikan informasi yang minim namun juga data-data yang mereka kirimkan masih sangat mentah.
Baca juga:
Kondisi itu memaksa kapal-kapal selam ALRI ada dalam pantauan langsung Armada ke-7 Angkatan Laut Amerika Serikat. Bisa jadi, secara koordinat, mereka ada dalam posisi saling berhadapan. Andaikan perundingan di darat mengalami jalan buntu, sudah dipastikan untuk kali pertama akan terjadi duel secara langsung antara orang-orang Rusia dengan orang-orang Amerika Serikat di perairan Irian.
Ancaman konfrontasi secara langsung itu berlangsung selama dua minggu. Menurut Okorokov, orang-orang Rusia di kapal-kapal selam ALRI malah sudah mempersiapkan diri untuk terlibat dalam pertempuran terbuka dan perang tanpa batas.
Untunglah perang pun batal meletus. Pada pertengahan Agustus 1962, Belanda bersedia untuk menyelesaikan persoalan Irian Barat di meja perundingan. Semua kekuatan bersenjata kedua negara pun ditarik ke pangkalan masing-masing hingga perang benar-benar tak terjadi.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar