Jalan Panjang Memenangkan Gugatan
Pengacara sekaliber Liesbeth Zegveld pun turun tangan untuk membela korban peristiwa Pembantaian Rawagede.
Sudah sejak 1969, berbagai kasus kejahatan perang tentara kolonial Belanda, termasuk peristiwa Rawagede diangkat ke media, menjadi perdebatan publik bahkan berkali-kali menjadi tekanan buat pemerintah Belanda. Semuanya kandas. Tak satu pun dibawa ke meja hijau. Namun kini, 65 tahun setelah peristiwa berlangsung, penyintas (survivor) peristiwa Rawagede memenangkan gugatannya.
Pada 8 November 2010 Saih bin Sakam datang ke Belanda, ingin bertemu Ratu Beatrix, namun ditolak. Tapi kesaksian Saih dianggap hidup, segar, kuat dan sarat bukti kesaksian, termasuk bekas tembakan di kakinya. Kini Saih telah tiada. Dia wafat pada 7 Mei lalu dan tak sempat lagi mendengar kabar baik kemenangan ini.
Inilah apa yang disebut onrechtmatig handelen, suatu eksekusi sebagai kenyataan yang polos dan telanjang. Vonis majelis hakim yang diucapkan Pengadilan Sipil Den Haag Rabu (14/9) kemarin bagai petir di siang bolong setelah selama enam dekade kasus Rawagede terpendam di bawah karpet di tengah pergolakan sejarah mulai kemerdekaan, kemudian pemulihan hubungan dan persahabatan Belanda-Indonesia.
Baca juga: Kisah Duka dari Pembantaian Rawagede
Lihat saja perjalanan kasusnya. Sebulan setelah peristiwa Rawagede 9 Desember 1947 terjadi pihak Republik Indonesia melaporkan kejadian itu kepada Komisi Jasa Baik untuk persoalan Indonesia (Committee of Good Offices on the Indonesian Question). Tak ada tindak lanjut kecuali satu pernyataan dari Dewan Keamanan PBB ke Indonesia tertanggal 12 Januari 1948 yang menyebutkan aksi brutal tentara Belanda di Rawagede sebagai “deliberate and ruthless” (dilakukan dengan sengaja dan keji). Baru pada 22 Juli 1948, Letjen. S.H. Spoor, komandan tentara Belanda di Indonesia menulis ke Kejaksaan di Jakarta tentang insiden tersebut. “Saya sangat kerepotan, secara hukum orang itu (pelaku eksekusi) dapat dituntut di Krijgsraad (Dewan Pengadilan Perang)”, tapi katanya pula “kalangan di Krijgsraad itu cenderung ‘lebih baik tidak usah mendakwanya’”. (Surat Spoor kepada Jaksa H.W. Felderhof)
Spoor mengakui terjadi eksekusi di luar hukum, tapi dia bimbang. Kalau mengajukan dakwaan kepada si pelaku, “situasinya bisa lebih gawat,” katanya. Menjawab surat Spoor, Jaksa Felderhof menganjurkan, “Deponir saja kasusnya”. Sikap mendua dan kebimbangan, dengan alasan yang tak jelas itulah yang membuat kasus kekejaman tentara Belanda diam-diam lenyap tak berbekas.
Tiga dekade berlalu, pada 1969, seorang bekas prajurit KNIL angkat suara. Kisah-kisah yang diungkap oleh teman-teman dan dirinya sendiri menjadi perdebatan publik pertama di Belanda tentang kejahatan tentara kolonial. Pemerintah sayap kiri dibawah kepemimpinan Joop Den Uyl (PvdA) bersikap defensif. Jawab Den Haag yang termasyhur dengan sebutan “Excessennota” menerima laporan Tim PBB tadi dan menyebut “150 orang Indonesia tewas, di kampung (Rawagede) itu tak ditemukan senjata dan di pihak Belanda tak ada korban luka mau pun tewas.” Jadi kejahatan perang yang terjadi dianggap tindakan yang berlebihan dari suatu tindak perang. Pantas nota pemerintah pun menyebut diri “Nota Ekses”.
Baca juga: Simpang Siur Penyebab Pembantaian Rawagede
Anehnya, nota pemerintah itu melanjutkan saran Spoor dan menyimpulkan “si mayor yang memimpin satuan eksekutor penduduk Rawagede tersebut diputuskan tidak didakwa”.
Pengganti Den Uyl, Perdana Menteri J.P. de Jong (Partai Katolik), melangkah lebih jauh lagi: “Sebagian terbesar kasus-kasus, kebanyakan yang tergawat, tidak mungkin lagi dipidanakan.” Silat lidahnya begini: “Bukan keseriusan delik itu yang menentukan, (tapi) delik-delik yang serius itu sendiri sudah kadaluwarsa sehingga tidak memungkinkan proses yang adil”.
Hakim rupanya mengutip data di atas dan menghimpunnya dengan teliti sebagai senjata untuk menilai gugatan para janda Rawagede yang diajukan ke meja hijau sejak 2008. Tapi sebelumnya sejumlah siaran televisi Belanda sudah mulai menayangkan dokumenter mengenai kasus Rawagede. Maka pada 1995 PM Wim Kok (PvdA) berjanji menyelidikinya. Menurut kabinet Kok dalam suratnya 5 September 1995 kepada Parlemen, “dokumenter itu tidak memberi titik terang baru atas fakta-fakta yang telah diketahui”. Dengan kata lain, kasus Rawagede tidak disangkal, namun prosesnya tetap jalan di tempat.
Hakim juga menyoroti “De Stichting” (yayasan, red.), maksudnya Stichting Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB), sebuah yayasan yang dipimpin Jeffry M. Pondaag, berkedudukan di Heemskerk, Belanda yang mengangkat kasus Rawagede sejak 2008. Pondaag, pemuda asal Sulawesi ini, getol berkampanye dengan berbahasa Belanda yang lincah dan ramah. Hakim mengakui KUKB memang mewakili kepentingan warga sipil Indonesia yang menjadi korban kekerasan di masa kolonial. KUKB menuntut pemerintah Belanda mengakui mereka sebagai korban yang menanggung kerugian akibat perang dan memerlukan pemulihan secara hukum.
Tak tanggung-tanggung, KUKB memilih kantor advokat Böhler yang tenar dan pengacara Prof. Dr. Liesbeth Zegveld sebagai pengacaranya. Liesbeth adalah pakar hukum spesialis korban kejahatan perang dan mengantongi cum laude untuk disertasinya. Perempuan berusia 41 tahun itu berpengalaman menangani kasus Srebrenica (1993), Kenya, Palestina dan membela kasus-kasus lingkungan hidup. Sejak Liesbeth menjadi pengacara KUKB, gugatan kepada Belanda semakin menemukan jalan terang.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar