Ketika Cicadas Dibombardir
Dianggap sarang ekstrimis, pusat tekstil di Bandung itu 4 kali dihujani bom Angkatan Udara Kerajaan Inggris.
RABU, 12 Desember 1945. Asikin Rachman tengah berjalan di kawasan Pasar Cicadas, Bandung pagi itu. Suasana sangat ramai. Lazimnya di pasar, para pedagang dan pembeli sibuk bertransaksi. Saat itulah, di langit biru tetiba muncul 6 pesawat tempur. Masing-masing berjenis 3 Mosquito dan 3 Thunderbolt. Setelah beberapa kalo bermanuver, burung-burung besi itu pun secara bersamaan menjatuhkan bom seraya memuntahkan peluru mitraIiur yang banyak.
“Kami di bawah yang tadinya tidak menyangka mereka bermaksud akan membantai kami, jadinya kocar-kacir dan berlindung sebisanya,” ujar lelaki yang kini berusia 95 tahun itu.
Baca juga: Kisah di Balik Bandung Lautan Api
Insiden pemboman kali pertama oleh RAF (Angkatan Udara Kerajaan Inggris) itu tercatat dalam biografi Kolonel (Purn.) Mohamad Rivai, Tanpa Pamrih Kupertahankan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Akibat pemboman itu, Markas TKR Cicadas dan Gedung Komite Nasional Indonesia Daerah Cicadas hancur berantakan, puluhan rumah penduduk hancur lebur dan banyak rakyat tewas terkena reruntuhan bangunan.
“Usai pemboman itu, sebuah lubang besar menganga muncul di tengah jalan besar,” kenang Asikin, yang saat itu prajurit lasykar Hizbullah.
Nyaris berjam-jam, orang-orang tak berani keluar dari persembunyiannya. Barulah pada sore hari, rakyat dan para pejuang bergotong royong mengamankan mayat-mayat yang berserakan dan mencari jasad-jasad yang masih tertimbun reruntuhan. Hingga malam hari, pencarian terus dilakukan dengan menggunakan penerangan senter dan obor.
“Bisa dibilang semuanya beres setelah kami bekerja siang-malam selama tiga hari berturut-turut," kata Asikin.
Euis Sa’ariah alias Sartje, pejuang Laskar Wanita Indonesia (Laswi), terlibat dalam pencarian tersebut. Dalam buku Saya Pilih Mengungsi: Pengorbanan Rakyat Bandung untuk Kedaulatan karya Ratnayu Sitaresmi, Aan Abdurachman, Ristadi Widodo Kinartojo dan Ummy Latifah Widodo, Sartje bersaksi bahwa saat itu banyak korban pemboman yang ditemukan dalam kondisi sudah membusuk.
“Sampai-sampai (setelah mengangkut mayat-mayat itu), saya enggak bisa makan,” ungkapnya.
Baca juga: Kisah Pemenggal Prajurit Gurkha
Di hari ketiga pencarian dan evakuasi korban, pesawat-pesawat tempur Inggris kembali menyerang. Mereka menjatuhkan 15 bom yang meluluhlantakan desa-desa sekitar Cicadas, sehingga kesengsaraan rakyat semakin hebat.
“Namun sekali ini, korban jiwa tidak ada. Sebabnya rakyat dan pejuang baru mengerti jika sasaran penembakan dan pemboman musuh adalah desa-desa dan tempat-tempat yang tersembunyi,” ujar Mohamad Rivai.
Maka ketika pesawat-pesawat itu mulai beraksi, para pejuang dan rakyat alih-alih mengamankan diri ke tempat berlindung, mereka justru bertiarap di sawah-sawah dan jalanan tanpa melakukan gerakan apapun. Dengan aksi seperti itu, para pilot RAF malah tidak menembak mereka.
Namun, penderitaan rakyat Cicadas belum berakhir. Pada 21 Desember 1945, tepat jam 13.00, beberapa pesawat pembom Inggris kembali menyambangi kawasan yang sejak zaman Hindia Belanda dikenal sebagai pusat tekstil tersebut. Kali ini Inggris menyasar Markas Batalion Hizbullah pimpinan Mayor Aminuddin Hamzah dan Unit Husinsyah.
“Akibat pemboman itu puluhan rakyat tewas dan 35 lainnya mengalami luka-luka…Inggris sendiri mengumumkan telah menangkap satu truk penuh pasukan Banteng Hitam,” tulis A.H. Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia: Diplomasi dan Bertempur (Jilid II).
Baca juga: Heboh Pemuda Peuyeumbol
Dalam pemberitaannya pada 26 Desember 1945, harian Merdeka menyebut bahwa korban pemboman Inggris pada 21 Desember 1945 telah banyak menimbulkan kematian di kalangan rakyat sipil. Secara jelas, Merdeka menyebut mayoritas korban adalah masyarakat Tionghoa yang tinggal di wilayah sekitar Pasar Cicadas.
Dua hari kemudian, Cicadas lagi-lagi disambangi pesawat-pesawat pembom Inggris. Kendati para petugas dari Palang Merah Indonesia (PMI) masih sibuk melakukan evakuasi korban pemboman 21 Desember 1945, pihak militer Inggris tak peduli dan tetap melakukan penyerangan lewat udara ke lembah Cicadas. Bahkan seolah tak cukup lewat udara, di darat pun mereka mengerahkan kekuatan-kekuatan tempurnya.
“Sejak jam 06.00 telah terjadi pertempuran-pertempuran di mana musuh mempergunakan tank dan artileri,” ungkap Nasution.
Apa yang menyebabkan militer Inggris begitu bernafsu menghabisi wilayah Cicadas? Menurut Nasution, militer Inggris sangat meyakini informasi dari intelijennya bahwa Cicadas merupakan salah satu basis terkuat para “ekstrimis Indonesia” yang ada di Bandung.
Dan memang menurut sejarawan John R.W. Smail, Cicadas yang padat dipenuhi oleh kekuatan kelompok-kelompok bersenjata Indonesia. Mulai TKR hingga badan-badan lasykar.
“Di sana ada kekuatan Hizbullah paling besar di Bandung yakni batalion yang dipimpin oleh Aminuddin Hamzah,” ungkap Smail dalam Bandung Awal Revolusi (1945-1946).
Baca juga: Desas-Desus Sabotase Banjir Bandung 1945
Tambahkan komentar
Belum ada komentar