Jasin, Jenderal Penantang Soeharto
Hidupnya dibikin tertekan karena berani melawan. Tetap bertahan meski dipaksa minta ampun.
SEJAK awal berkuasa pada 1970, Presiden Soeharto kerap membuat merana para pengeritiknya. Mulai dari mahasiswa, akademisi, bekas pegawai negeri, hingga mantan jenderal sekalipun dibuatnya tak berkutik. Namun dari sekian purnawirawan penentang Soeharto, bisa jadi M. Jasin termasuk jenderal yang mengalami nasib cukup nelangsa.
Setelah pensiun dari militer dan beralih jadi pengusaha, bisnis Jasin dijegal oleh pemerintah Soeharto. Jasin begitu terpukul saat proyek pusat perbelanjaan yang dikerjakannya di Banceuy, Bandung dibatalkan secara sepihak. Padahal, menurut Jasin, proyek itu sudah disetujui dan mendapat rekomendasi dari Departemen Kehakiman. Untuk mengetahui sumber keuangannya, petugas intelijen bahkan dikerahkan guna menyadap rekening milik Jasin.
Pencekalan terhadap Jasin berimbas kepada keluarga. Ketika hendak menemani istri dan anaknya ke luar negeri, tiba-tiba pihak bandara mengeluarkan larangan terbang kepada Jasin. Tak hanya itu. Salah seorang putri Jasin yang menjadi dokter gigi di Rumahsakit Gatot Subroto, terhambat kariernya karena tak diangkat menjadi Pegawai Negeri selama bertahun-tahun.
Yang juga menjengkelkan, Jasin dirundung oleh mantan anak buahnya sendiri. Sekali waktu Letnan Jenderal Witarmin, Panglima Kodam Brawijaya menyampaikan pidato yang isinya mencela Jasin. “Pak Jasin itu dahulu adalah Panglima saya dan saya dijadikan Komandan RPKAD olehnya. Tetapi sekarang Pak Jasin itu pengkhianat, karena masuk Petisi 50!” Ucapan Witarmin disaksikan oleh abang kandung menantu pertama Jasin dalam acara pertemuan para dosen perguruan tinggi di Malang.
“Demikianlah,” ujar Jasin dalam otobiografinya M. Jasin “Saya Tidak Pernah Minta Ampun Kepada Soeharto“ : Sebuah Memoar yang disunting Nurinwa Ki S. Hendrowinoto. “Karena ingin menjilat Presiden Soeharto, dengan harapan akan terus dipertahankan pada jabatan mereka, -- jiwa keadilan para pejabat waktu itu seolah tertutup atau buta.”
Sang Penantang
Jasin tercatat dalam biografi Soeharto berjudul Soeharto: The Life and Legacy of Indonesia's Second Presiden yang disusun Retnowati Abdulgani-Knapp sebagai salah lawan utama sang Presiden. Jasin memang bukan perwira sembarangan. Di masa Orde Lama, dia dikenal sebagai perwira intelektual, salah satu pengajar di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (SSKAD). Pada 1955, Soeharto yang “disekolahkan” ke SSKAD bahkan pernah menjadi murid Jasin.
“Memang banyak yang heran saat itu. Soeharto menjadi siswa,” kenang Jasin. “Keanehan itu sebetulnya adalah hukuman buat perilaku buruknya sebagai penyelundup.”
Nama Jasin mulai mencuat saat menjabat Panglima Kodam Iskandar Muda di Aceh. Jasin berperan dalam memadamkan perlawanan Darul Islam pimpinan Daud Beureuh secara damai. Soeharto kemudian memakai jasa Jasin untuk menumpas PKI di Jawa Timur dengan mengangkatnya sebagai Panglima Brawijaya pada 1967. Lewat Operasi Trisula, dalam tiga tahun, Jasin sukses membersihkan unsur komunis di Jawa Timur. Karier militer Jasin mencapai puncaknya ketika dia didapuk sebagai Wakil Kepala Staf Angkatan Darat.
Jelang pemilihan umum tahun 1971, dimulailah babak konflik antara Jasin dengan Soeharto. Jasin meminta kepada Soeharto agar menyediakan truk untuk TNI mengangkut pasukan pengamanan pemilu di daerah-daerah. Jasin menyarankan truk bermuatan tiga ton, agar tak merusak jalanan di kabupaten yang rusak parah. Soeharto mengangguk setuju.
Jasin kemudian terkejut ketika Soeharto memanggilnya ke kantor kepresidenan dan menyodorkan truk bermuatan lima ton. Tawaran itu ditolak Jasin. Alasannya, jalan-jalan di pedalaman tak cocok untuk truk lima ton. Dengan sinis, Soeharto berkata, “Kalau Jenderal M. Jasin tidak mau yang lima ton, satu truk pun tidak akan saya berikan.”
“Dilaporkan bahwa para pembantu Soeharto telah mengikat perjanjian dengan sebuah perusahaan industri otomotif Jepang untuk memasok kendaraan besar,” tulis jurnalis Australia David Jenkins dalam Soeharto dan Barisan Jenderal Orba: Rezim Militer Indonesia 1975—1983.
Sejak peristiwa itu, hubungan dengan Soeharto merenggang. Tak lama setelahnya, Jasin mengundurkan diri. Jasin makin kritis. Dia mencela keterlibatan keluarga Soeharto yang berbisnis menggunakan kekuasaan dan fasilitas negara. Misalnya kepemilikan peternakan di Tapos, Bogor.
Lahan seluas 732 hektar itu diperoleh lewat jasa Gubernur Jawa Barat, Letjend Solichin G.P. Pengerjaan sarana di dalamnya melibatkan Departemen Pekerjaan Umum. Sementara, sapi-sapi ternak didatangkan dari Australia menggunakan kapal milik Angkatan Laut. Dan usaha peternakan itu berada di bawah Sigit Harjojudanto, salah satu putra presiden.
Bisnis lainnya keluarga Soeharto yang disoroti Jasin adalah monopoli cengkeh yang dilakoni adik tiri Soeharto, Probosutedjo. Menurut Jasin, yang sempat menjadi Kepala Dinas Bidang Industri, ulah Probosutedjo mencekik pabrik-pabrik rokok yang kesulitan membeli bahan baku karena harga yang terus melonjak.
Jasin mempersoalkan kedudukan Soeharto selaku kepala negara yang menerbitkan Peraturan Presiden (PP) No. 6 dan 10 tahun 1974. PP yang dikeluarkan setelah Insiden 15 Januari 1974 (Insiden Malari) meletus itu menyangkut komersialisasi jabatan yang melarang pejabat negara dan keluarganya berbisnis.
“Tetapi, untuk apa bikin peraturan sangat muluk kalau kemudian dilanggarnya sendiri? Inilah contoh pemimpin munafik,” ketus Jasin kepada wartawan senior Kompas Julius Pour dalam “M. Jasin Figur Seorang Perwira” termuat dikumpulan tulisan Warisan (daripada) Soeharto.
Keluarga Soeharto makin memuakkan di mata Jasin terlebih setelah seorang pejabat pemerintah yang juga mantan jenderal melecehkan anggota keluarga Jasin. Salah seorang putri Jasin mendapat perlakuan tidak senonoh dari pejabat yang masih memiliki kekerabatan dengan Tien Soeharto.
Soeharto Berang
Jasin menuangkan keluhannya tersebut secara pribadi kepada Soeharto maupun pejabat negara yang bersangkutan. Namun tak ada tanggapan. Pernyataan terbuka baru terjadi ketika Jasin bergabung dalam Petisi 50. Dalam suatu kesempatan setelah penandatanganan petisi, Jasin menyatakan kritiknya di muka anggota DPR/MPR dan pers. Dikoreksi secara terang-terangan menyebabkan Soeharto murka.
Jasin diseret ke pengadilan dan dipaksa minta maaf. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mendakwa Jasin telah melakukan penghinaan terhadap Soeharto dan mengganggu kepentingan umum. Pada 4 April 1981, berbagai media memberitakan permintaan maaf Jasin kepada Soeharto. Menyusul dakwaan tersebut, pencekalan dan pemutusan urat ekonomi terhadap kehidupan Jasin berlangsung hingga rezim Orde Baru runtuh.
“Begitulah lazimnya: ada risiko-risiko sosial dan psikologis, material maupun moral, yang harus diterima para pejuang yang bersikap kritis terhadap pemerintahan Soeharto,” ujar Jasin dalam otobiografinya.
Sampai akhir hayatnya, Jasin menyangkal pernah meminta maaf kepada Soeharto. Dia berumur panjang, wafat pada 7 April 2013 dalam usia lanjut 91 tahun. Kendati sudah uzur, Jasin masih sempat melihat rezim yang ditentangnya tumbang dilengserkan rakyat.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar