Ketika JFK Nyaris Meregang Nyawa di Perang Pasifik
Merasa tak mendapat tantangan, JFK minta diterjunkan ke front. Kapalnya terbelah dua, JFK jadi pahlawan.
TIADA secercah pun cahaya bulan di Selat Blackett, perairan Kolombangara, Kepulauan Solomon dini hari 2 Agustus 1943 itu. Tetapi dengan setengah nekat Mayor Laut Kohei Hanami memutuskan untuk menambah kecepatan kapal yang dinakhodainya, kapal perusak Amagiri, untuk menembus kegelapan nan pekat itu.
Mayor Hanami masih terbebani tugas untuk memimpin konvoi angkut pasukan darat beserta kargo amunisi, makanan, dan beberapa suplai lain dari Rabaul ke Vila di selatan Pulau Kolombangara. Amagiri dari satuan Flotilla Perusak ke-11 Kaigun (Angkatan Laut Jepang) jadi ujung tombak konvoi yang juga diperkuat tiga kapal perusak lainnya: Arashi, Shigure, dan Hagikaze.
Satu hal yang membuatnya mesti terus melaju dengan kecepatan 34 knot adalah ia berkejaran dengan waktu sebelum matahari membuyarkan kegelapan. Tentunya demi menghindari gangguan Amerika Serikat dari udara.
“Saya berdiri di anjungan, berusaha untuk bisa melihat (jarak pandang) seiring kami berlayar ke utara Selat Blackett. Saya diperintahkan untuk tetap siaga tempur karena kami selalu diganggu pesawat-pesawat Amerika saat hari terang dan kapal torpedo (motor torpedo boat/MTB) saat malam hari,” tutur Mayor Hanami, dikutip William Doyle dalam PT 109: An American Epic of War, Survival, and the Destiny of John F. Kennedy.
Baca juga: Drama Mematikan di Laut Jawa dan Selat Sunda
Tak berapa lama kemudian mereka tiba di tujuan. Seiring ketiga kapal perusak menurunkan pasukan dan kargo masing-masing, Amagiri berpatroli ke area selatan pulau. Ketika tiga kapal perusak sudah menurunkan semua muatan dan mulai berlayar lagi untuk balik kandang ke basisnya, Amagiri mulai menyusul dari arah barat pulau.
“Ada kapal di depan!” seru seorang pengintai di Amagiri.
“Lihat lagi dengan baik!” seru Hanami memberi perintah.
“Kapal MTB di sisi kiri depan!” lagi sang pengintai keukeuh.
Mayor Hanami mengambil binokularnya untuk melihat sendiri. Benar, ada kapal musuh dengan jarak 800-1.000 meter. Sembari berpikir, Hanami memerintahkan sekitar 10 awaknya untuk ikut mengintai dari haluan dan buritan demi mendeteksi. Jangan-jangan bukan hanya satu kapal musuh di sekitar mereka.
“Jika kami bermanuver mengelak jauh malah akan mengekspos sisi kapal untuk rentan diserang torpedo dari jarak dekat. Keputusan saya adalah menabraknya dan saya harus memberikan perintah itu,” lanjut Hanami.
Nyatanya MTB musuh itu tetap tak menghindar ketika Amagiri berlayar cepat ke arahnya. Hanami sempat khawatir jika MTB itu penuh amunisi torpedo akan membuat ledakan yang berdampak pada kapalnya. Tapi apa boleh buat, karena menurutnya akan percuma jika melepaskan tembakan meriam tanpa bisa membidik kapal berukuran kecil akibat gelapnya malam.
“Akhirnya kami menubruknya dengan keras. Saya melihat kapal (MTB) musuh sampai terbelah jadi dua disusul munculnya api putih dari bahan bakar mereka. Kapal torpedo itu lalu hilang dalam gelap,” lanjutnya.
Hanami juga melaporkan insiden itu ke koleganya, Kapten Tameichi Hara di kapal perusak Shigure. Amagiri lantas menembakkan meriam dan senapan mesinnya dari buritan ke puing-puing kapal musuh, sebelum melanjutkan perjalanan kembali ke Rabaul.
Tak pernah disangka di kemudian hari bahwa belasan kru MTB musuh itu selamat. Salah satunya sang nakhoda, Letnan Satu (Lettu) John Fitzgerald Kennedy (JFK), pahlawan Perang Pasifik yang kelak jadi presiden Amerika ke-35 (1961-1963).
Terdampar di Pasifik Selatan
Di usia mudanya, JFK adalah sosok pencari tantangan. Sempat dihalang-halangi ayahnya saat mulai masuk sekolah calon perwira OCS pada 1941, ia tak puas hanya jadi perwira AL di kesatuan MTB yang bertugas di Terusan Panama.
Ia sampai membuat surat terbuka kepada politisi David Walsh, senator Negara Bagian Massachusetts merangkap Komite Bidang AL, untuk bisa ditugaskan ke front Pasifik. Tak berapa lama kemudian, 23 Februari 1943, Lettu JFK ditugaskan menakhodai kapal patroli MTB PT-109 di Skadron MTB ke-2 yang berbasis di Pulau Tulagi, Kepulauan Solomon.
MTB PT-109 merupakan salah satu kapal cepat torpedo buatan pabrikan Elco Boat Works. Ditenagai tiga mesin 12 silinder Packard W-14 M2500 berbahan bakar bensin, MTB berdimensi 24 x 6,3 meter berbobot 57 ton itu bisa berlayar hingga kecepatan maksimal 41 knot.
Baca juga: Yamato Berjibaku
MTB itu diawaki tiga perwira dan 14 kru. Dengan tugas patroli dan blokade, PT-109 dipersenjatai empat tabung torpedo 21 inci, dua pelontar depth charge atau bom dalam, sepucuk meriam kaliber 20 mm, sepucuk meriam kaliber 37 mm, serta dua pasang senapan mesin Browning M2 kaliber 12,7 mm.
Dengan MTB inilah Lettu JFK memimpin 12 krunya ketika insiden di atas terjadi. Saat itu MTB-nya sudah berpindah basis ke Pulau Rendova dan berpatroli dari perairan Pulau Bougainville hingga Kolombangara pada malam 1-2 Agustus 1943.
“Pada malam 1 Agustus (1943) sebenarnya PT-109 dan beberapa MTB lain sempat mendeteksi sebuah konvoi kapal Jepang lain. Tapi dari 24 torpedo yang dilepaskan tak satupun yang mengenai sasaran,” ungkap Robert J. Donovan dalam PT-109: John F. Kenned in WW II.
Pada dini hari 2 Agustus 1943, PT-109 berpatroli lagi secara terpisah dari MTB-MTB Amerika lain. Tetiba, PT-109 jadi sasaran kapal perusak Jepang Amagiri.
Baca juga: Penerbang Amerika Pertama yang Hilang di Perang Pasifik
Dari 12 krunya, dua tewas di tempat. JFK sendiri terlempar dari kapal hingga punggungnya patah. Ia perintahkan sembilan krunya yang masih hidup untuk berenang menjauh dari kapal Jepang, sementara JFK –walau dalam keadaan cedera punggung– susah payah berenang sembari menarik seorang kru lainnya yang mengalami luka bakar parah.
“Letnan Kennedy menghabiskan 36 jam berikutnya terdampar di lautan. Tapi ia tetap mampu mengarahkan kru-kru lainnya untuk tetap bertahan di satu perahu kayu yang tersisa. Sampai akhirnya mereka mencapai sebuah pulau terpencil setelah terombang-ambing hampir selama tiga hari,” lanjut Donovan.
JFK dan ke-10 krunya selamat sampai ke pesisir Pulau Plum Pudding, 5,6 km timur laut dari puing-puing PT-109. JFK lalu minta bantuan penduduk lokal yang berbahasa Inggris untuk mendapatkan batok kelapa dan kano.
Baca juga: Kisah George Bush Terombang-ambng di Front Pasifik
JFK memahat koordinat lokasinya di batok kelapa itu sebagai petunjuk bagi misi penyelamatan. Sekira sepekan setelah insiden, JFK dan ke-10 krunya bisa diselamatkan sebuah kapal AL Amerika.
“Kennedy dengan pengecualian insiden penabrakan (oleh kapal Jepang) pada 2 Agustus, belum pernah mencatatkan pertempuran di permukaan sepanjang kariernya,” tulis Richard Tregaskis dalam John F. Kennedy and PT-109.
Setelah memulihkan diri dengan cedera di punggungnya, JFK akhirnya dibebastugaskan pada 1 Maret 1945 dengan penghargaan medali Purple Heart. Ia lebih beruntung ketimbang kakaknya, Joe Kennedy Jr., seorang pilot AL yang hilang pada 12 Agustus 1944 di front Eropa.
“Di kemudian hari pada suatu saat ia pernah ditanya bagaimana ia bisa jadi pahlawan perang, Kennedy bergurau: ‘mudah saja. Mereka (Jepang) membelah kapal patroli torpedo saya jadi dua,’” ungkap Robert Dallek dalam An Unfinished Life: John F. Kennedy, 1917-1963.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar