Jalan Panjang Korps Marinir
Korps Marinir TNI AL dibentuk di tengah krisis. Perjuangannya memberi dampak besar pada perjuangan rakyat.
Jalesu Bhumyamca Jayamahe, artinya: “Di Laut dan Darat Kita Jaya”, menjadi slogan terkenal Korps Marinir. Salah satu pasukan komando utama milik TNI Angkatan Laut ini merayakan hari kelahirannya setiap tanggal 15 November. Tahun ini mereka genap berusia 74 tahun.
Pada awal pembentukannya, Korps Marinir dipercaya Barisan Keamanan Rakyat (BKR) menjaga keamanan wilayah laut Indonesia. Mereka memegang peranan penting dalam menghalau segala ancaman dari laut, terutama di pulau Jawa. Kesatuan ini aktif membantu perjuangan rakyat dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Bagaimana sejarah pembentukannya?
Pasukan Pengaman Laut
Pembacaan teks proklamasi oleh Sukarno-Hatta pada 17 Agustus 1945 menjadi genderang perjuangan bagi seluruh rakyat Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaannya. Sebagai wadah perlawanan, dibentuklah Badan Keamanan Rakyat (BKR) pada 22 Agustus 1945. Tugas utama badan keamanan ini adalah menghimpun kekuatan rakyat dalam usaha mengusir sisa-sisa tentara asing dan menjaga keadaan aman di seluruh wilayah Indonesia yang baru merdeka.
Namun sebagai negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya berupa lautan, pertahanan laut mesti segera ditingkatkan. Maka pada 10 September 1945, BKR mendirikan Badan Keamanan Rakyat Laut, yang mendapat tugas khusus menjaga wilayah laut Indonesia. Dalam Korps Marinir TNI-AL, Djoko Pramono menyebut kekuatan BKR Laut ini saat pertama kali terbentuk tidak semuanya berasal dari anggota terlatih yang pada masa Belanda dan Jepang mendapat pelatihan pada suatu kesatuan khusus.
“Para guru dan pelajar sekolah pelayaran, karyawan dari jawatan-jawatan pelayaran, mantan pasukan Angkatan Laut Belanda (Koninklijke Marine), Heiho Laut (Kaigun Heiho), para nelayan, dan rakyat,” ucap Pramono.
Perjuangan pertama kesatuan BKR Laut ini terjadi di Semarang, dalam usaha melucuti senjata tentara Jepang. Di Purwodinatan, Semarang, kekuatan pelajar dan BKR Laut bekerjasama menguasai kaiji (pelabuhan) Semarang yang saat itu masih menjadi basis kekuatan Jepang di sana. Setelah pelabuhan berhasil dikuasai, dibentuklah organisasi pengamanan wilayah laut di bawah pimpinan Soemarno.
Dalam organisasi pengamanan laut yang baru dibentuk ini terdapat dua divisi, yakni Divisi Perkapalan yang diketuai OB Sja’af dan Djatmiko Legowo, dan Divisi Keamanan yang diketuai oleh Achmad Dipo, Darono, Oemar Said, dan Soepardi. Kedua divisi tersebut diisi oleh kurang lebih 41 anggota yang tergabung dalam BKR Laut.
Baca juga: Marinir Muda Terperangkap Madu
Menurut Totok Irianto, dkk dalam Ensiklopedia Korps Marinir TNI AL Jilid 2: Periode 1945-1950, tugas Divisi Keamanan pada waktu itu terutama adalah melakukan pengamanan di seluruh Pelabuhan Semarang dari kemungkinan gangguan keamanan dari sisa-sisa kekuatan militer Jepang, serta para pencuri yang berusaha mengambil barang-barang berharga dari pelabuhan.
“Dengan hanya berbekal 20 pucuk senjata api yang beraneka ragam jenis dan semangat proklamasi, para pejuang kemerdekaan ini melaksanakan tugas dengan baik tanpa mengenal menyerah,” tulis Irianto.
Begitu berhasil memastikan keamanan di pesisir, para anggota BKR Laut ini langsung bergabung dengan pasukan utama di kota Semarang. Mereka ikut membantu pelucutan senjata dan pengamanan kota. Kemudian melalui Maklumat Pemerintah tanggal 5 Oktober 1945, kesatuan BKR Laut berganti nama menjadi TKR Laut.
Baca juga: Membentuk Tentara Rakyat
Sikap tentara Jepang yang tidak kooperatif saat proses pelucutan membuat suasana di Semarang menjadi tegang. Bentrokan antara Kidoo Butai (Pasukan Istimewa Jepang), Batalyon Kido, Batalyon Yagi, dan Kompi Sato dengan laskar pejuang Semarang akhirnya tidak dapat dihindarkan. Persitiwa yang dikenal sebagai “Pertempuran 5 hari Semarang” itu berlangsung dari 15 sampai 19 September 1945.
Menurut Han Bing Siong dalam The Secret of Major Kido: The Battle of Semarang 15-19 Oktober 1945 pertempuran terjadi hampir di seluruh wilayah kota. TKR Laut yang baru bergabung dengan TKR Darat, TKR Udara, Pesindo, dll, segera ditempatkan di garis depan. Korban bejatuhan dikedua belah pihak. Tercatat lebih dari 2000 orang dari pihak Indonesia gugur.
Setelah bentrokan dengan Jepang mereda, pasukan Sekutu mendarat di pantai Semarang. Bentrokan besar kembali terjadi di kota Lumpia tersebut pada 21 Oktober 1945. Perlawanan yang jauh lebih besar dari pasukan Sekutu membuat TKR tidak mampu mempertahankan kota. Semarang pun akhirnya jatuh ke tangan musuh.
Mengetahui kota telah dikuasai Sekutu, pasukan TKR Laut bergerak mencari tempat baru untuk menghimpun kekuatan. Dikomandoi Nazir, Agoes Soebekti, Soekamto, dan Wiranto, tentara laut ini hijrah ke wilayah Jawa Tengah, tepatnya di Demak dan Pati. Di sana TKR Laut bergabung dengan para pemuda lain dan membentuk Laskar Rakyat Laut.
“Dalam pertimbangan kemudian, karena daerah Demak-Jepara dipandang kurang strategis sebagai basis pertahanan melawan Sekutu, maka diputuskan untuk segera meninggalkan daerah tersebut,” tulis Irianto.
Pasukan TKR Laut lalu direncanakan bergerak ke kota Tegal. Kota di wilayah pantai utara Jawa Tengah itu dianggap memiliki potensi yang lebih baik dalam menghimpun kekuatan kemaritiman, dibandingkan dua kota sebelumnya. Namun untuk mencapai Tegal, pasukan TKR Laut harus bisa menembus pertahanan kota Semarang yang telah sepenuhnya dikuasai tentara Sekutu.
Baca juga: Pertempuran Lima Hari di Semarang
Melewati Krisis di Semarang
Usaha melewati kota Semarang menuju Tegal, kata Irianto, telah menjadi legenda tersendiri di kalangan pasukan maritim Indonesia. Satu-satunya cara untuk pasukan TKR Laut saat itu bergerak dari Demak menuju Tegal hanyalah dengan menggunakan kereta api. Mereka harus bisa melewati Semarang yang telah menjadi basis kekuatan pihak Sekutu.
Di bawah pimpinan Darwis Djamin, pasukan TKR Laut mempersiapkan diri melewati maut di kota Semarang. Agar rencana berjalan lancar, pimpinan TKR Laut segera menghubungi berbagai pihak agar bersedia membantu perjalanan mereka. Termasuk mencari bantuan dari pegawai kereta api di Semarang supaya meloloskan kereta yang mereka tumpangi.
Kode-kode tertentu juga telah disiapkan. Hanya masinis, tukang rem, pegawai pintu kereta, dan anggota TKR Laut yang tahu maksud isyarat itu. Bahkan demi keamanan dan kelancaran selama perjalanan, beberapa pejabat kereta api yang tidak dapat dipercaya segera diganti dengan orang lain yang berpihak kepada para pejuang kemerdekaan.
Begitu kereta tiba di Demak, seluruh pasukan dipersiapkan dengan rapi memasuki seluruh gerbong. Pintu dan jendela kereta ditutup rapat-rapat. Kereta melaju dengan cukup cepat tanpa berhenti di stasiun manapun. Ketika sampai di Semarang, laju kereta sedikit diperlambat. Petugas, calon penumpang dan tentara Sekutu yang berada di sekitar stasiun dibuat heran karena kereta tidak berhenti. Awalnya tentara yang berjaga tidak menaruh curiga, namun sesaat setelah laju kereta kembali dipercepat mereka mulai sadar bahwa di dalam kereta terdapat para pejuang yang melarikan diri.
“Segera moncong-moncong senapan tentara Sekutu memuntahkan peluru ke arah kereta, namun sia-sia karena gerbong kereta telah berada di luar jangkauan berondongan timah-timah panas itu,” ucap Pramono.
Baca juga: Strategi Kooperasi Serikat Buruh Kereta Api
Membangun Kekuatan
Setiba di Tegal, rombongan Darwis Djamin segera bergabung dengan pasukan TKR Laut di sana. Kedudukan pasukan Tegal semakin kuat setelah datangnya rombongan Laksamana Adam dan Ali Sadikin dari Jakarta, berjumlah kurang lebih 60 orang. Pasukan ibu kota itu bergabung atas perintah M. Pardi (perintis Angkatan Laut Republik Indonesia), untuk memperkuat posisi TKR Laut Tegal.
Rombongan berikutnya yang turut bergabung ke Tegal adalah rombongan mantan prajurit laut Belanda dan bekas tentara KNIL. Kekuatan pasukan pesisir Jawa Tengah ini terus bertambah seiring masuknya gelombang para pejuang, baik rombongan maupun perseorangan, yang tergerak untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
“Pemimpin pertama dalam tahap konsolidasi TKR Laut di Tegal adalah Darwis Djamin dari Demak, dengan pangkat Letnan Kolonel dan kemudian Kolonel. Selanjutnya ditunjuk sebagai Wakil Komandan Pangkalan adalah Marzis dan AF Langkay sebagai Kepala Staf,” tulis Irianto.
Semakin banyaknya pasukan yang begabung dengan TKR Laut Tegal membuat pengorganisasian pasukan mesti cepat dilakukan. Maka dibentuklah tiga korps sebagai permulaan, yakni Korps Navigasi, Korps MSD (Machine Stoom Dienst), dan Corps Mariniers (CM).
CM dibentuk pada 15 November 1945. Satuan ini dipimpin pertama kali oleh Mayor Agoes Soebekti. Melalui Surat Keputusan Menteri Pertahanan No. A/565/1948 tanggal 9 Oktober 1948, Corps Mariniers disahkan menjadi Korps Komando Angkatan Laut (KKO AL).
Baca juga: Mengapa Baret Marinir Berwarna Ungu?
Tambahkan komentar
Belum ada komentar