Empat Gerilyawan Korea di Palagan Garut
Kisah pemuda-pemuda dari Negeri Gingseng yang mengabdikan diri untuk perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Nama Yang Chil Sung alias Komarudin saat ini sudah mulai dikenal banyak orang Indonesia. Sebagai pejuang kemerdekaan Indonesia asal Korea, kiprahnya mulai terangkat tiga tahun belakangan ini, ketika beberapa media asal Korea Selatan seperti Radio KBS dan MBC TV membuat liputan khusus tentang kisah hidup lelaki asal kota Wanju tersebut selama berjuang sebagai gerilyawan Indonesia di Garut.
Bahkan kepada Metro TV beberapa waktu lalu, Bupati Garut Rudy Gunawan pernah menyatakan akan memasukan Yang Chil Sung sebagai pahlawan lokal sekaligus menabalkan namanya untuk satu ruas jalan di kota Garut.
“Beliau pantas mendapatkan penghormatan sehingga namanya akan kami abadikan sebagai nama jalan (di kota Garut),” ujarnya.
Baca juga: Gerilyawan Korea di Pihak Indonesia
Namun sejatinya, Yang Chil Sung bukanlah satu-satunya orang Korea yang terdampar di Garut dan menggabungkan diri dalam gerakan pembebasan tanah air orang-orang Indonesia. Dalam catatan saya, ada sekitar 3 orang Korea lain di tubuh Pasukan Pangeran Papak (kemudian melebur dalam Markas Besar Gerilja Galoenggoeng).
“Peran mereka pun, saya kira tak kalah penting,” ungkap Kim Moon Hwan, sejarawan publik asal Korea Selatan. Berikut nama-nama orang-orang Korea yang aktif di front Garut selama 1946-1948.
Yang Chil Sung
Sosok Yang Chil Sung kali pertama muncul di media Indonesia ketika wartawan senior asal Garut Yoyo Dasriyo menulis kisah kehidupannya di sebuah media online Jawa Barat pada 2013. Namanya kemudian semakin dikenal khalayak (terutama di dunia maya), saat pada 2015 wartawan dari Radio KBS (Korea Selatan) Chae-eui Hong datang ke Garut dan membuat suatu liputan panjang mengenai kiprah lelaki yang memiliki nama Jepang “Yanagawa” itu.
Seperti dikatakan oleh Rostineu, pengamat sejarah orang-orang Korea di Indonesia, Yang Chil Sung datang kali pertama ke Indonesia pada sekitar 1943 bersama ribuan phorokamsiwon (penjaga tawanan perang). Pada sekira 1946, dia bersama kawan-kawan Jepang-nya kemudian bergabung dengan Pasukan Pangeran Papak, organ gerilyawan Indonesia asal Garut.
Baca juga: Harimau-Harimau Garut
Aktif sebagai pejuang Indonesia dan memimpin unit Regu Putih (khusus mengurusi soal sabotase), Yang Chil Sung lebih dikenal orang-orang Garut dengan nama lokal-nya yakni Komarudin. Dalam suatu penggerebekan oleh militer Belanda di Gunung Dora, Tasikmalaya pada akhir Oktober 1948, Yang Chil Sung tertangkap. Tujuh bulan kemudian, dia dihukum mati oleh pihak militer Belanda dan kemudian dimakamkan di Garut.
Guk Jae-man
Di kalangan para pejuang Garut, Guk Jae-man lebih dikenal sebagai Soebardjo. Dalam struktur organisasi MBGG, namanya disebut-sebut sebagai koordinator bagian intelijen. Kendati sangat sedikit informasi mengenai Jae-man ini, namun namanya sempat dibahas oleh Utsumi Aiko dalam buku Aka michi shita no choosonin banran (Pemberontakan Rakyat Joseon di Bawah Garis Khatulistiwa).
Utsumi yang menemui istrinya bernama Maria pada 1981, sempat mendapatkan surat terakhir Jae-man kepada keluarganya. Dalam surat tersebut, tergambar betapa lelaki Korea itu sangat kesepian, putus asa dan memendam rasa rindu yang sangat kepada keluarganya selama berpetualang di hutan-hutan Garut dan Tasikmalaya.
Baca juga: Drama di Gunung Dora
Jae-man tewas di ujung bedil para serdadu Belanda pada suatu siang, 26 Oktober 1948. Bersama rekan-rekan lainnya yakni Djoeana Sasmita, Masharo Aoki, Hasegawa Katsuo dan Yang Chil Sung, dia sebenarnya tertangkap hidup-hidup.
“Namun menurut bapak saya, saat ditawan itu dia berusaha lari lalu ditembak mati waktu itu juga,” ujar Kandar, putra pertama dari Djoeana Sasmita.
Saat ditangkap, pihak militer Belanda merampas sebuah catatan harian dari tangan Jae-man.
Lee Gil Dong
Sosok ini masih merupakan misteri. Kendati namanya sempat disebut oleh Utsumi Aiko dalam bukunya, namun secara terperinci sepakterjangnya kurang termunculkan. Dalam catatan hariannya, Djoeana Sasmita menyebut nama Gil Dong sebagai Oemar.
Di kalangan orang-orang Wanaraja (pangkalan awal Pasukan Pangeran Papak), Oemar dikenal sebagai “orang Jepang yang selalu mengobati orang sakit”. Namun dalam suatu dokumen NEFIS (Pelayanan Informasi Intelijen Belanda), saya menemukan peran Oemar adalah sebagai koordinator voorlichting (bagian informasi).
Saat Insiden Gunung Dora, nasib Oemar tidaklah jelas. Kim Moon Hwan dan Utsumi Aiko menyebut lelaki Korea itu langsung tewas saat penggerebekan dimulai pada jam 1 dini hari, 26 Oktober 1948. Namun dalam catatan hariannya, Djoeana menyebut Oemar berhasil lolos.
Woo Jong Soo
Saat tinggal di Gunung Dora, lelaki Korea ini dikenal luas oleh para penduduk di Desa Parentas (kaki Gunung Dora), Tasikmalaya dengan nama lokal: Adiwirio. Alih-alih sebagai petempur, sosoknya lebih dikenang sebagai pejuang yang pandai bertani.
Haji Udin (87), masih ingat bagaimana Adiwirio mengajarkan penduduk untuk menanam kol, kentang dan sayuran lainnya. Dia pun dikenal sebagai pemasok logistik bagi para gerilyawan MBGG.
Baca juga: Abu Bakar, Gerilyawan Indonesia dari Jepang
“Keahliannya bertani benar-benar hebat,” kenang lelaki yang waktu bocah besar di Desa Parentas itu.
Jong Soo termasuk gerilyawan yang lolos dari Insiden Gunung Dora pada 26 Oktober 1948. Dia berhasil meluputkan diri ke hutan. Keterangan Haji Udin itu terkonfirmasi oleh catatan harian Djoeana yang menyebut Jong Soo bisa hidup sampai usia senja dan kemudian meninggal di Cianjur pada pertengahan 1980-an.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar