George Benson Kawan Yani
Perwira AD Amerika ini dekat dengan Indonesia. Terutama dengan perwira-perwira anti-komunis.
Ini bukan tentang George Benson pemilik tembang evergreen “Nothing’s Gonna Change My Love for You” yang sering konser jazz di Jakarta. Ini tentang George Benson yang jauh lebih dulu datang ke Jakarta. Tak hanya beda warna kulit, mereka juga beda profesi. George Benson yang ini ada dalam hubungan politik antara Indonesia dengan Amerika Serikat (AS).
George Benson ini dikenal sebagai kawan Men/Pangad Letnan Jenderal Ahmad Yani. Keduanya sama-sama pernah belajar di Fort Leavenworth, Kansas, Amerika Serikat sekitar 1955.
Seperti Yani, Benson Angkatan 45 juga –usia keduanya hampir sama; Yani kelahiran pertengahan 1922 sedangkan Benson kelahiran awal 1923. Bedanya, Yani perwira Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang sejak 1945 berperang demi mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Sementara Benson adalah lulusan Akademi Militer West Point angkatan 1945.
Lahir di Pennsylvania pada 6 Januari 1923, George Charles Benson setelah lulus dari Akademi Militer West Point bertugas di US Army (Angkatan Darat AS) dan pernah dikirim ke Perang Korea. Kemungkinan pangkatnya kapten ketika itu.
Perang Korea merupakan perang terbuka yang mengawali Perang Dingin, ajang rebutan kuasa dua blok terbesar di dunia. Dalam perang tersebut, Blok Barat yang liberal pimpinan AS berebut pengaruh untuk menguasai dunia dengan Blok Timur yang komunis pimpinan Uni Soviet.
“Tak mungkin kita memahami Perang Dingin tanpa sedikit pengetahuan tentang Perang Korea,” tulis Stanley Sandler dalam The Korean War: No Victors, No Vanquished.
Oleh karena itu, Perang Korea menjadi perang penting George Benson dalam melawan komunisme. Di dalam Perang Korea juga, ada seorang pemain saksofon jazz yang juga dikirim ke sana. Dia adalah George Franklin Benson Jr (1929-2019). George Benson ini bukan yang sering konser di Jakarta, tapi George Washington Benson (kelahiran Pennsylvania juga tahun 1943). Jadi George Benson menjadi nama sehari-hari yang cukup pasaran.
Sebelum dikirim ke Perang Korea, George Charles Benson ditempatkan di Jakarta usai belajar di Fort Leavenworth. Pangkatnya mayor dan jabatannya deputi Atase Militer AS di Jakarta.
Mayor George Benson tentu menjadi mata bagi AS dalam menilai keadaan di Indonesia. Akhir 1957 ketika kemelut PRRI/Permesta kian panas, pemerintah AS enggan melayani permintaan senjata dan suku cadangnya. Kondisi itu membuat KSAD Abdul Haris Nasution meminta Mayor George Benson untuk mengirim pesan kepada KSAD Amerika Jenderal Maxwell Taylor agar melonggarkan “aturan” itu. Indonesia sedang butuh senjata dan suku cadangnya.
“Kalau tidak ada jawaban setuju hingga 31 Desember, Angkatan Darat terpaksa mencari bantuan persenjataan ke Eropa timur,” pesan Nasution kepada Taylor.
Taylor tak bisa memenuhi kemauan Nasution karena politik tingkat tinggi melarang penjualan senjata ke Indonesia lantaran dianggap berseberangan dengan AS. Selain itu, AS khawatir persenjataannya akan digunakan Indonesia untuk memerangi Belanda –sekutu NATO AS– di Papua. Namun, Amerika tidak menghentikan pemberian pendidikan militer kepada perwira-perwira Indonesia.
Keadaan itu memaksa Nasution berpaling ke Blok Timur. Para atasan Mayor George Benson tentu saja bertanya soal para perwira militer di lingkungan AD Indonesia. Audrey R. Kahin dan George McTurnen Kahin dalam Subversi Sebagai Politik Luar Negeri menulis, Mayor Benson secara konsisten melaporkan kebanyakan perwira di AD Indonesia sebagai “non-komunis” dan setidaknya dari 120 batalyon di AD, hanya 4 saja yang dianggap pro-komunis.
Ketika kemelut PRRI/Permesta yang didukung CIA memuncak, kawan George Beson waktu di Kansas dulu, Kolonel Ahmad Yani, ditugasi memimpin operasi penumpasannya di Sumatra. Mayor Benson adalah orang yang ditelepon Yani dalam menghadapi PRRI itu. Posisi itu membuat Mayor Benson jadi perwira Amerika yang repot, terlebih ketika pilot bayaran CIA Allan Lawrance Pope ditangkap di sekitar Ambon.
“Selama pemberontakan PRRI dia bersimpati kepada pemerintah, sehingga Benson bertentangan dengan CIA dan Pentagon,” catat Julius Pour dalam Benny Moerdani, Tragedi Seorang Loyalis.
Yani meminta bantuan peta kepada George Benson dan George Benson membawakannya. Selama merancang operasi, George sering bersama Yani.
Operasi 17 Agustus yang dipimpin Yani tersebut sukses. Gagalnya PRRI/Permesta mempengaruhi kebijakan Amerika terhadap Indonesia.
“Kegagalan Pemberontakan PRRI/Permesta menyebabkan Departemen Pertahanan AS mengubah kebijakan terhadap Indonesia. Setelah jenderal Nasution berkunjung ke Washington pada musim panas 1958, persahabatan akrab terjalin antara Nasution dengan Jenderal Maxwell Taylor,” terang George Benson seperti dicatat Julius Pour.
Indonesia lalu makin didekati AS. Karier Yani pun makin gemilang. Pelan-pelan Yani menjadi pejabat penting di Angkatan Darat dan puncaknya pada pertengahan 1962, Yani diangkat menjadi Menteri/Panglima AD (Menpangad) menggantikan Nasution. Setelah 1959, Mayor Benson sempat ditarik dari Jakarta namun kembali lagi tahun 1962.
Ketika kembali lagi ke Jakarta, pangkat George Benson sudah letnan kolonel. Dia mendampingi Duta Besar Howard Jones sebagai asisten khusus dubes (1962-1965). Dia tetap dekat dengan Yani yang sudah jadi orang di republik. Anak-anak Yani juga mengenal keluarga George.
“Kami juga mempunyai kenalan orang-orang Amerika, antara lain Mayor George Benson dan anak-anaknya Bunny, Richie dan Duke yang biasa kami panggil Duki,” kenang Amelia Yani, putri ketiga Yani, dalam Profil Seorang Prajurit TNI.
Setelah Yani terbunuh oleh pasukan G30S yang dipimpin Letnan Kolonel Untung pada 1 Oktober 1965, George Benson bertugas di luar Indonesia. Namun, ia dikirim lagi ke Jakarta pada 1969-1972 sebagai Atase Militer ketika Duta Besar AS untuk Indonesia dijabat Frank Gilberth. Sebagai atase, pangkatnya sudah kolonel. Dia sempat pula bertugas di Vietnam, juga dalam rangka melawan komunisme.
Di masa pemerintahan Orde Baru, George Benson menjadi lebih sering ke Indonesia. Maklum, setelah pensiun dari Angkatan Darat dia bekerja di perusahaan minyak Amerika yang beroperasi di Indonesia.
Dia juga menjadi dekat dengan Benny Moerdani yang pada era 1980-an menjadi panglima ABRI. Suatu kali ketika berada di hotelnya di Jakarta, George ditelepon Benny.
“Hey, George. Nyalakan chanel dua. Ria di televisi,” kata Benny memberi tahu George soal putrinya, Ria Moerdani, sedang menyiarkan berita.
George Benson menjalani hari tuanya di Amerika. Dia tutup usia 16 Desember 2007 di Maryland.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar