Dulu Tentara Kudeta di Medan
Oknum tentara main serang bukan hal baru di sekitar Medan. Di zaman PRRI bergejolak, sekelompok oknum tentara terlibat.
KOMANDO Daerah Militer (Kodam) I/Bukit Barisan yang membawahi Sumatra Utara, Sumatera Barat, Riau, dan Kepulauan Riau sedang jadi berita. Sekelompok tentaranya pada 8 November 2024 mengganggu keselamatan warga Desa Selamat, Kecamatan Sibiru-biru, Kabupaten Deli Serdang dengan menyerang desa tersebut. Akibatnya, tetua desa bernama Raden Barus kehilangan nyawa dan belasan warga lainnya terluka.
Pelaku (yang biasa disebut oknum) berasal dari kesatuan Batalyon Artileri Medan (Yon Armed) 2/105 Kilap Sumagan. Kendati Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto menyatakan penyerangan dipicu cekcok antara anggotanya dengan pemuda setempat usai pengeruan terhadap geng motor, penyebabnya mash belum terang benar.
Itu bukan kisah pertama tentara menyerang orang sipil di Sumatra Utara. Dulu, setelah polisi menjadi sipil dan bukan bagian dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), markas polisi diserang oleh sejumlah anggota Batalyon Infanteri Lintas Udara (Yonif-Linud) 100/Prajurit Setia. Insiden yang dikenal sebagai Insiden Binjai itu terjadi pada 30 September 2002.
Baca juga:
Insiden Binjai terjadi setelah sekelompok anggota Yonif itu menuntut polisi untuk membebaskan seorang pemuda yang ditangkap polisi karena membawa narkoba. Penolakan polisi membuat sejumlah oknum dari Yonif itu lalu menyerang anggota Polres Binjai dan Brigade Mobil (Brimob). Baku-tembak dan pembakaran lalu terjadi hingga membuat rakyat sipil pembayar pajak menjadi ngeri dengan suasana mencekam yang diakibatkannya.
Insiden Desa Selamat dan Insiden Binjai bukan satu-satunya aksi liar tentara Kodam Bukit Barisan di Sumatra Utara. Dalam sejarahnya, di era pergolakan daerah 1950-an aksi liar tentara ini bahkan sangat politis. Panglima Tentara dan Teritorium (TT) Bukit Barisan Kolonel Mauludin Simbolon terlibat di dalam pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).
“Pemberontakan ini dipimpin oleh Mayor Boyke Nainggolan dan mempergunakan batalyon Henry Siregar. Jenderal Djatikusumo yang berada di kota terpaksa mengungsi ke Belawan mencari perlindungan dari ALRI,” catat Soegih Arto dalam Sanul Daca.
Baca juga:
Gerakan militer tersebut oleh pelaku disandikan sebagai “Operasi Sabang-Merauke”. Gerakan yang dilakukan di Medan pada 15 Maret 1958 itu tujuannya adalah “kudeta” terhadap komandan pro-Jakarta di Medan, yakni Letnan Kolonel Djamin Gintings.
Boyke Nainggolan merupakan perwira Angkatan Darat dengan NRP 121196. Menurut Abdul Haris Nasution dalam Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 4: Masa Pancaroba Kedua, pada awal 1956 Mayor Boyke selaku komandan Batalyon Infanteri 131 di Medan melaporkan Mayor Ramli dan Mayor Junus Samosir untuk diperiksa. Prestasinya yang baik membuat Boyke dikirm belajar ke sekolah staf dan komando Angkatan Darat Amerika di Fort Leavenworth tahun itu juga. Namun setelah pulang dari Amerika Boyke justru terseret arus PRRI hingga memimpin Operasi Sabang-Merauke.
Akibat Operasi Sabang-Merauke Boyke, Djamin Gintings terpaksa lari ke Tanah Karo, daerah asalnya. Djamin adalah bawahan penting Simbolon di Medan namun lebih berpihak ke pemerintah pusat.
Pasukan PRRI tak kesulitan persenjataan. Bahkan, banyak senjata mereka lebih canggih dari yang dimiliki tentara pusat. Sebab, PRRI-Permesta didukung badan intelijen Amerika Serikat CIA.
Baca juga:
Aksi Boyke dkk. itu membuat pemerintah pusat mengirimkan pasukan khusus Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) ke Sumatra Utara. Dalam waktu singkat, gerakan Boyke dkk. digulung di Medan. Boyke dkk. lalu bergerak ke Tapanuli, mendekat dengan kantong penting PRRI, di mana Simbolon dan Sumitro Djojohadikusumo menjadi pejabat tingginya.
PRRI merekrut banyak pemuda di pantai barat Sumatra untuk dijadikan tentara PRRI. Salah satu pemuda yang direkrut itu adalah Sintong Panjaitan, yang masih SMA di Tarutung dan buta politik.
“Dalam pemberontakan PRRI Sumatera, ia dilatih kemiliteran selama tiga bulan oleh anak buah Kolonel Simbolon, waktu itu panglima Tentara dan Teritorium I/Bukit Barisan. Meskipun demikian Sintong tidak pernah bertempur di pihak pemberontak. Sebab ketika pasukan Pemerintah Pusat melancarkan operasi militer di Sumatera Timur, ia harus menunggui ayahnya yang menderita sakit keras dan akhirnya meninggal dunia,” tulis Hendro Subroto dalam Sintong Panjaitan: Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar