Kapolri Total Mendalami Spiritual
Inilah salah satu alasan Soekanto dicopot sebagai kepala polisi pertama. Perjalanan spiritualnya dari Freemason, yoga, hingga Olahraga Hidup Baru.
SUPARDI berdiri tegak. Merapatkan tumit. Berkonsentrasi. Dia meraba tangan hingga lengan kanan, berganti ke tangan hingga lengan kiri, lalu dada, perut, paha, lutut, kaki, betis, belakang paha, pinggul, punggung, pundak, dan terakhir mengusap wajah. Dia menarik nafas dari rongga dada lalu memutar lengan ke belakang, dan tumit sedikit terangkat. Gerakan itu diulanginya hingga duapuluh kali putaran.
“Saat mengusap wajah, bayangkan wajah kita masing-masing. Lalu berdoa sesuai agama dan kepercayaan masing-masing juga. Kemudian kencangkan semua otot tubuh,” ujar Supardi memberi panduan singkat gerakan Olahraga Hidup Baru (Orhiba).
Untuk pria berusia kepala tujuh, Supardi tergolong lincah. Suaranya masih lantang. Lengannya pun terlihat liat.
“Ya bersyukur masih begini. Sejak 1962, saya diajari Bapak (Soekanto) Orhiba. Dan sejak itu hingga sekarang, saya meneruskan tinggalan Bapak ke orang-orang,” ujarnya. Supardi, keponakan Soekanto Tjokrodiatmodjo, adalah pengurus Orhiba komisariat Jakarta.
Baca juga: Soekanto Peletak Dasar Institusi Polri
Sebelum mempopulerkan Orhiba, jalan hidup Soekanto memang tak bisa lepas dari kebatinan. Bahkan sedari usia 10 tahun dia sudah diajarkan tentang spiritualitas oleh ayahnya.
“Arti kebatinan itu tidak dipersepsikan negatif. Di era pergerakan, hampir semua tokoh menganut kebatinan,” ujar sejarawan Genoveva Ambar Wulan, yang juga salah satu penulis buku biografi R.S. Soekanto Tjokrodiatmodjo.
Mendalami Yoga
Hasrat untuk serius menekuni kebatinan muncul selama Soekanto menjabat kepala Djawatan Kepolisian Negara (DKN). Pada 1953, dia bergabung dengan sebuah gerakan yang disebut Divine Life Society (DLS).
DLS didirikan Sri Swami Sivananda Maharaj pada 1936 di Rishikesh, Himalaya. Sivananda seorang dokter tapi meninggalkan profesinya dan memilih jalan spiritualitas. Dia mulai mendalami Yoga dan Vedanta sembari mengobati orang lain. Ajarannya mewakili saripati ajaran semua agama dan semua orang kudus dan nabi di dunia.
DLS memiliki 300 cabang di India dan lebih dari 200 cabang di tempat lain di dunia, termasuk Indonesia. Soekanto dalam artikel bertajuk “Do We Really Want Peace?”, dimuat majalah Rosicrucian Digest tahun 1958, menyebut cabang pertama di Indonesia berdiri di Malang pada 1955, disusul Jakarta, Bogor, Surabaya, dan Semarang.
Baca juga: Misi Rahasia Soekanto Mencari Senjata
Soekanto bukan hanya mempelajari cara hidup yoga tapi juga memperkenalkannya kepada anggota-anggota kepolisian. Namun karena tak ada guru yoga berpengalaman, Soekanto melawat ke India.
Haryati Soebadio, jurubicara Orhiba dan mantan menteri sosial (1988-1993), mengisahkan petualangan spiritualitas Soekanto dalam makalah “Report on Orhiba, A Modern Indonesian Concept of Yoga” yang dibawakan pada International Sanskrit Conference di New Delhi, India, tahun 1976. Menurutnya, di India, Soekanto bertemu dengan Vishnu Devanand, seorang profesor dari Rishikesh. Devanand bersedia mengajarkan anggota-anggota kepolisian Indonesia yang tertarik berlatih yoga.
Maka, pada 1967, latihan yoga mulai diadakan di kepolisian.
“Bahkan semua polisi dianjurkan ikut yoga. Ini upaya menggembleng diri sendiri. Mendidik polisi untuk jujur. Membangun mental,” ujar Ambar Wulan.
Namun, Soekanto belum cukup puas dengan cara hidup yoga. Dia melanjutkan perjalanan spiritualitasnya.
Jadi Suhu Agung
Selain bergabung dengan DLS, pada tahun yang sama Soekanto mendaftarkan diri sebagai calon anggota loji Indonesia Purwa-Daksina Jakarta, yang diketuai Soemitro Kolopaking Poerbonegoro, mantan bupati Banjarnegara.
Purwo-Daksina, bagian dari gerakan Freemason, berdiri pada 29 November 1952. Freemason sendiri, yang memiliki tujuan tercapainya dunia di mana setiap orang mendapat tempat yang layak, sudah eksis di Hindia Belanda pada abad ke-18 dan diikuti banyak kalangan elit.
Masuknya Soekanto, tokoh berpengaruh, tentu disambut baik. Pada 8 Januari 1954, dia didaulat menjadi anggota Purwo-Daksina. Menurut Th Stevens dalam Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1962, inisiasi dilakukan menggunakan bahasa Indonesia dan diperdengarkan pula iringan suara gamelan Jawa. Limapuluh anggota Freemason menyaksikannya.
Empat tahun kemudian, Soekanto ditunjuk sebagai ketua Yayasan Raden Saleh yang bergerak di bidang pendidikan. Nama Raden Saleh dipilih karena dia menjadi orang Indonesia pertama yang menjadi anggota Freemason, kendati dilantik di sebuah loji di Den Haag, Belanda. Yayasan ini merupakan terusan dari Carpentier Alting Stichting (CAS), yang diprakarsai Albertus Samuel Carpentier Alting, tokoh penting Freemason masa Hindia Belanda. Pada 1959, Soekanto akhirnya menjadi suhu agung (grand master) dari Loji Timur Agung Indonesia atau Federasi Nasional Freemason.
Menariknya, Soekanto juga tercatat sebagai suhu agung Ancient and Mystical Order Rosae Crucis (AMORC) di Indonesia. AMORC mirip Freemason tapi ia menarik akar jauh ke belakang pada tradisi mistik Mesir kuno. Ia didirikan Harvey Spencer Lewis, seorang Freemason, di New York, Amerika, pada 1915.
Freemason dan AMORC kemudian tak berkembang setelah Presiden Sukarno melarang organisasi-organisasi tersebut di Indonesia pada 1962. Dampak dari pelarangan itu menimpa aset Freemason Indonesia dan sekolah milik Yayasan Raden Saleh yang disita pemerintah.
“Aset di Bappenas (gedung Bappenas) dan Yayasan Raden Saleh gak bisa diambil lagi,” ujar Supardi.
Kendati ada larangan, posisi Soekanto sebagai suhu agung tetap diakui. Terbukti Soekanto mendapat undangan pertemuan tahunan AMORC di Toronto, Kanada, pada 1970. Dalam kesempatan itu, dia memaparkan soal Orhiba.
Manusia Baru
Pada 1957, Soekanto menerima brosur berjudul “Kesempurnaan Hidup”. Pengirimnya adalah Soesilo, pembantu T.U. Saerang, seorang Minahasa, Sulawesi Utara, yang menetap di Banyuwangi, Jawa Timur.
Brosur itu hanya mampir di meja kerja. Soekanto tak sempat membacanya karena kesibukannya sebagai kepala DKN. Namun bukan berarti Soekanto tak tahu isinya. Menurut Haryati Soedibyo, melalui kontak batin, Soekanto telah berkenalan dengan “orang suci” yang dikaitkan dengan konsep Orhiba.
Mochtar Effendy dalam Ensiklopedi Agama dan Filsafat, Vol. 1, menyebut Saerang berasal dari orang kebanyakan. Namun karena ketekunannya, dia menjadi tuan tanah dan pemilik peternakan sapi. Setelah mendapat “ilham” berupa Orhiba, dia membagi-bagikan hartanya kepada masyarakat sekitar dan mulai menyebarkan ajarannya di kalangan keluarga dan handai taulan. Frederik Lambertus Bakker dalam The Struggle of Hindu Balinese Intellectuals menyebut Saerang menerima “wahyu” pada 8 Agustus 1941.
Setelah pensiun, Soekanto kembali menekuni hobi berburu. Pada 1960, dia menerima undangan berburu ke Afrika dari Patrick Hemmingway, seorang pemburu profesional yang juga putra novelis terkemuka Amerika Serikat Ernest Hemmingway. Ketika bertolak ke Afrika, Soekanto membawa serta brosur “Kesempurnaan Hidup” dan meluangkan waktu untuk mempelajarinya.
Sepulang dari Afrika, Soekanto menemui Saerang di desa Galean, Banyuwangi, Jawa Timur. Dia kemudian memutuskan menekuni Orhiba. Bahkan menyediakan diri sebagai juru bicara sekaligus mempromosikan Orhiba kepada orang yang mau mempelajarinya.
Menurut Haryati Soedibyo, Soekanto mulai dengan anggota keluarga dan teman-teman dekatnya. Pada 1961 Lembaga Pembantu Pembangunan Djiwa didirikan dan menghelat kongres pertamanya di Yogyakarta. Soekanto menggunakan kesempatan ini untuk berbicara mengenai Orhiba namun kurang mendapat sambutan. Lembaga itu sendiri berumur pendek karena kekurangan dana. Beberapa koleganya menyarankan agar dia melembagakan Orhiba.
Baca juga: Soekanto Dikudeta di Tengah Prahara
Maka, pada 5 Februari 1964, berdirilah Yayasan Orhiba di Malang dengan Soekanto sebagai pelindung. Namun gerakan ini tak dikenal di luar lingkaran kecil dan berlangsung selama bertahun-tahun. Situasi sosial-politik juga tak mendukung setelah adanya larangan pemerintah terhadap organisasi-organisasi mistik dari luar negeri. Di tambah lagi Soekanto tak disukai Sukarno, yang menyebabkannya diberhentikan sebagai kepala DKN.
Kendati lambat, Ohirba melebarkan sayap. Pada 1966 berdiri Orhiba di Bali. Pada saat yang sama beberapa anggota coba memperkenalkan Orhiba di Jakarta tapi tak meraih kesuksesan. “Faktanya, di mana-mana mereka menertawakan,” ujar Soekanto.
Namun setelah mendengar manfaat Orhiba untuk penyembuhan di tempat lain, banyak orang mulai tertarik. Soekanto jadi sibuk. Didatangi banyak orang, diminta bicara dan mendemonstrasikan Orhiba.
Pusat Yayasan Orhiba akhirnya dipindahkan ke Jakarta pada 1968. Dua tahun kemudian diadakan pembaruan pengurus, dengan Soekanto sebagai ketua umum merangkap pelindung. Mereka berharap tujuan Yayasan terwujud: “membina manusia Indonesia yang sehat, kuat, dan hidup, Manusia Baru.”
Berolah Tubuh
Pada 16-20 Juli 1970, sebagai suhu agung AMORC, Soekanto mendapat undangan untuk berbicara mengenai Orhiba dalam pertemuan tahunan AMORC di Toronto, Kanada. Di sana dia mengajukan paparan berjudul “Facing the Challenge of Modern Living”.
Makalah Soekanto dimuat Rosicrucian Digest Vol. 48 tahun 1970. Makalah ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan dicetak Yayasan Orhiba dengan judul Menghadapi Tantangan Penghidupan Modern. Buku ini menjadi pedoman bagi setiap anggota Orhiba.
Acara di Kanada membuat Orhiba dikenal lebih luas. Beberapa orang asing tertarik mempelajarinya. Menurut Haryati Soedibyo, Orhiba Jakarta juga menggaet anggota dari kantor bisnis dan kedutaan asing. “Salah satunya Mrs. Galbraith, istri dari dubes AS,” ujarnya, merujuk pada Martha F. Galbraith, istri dubes AS untuk Indonesia Francis Joseph Galbraith.
Baca juga: Sukarno Dipengaruhi Freemason
Sejak 1970 pula, Yayasan Orhiba menyelenggarakan latihan-latihan di departemen-departemen pemerintah, TNI dan Polri, lembaga negara, hingga masyarakat umum. Kesederhanaan gerakan dan manfaatnya membuat Orhiba cepat disukai orang.
Anggota Orhiba terhitung heterogen. Banyak di antaranya pengikut aliran kepercayaan Subud dan Pangestu, di samping penganut agama resmi di Indonesia. Namun Soekanto sendiri menekankan tujuan utama Orhiba adalah kesehatan. Jika ada orang akan melakukan hal lain setelah merasa nyaman di Orhiba, itu hak masing-masing. Dia menambahkan, prinsip-prinsip dalam Orhiba tak bertentangan dengan agama atau aliran kepercayaan lainnya.
“Orhiba murni fisik. Macam gymnastik-lah. Senam. Jadi olahraga ini diciptakan orang dahulu untuk dirinya sendiri. Lha posisi kita kan cuma kasih tahu jalannya,” ujar Supardi. “Semua orang bisa, mulai anak kecil, pria wanita. Pokoknya sejak orang punya nalar pengertian.”
Kepopuleran Orhiba membuat Soekanto mengajukan kepada pemerintah supaya Orhiba dijadikan olahraga nasional. Namun usaha itu gagal. Meski menyandang embel-embel “olahraga”, Orhiba tak seperti cabang olahraga pada umumnya. Tak ada kompetisi di dalamnya.
“Dalam Orhiba itu, antara fisik dan mental harus seimbang,” ujar Awaloedin Djamin, mantan asisten Soekanto (1955-959) dan Kapolri (1978-1982). “Sederhana sekali. Banyak muridnya.”
“Murid” Soekanto di antaranya kalangan elit. Salah satunya Mohammad Hatta, mantan wakil presiden. Hatta rajin latihan Orhiba sejak 1972. Alasannya, seperti diutarakan Halida Hatta dalam Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia, agar punya tenaga cadagan jika sakit.
Nama lainnya adalah Sawito Kartowibowo, saat itu direktur riset Lembaga penelitian Tanaman Keras/Tanaman Industri Bogor. Sawito bergabung pada 1969. Dia bikin heboh jagat perpolitikan nasional pada 1976 dengan apa yang dikenal sebagai Gerakan Sawito. Gerakan ini menyerukan pelimpahan kekuasaan dari Soeharto ke Mohammad Hatta. Seruan itu tertuang dalam sebuah dokumen yang ditandatangani sejumlah tokoh nasional, termasuk Soekanto selaku ketua umum Dewan Pengurus Sekretariat Kerja Sama Kepercayaan Indonesia Pusat –dibentuk tahun 1971.
Baca juga: Kebangkitan Penghayat Kepercayaan
Presiden Soeharto marah. Sawito ditangkap dan diadili. Sementara tokoh-tokoh nasional yang membubuhkan tandatangan dicekal bepergian keluar negeri. Opini masyarakat digiring seolah-olah kasus ini ulah dari seorang pengikut kebatinan.
Soekanto memang kenal Sawito. Dia pula yang menjodohkan Sawito dengan Nuning Sri Nugrahaningsih, cucu Pakubuwono IX yang juga anak angkat Soekanto. Dia ikut membubuhkan tandatangan karena tergerak iklim kerukunan beragama dan kepercayaan.
“Saat Sawito membawa dokumen ke depan Bapak, saya sudah bilang hati-hati nanti ditangkap. Ibarat ucapan saya belum kering, benar dia sudah ditangkap,” ujar Supardi.
Orhiba kemudian mulai surut. Terlebih setelah Soekanto wafat pada 1993. Namun bukan berarti mati sama sekali. Pada Agustus 1990, gerakan Orhiba yang semula 24 macam diringkas jadi satu gerakan saja, yaitu memutar tangan.
“Kalau dulu ada melatih soul, mind, dan body. Nah sekarang body saja. Meski satu gerakan, efeknya sama dengan 24 gerakan,” ujar Supardi. Pada laman orhibasemesta.blogspot.co.id, gerakan tangan pada Orhiba disebut pula “Olah Raga Badan Daging Melihat Langit Biru”.
Hingga kini Orhiba masih eksis di Bali. Mereka bahkan membangun Wisma Orhiba di wilayah persubakan Sekar Embang, Sukawati, secara swadaya khusus untuk latihan Orhiba.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar