Diplomat Bagaikan Tahanan Kota (2)
Perwira tinggi Indonesia berkunjung ke Moskow. Diplomat berusaha mengamankannya dari sasaran KGB.
Pada 1972, Mayjen TNI Sayidiman Suryohadiprojo, Ketua Gabungan III/Personel Departemen Pertahanan dan Keamanan, mengadakan kunjungan ke beberapa negara, termasuk Uni Soviet. Kunjungan pertama kali ini jadi pengalaman penting untuk mengenal Negeri Beruang Merah itu.
Setelah mendarat di Moskow, Sayidiman harus melalui proses yang rumit dan lama. Kopernya digeledah dengan teliti sampai uang yang dibawa pun harus ditunjukkan. Atase Pertahanan (Athan) Laksamana Pertama Suhardjo dan semua atase militer, Atase Darat Kolonel Inf. Sularso dan Atase Udara Kolonel Sunarjo, telah menunggu di luar bandara.
Sayidiman heran mengapa mereka membawa serta keluarganya. Ternyata, itu bukan semata-mata untuk menghormati kedatangannya melainkan kesempatan plesiran.
“Dijelaskan kepada saya bahwa di Moskow kesempatan untuk plesir demikian terbatasnya sampai pergi ke airport termasuk pula salah satu cara untuk menenangkan pikiran,” kata Sayidiman dalam otobiografinya, Mengabdi Negara sebagai Prajurit TNI.
Baca juga: Diplomat Bagaikan Tahanan Kota (1)
Atase Darat di Moskow pada 1965, Brigjen TNI M. Jasin, mengakui bahwa sebagai diplomat, dia merasa tidak bebas bergerak. Pengawasan sangat ketat. Tidak dapat keluar Moskow tanpa seizin pemerintah.
“Diplomat bagaikan tahanan kota. Berbeda dengan di Indonesia, di mana orang asing bebas pergi ke mana mereka suka,” kata Jasin dalam memoarnya, “Saya tidak Pernah Minta Ampun kepada Soeharto”.
Di dalam mobil, Suhardjo menjelaskan banyak hal tentang Uni Soviet kepada Sayidiman. Suhardjo pernah sekolah di Leningrad, namun justru karena itu dia kurang senang dengan kehidupan Uni Soviet. Menurutnya orang Rusia sebenarnya baik, tetapi sistem politik dan kenegaraannya telah membuat mereka buruk.
“Semua serba penipuan katanya, dan untuk tempat tinggal saya di Moskow diadakan penipuan untuk menghindari kesulitan,” kata Sayidiman.
Sayidiman didaftarkan di hotel Ukraina, tetapi tidak ditempati. Suhardjo menempatkan Sayidiman di rumah Pak Sidik, anggota KBRI yang tidak berkeluarga.
Karena Sayidiman bukan tamu pemerintah Uni Soviet, maka kedatangannya menimbulkan pertanyaan bagi aparat keamanan, terutama Dinas Intelijen Uni Soviet (KGB). Sebab, dia seorang mayor jenderal yang menduduki jabatan penting di angkatan bersenjata Indonesia.
“Suhardjo berpikir pasti saya menjadi sasaran penyelidikan KGB dan alat keamanan lainnya,” kata Sayidiman.
Baca juga: Agen KGB di Indonesia Dieksekusi Mati
Agar tidak menimbulkan kecurigaan, Suhardjo menugaskan stafnya untuk tidur di kamar hotel yang dipesan untuk Sayidiman. Dia membawa koper yang sama dengan yang dibawa Sayidiman. Ketika staf itu akan meninggalkan hotel, kopernya digeledah oleh pihak keamanan Uni Soviet.
Suhardjo kemudian mempertemukan Sayidiman dengan Prof. Zharov, anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Uni Soviet dan pakar tentang Asia Tenggara.
“Dia pandai berbahasa Inggris dan Indonesia, dan tidak mustahil bahwa dia mempunyai hubungan dengan KGB,” kata Sayidiman. Topik pembicaraan yang menonjol tentang perbedaan dan persaingan Uni Soviet dan Republik Rakyat China (RRC). Tampaknya Uni Soviet khawatir dengan perkembangan pengaruh RRC.
Selain pertemuan dengan Prof. Zharov, Sayidiman juga sempat menyaksikan sirkus Moskow dan balet Bolshoi yang terkenal. Dia juga berkesempatan melihat daerah perbatasan.
“Ketika meninggalkan Moskow untuk pergi ke Warsawa saya dibalas oleh KGB,” kata Sayidiman.
Mereka mungkin dongkol karena tidak mendapatkan koper milik Sayidiman di kamar hotel Ukraina. Oleh karena itu, Sayidiman disuruh menunggu lama, kopernya dibongkar oleh petugas seorang perempuan.
Petugas itu tak menghiraukan paspor diplomatik yang dimiliki Sayidiman. Bahkan, keberangkatannya diantar oleh pejabat teras KBRI, yaitu Mohamad Sabir, Kuasa Usaha pengganti Duta Besar Laksamana Madya Muljadi yang wafat pada 29 Juli 1972, bersama semua atase militer.
Baca juga: Tentara Angkatan Laut Indonesia Direkrut Agen KGB
Waktu pesawat berangkat semakin dekat, Sayidiman belum juga dilepaskan. Dia sampai berpikir akan gagal berangkat malam itu. “Tetapi rupanya dia tidak berani menggagalkan perjalanan saya tanpa alasan yang masuk akal,” kata Sayidiman.
Pada saat terakhir kopernya dilepaskan, Sayidiman beruntung masih dapat dilayani oleh perusahaan penerbangan Polandia, LOT. Dia diantar oleh Mayor Rarasto, anggota staf Atase Pertahanan.
Sayidiman melakukan perjalanan dinas ke berbagai negara selama kurang lebih 47 hari. Dia tiba kembali di Jakarta pada 25 Oktober 1972. “Sungguh-sungguh satu perjalanan penuh pengalaman, tetapi juga amat melelahkan,” kata Sayidiman.
Setelah menjabat Ketua Gabungan III/Personel Departemen Hankam, Sayidiman kemudian menjabat Wakil Kepala Staf Angkatan Darat (1973), gubernur Lemhanas (1974), dan duta besar untuk Jepang (1979). Dia meninggal pada 16 Januari 2021 di usia 93 tahun.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar