Gijadi Menembak Yani
Gijadi bertindak sesuai perintah atasannya, membawa Menpangad Yani hidup atau mati. Nasibnya berakhir di depan regu tembak.
Sebagai tentara, Sersan Dua (Serda) Gijadi bin Wignjosukardjo hanya bisa patuh apa perintah komandan. Pada 30 September 1965, Gijadi bersama rekan-rekannya di Kompi B Batalyon Kawal Kehormatan I Resimen Tjakrabirawa dikumpulkan oleh atasannya. Mereka diperintahkan melaksanakan sebuah tugas khusus.
“Pada tanggal 30 September 1965 saya diperintahkan untuk konsinyir berat (berkumpul) dan pada jam 10.30 kami dengan pasukan dibawa ke Lubang Buaya. Di sana kami oleh sersan Raswad disuruh istirahat,” aku Gijadi dalam sidang Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmillub) 25 Februari 1966 di Jakarta, sebagaimana tercatat dalam Gerakan 30 September di Hadapan Mahmillub 2 di Jakarta: Perkara Untung.
Lubang Buaya jauh dari tempat Gijadi tidur. Komandan salah satu regu di Kompi B KK I Tjakrabirawa itu tinggal bersama para prajurit Tjakrabirawa lain di asrama Tjakrabirawa Tanah Abang II, Jakarta. Dekat dari Istana Negara, asrama Tjakrabirawa sama-sama berada dalam ring 1 oleh karena Tjakrabirawa tugasnya mengawal Presiden Sukarno.
Baca juga: Perisai Presiden Bernama Tjakrabirawa
Gijadi, yang beragama Islam, berasal dari Solo. Usianya kala itu sudah 38 tahun. Bintara lain dalam batalyonnya juga berusia kepala tiga. Sebagai bintara dan tergolong senior, Gijadi termasuk prajurit yang dipandang oleh para kopral dan prajurit bawahan di kesatuannya.
Menjelang pukul tiga dini hari 1 Oktober, istirahat pasukan berakhir. Gijadi dan rekan-rekan pun bangun, siap melaksanakan tugas yang telah diperintahkan.
“Kira-kira jam 3.45 tanggal 1 Oktober 1965 kami dibangunkan dan diberi tahu bahwa Dewan Jenderal akan mengadakan coup (kudeta), maka kami sebagai anggota Tjakrabirawa harus menjaga keselamatan dan keamanan pribadi Paduka Jang Mulia Presiden beserta keluarganya. Sebab itu kami diperintahkan untuk mengambil Jenderal Yani mati atau hidup,” aku Gijadi dalam Mahmillub, 25 Februari 1966.
Letnan Jenderal Ahmad Yani yang dimaksud adalah atasan Gijadi juga. Dia pucuk pimpinan Angkatan Darat. Selain itu, Yani juga Banteng Raider, tempat asal kebanyakan anggota Batalyon Kawal Kehormatan I yang dipimpin Letnan Kolonel Untung. Tapi di sisi lain, presiden dalam UUD adalah panglima tertinggi tentara.
Baca juga: Jenderal Yani dan Para Asistennya
Gijadi bersama Raswad lalu menjadi ujung tombak pasukan penculik Yani. Keduanya di bawah komando Pembantu Letnan Satu Mukidjan asal Brigif I Kodam Jaya pimpinan Kolonel Abdul Latief. Mukidjan bertanggungjawab kepada Letnan Satu Dul Arief —komandan semua pasukan penculik jenderal— yang pasukannya bernama Pasopati.
Pasukan Mukidjan berangkat ke Menteng ketika langit masih gelap. Setelah tiba di rumah Yani di Jalan Lembang, pasukan menyebar. Ada yang di bagian depan, belakang, dan yang masuk ke dalam. Raswad memimpin Prajurit Kepala Doblin, Prajurit Satu Sugiono, dan Sersan Tumiran masuk rumah Yani.
Gijadi siaga di luar rumah. Tapi kemudian dipanggil masuk oleh Serda Raswad yang sedang jadi Kapten Tituler. Raswad mengatakan pada Yani bahwa Presiden Sukarno memanggil Yani, yang bari bangun tidur, saat itu juga.
Baca juga: Serda Raswad Kapten Semalam G30S
“Selanjutnya saya lihat Saudara Raswad berbicara dengan Jenderal Yani dan Pak Yani memukul kepada Doblin; melihat itu dan mengingat perintah pengambilan harus dijalankan hidup atau mati, saya melepaskan tembakan,” aku Gijadi.
Tujuh peluru dari Thompson Gijadi pun membunuh Yani. Setelahnya, Yani diseret ke dalam mobil dan dibawa pasukan penculik kembali ke Lubang Buaya.
Beberapa hari kemudian, Gijadi ditangkap dan ditahan. Gijadi lalu diadili. Koran Nederlands Dagblad tanggal 18 April 1968) memberitakan Gijadi bersama Raswad dan Mukidjan dijatuhi hukuman mati.
Hukuman mati Gijadi dijatuhkan pada 16 April 1968 oleh mahkamah militer distrik Jakarta. Namun eksekusinya baru dilaksanakan pada Oktober 1988.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar