Dibajak Barisan Harimau Liar
Sekelompok perwira muda alumni Akademi Militer Yogya melakukan long march untuk bertugas di Sumatra. Sempat berurusan dengan gerombolan bersenjata lokal.
Yogyakarta, 19 Desember 1948. Sekira jam 2 dini hari, pesawat Amphibi Catalina RI 006 tinggal landas dari Lapangan Udara Maguwo. Kendaraan udara yang disewa dari Filipina itu mengangkut sekelompok perwira TNI yang baru beberapa pekan lulus dari Akademi Militer Yogyakarta. Mereka diangkut ke Sumatra guna ditempatkan di Lampung, Sumatra Selatan, Sumatra Barat, Sumatra Utara, Riau, Bengkulu, Jambi dan Aceh.
Begitu mendarat di Tanjungkarang, Lampung, para perwira muda itu langsung melapor kepada Letnan Kolonel Syamaun Gaharu. Dua hari kemudian mereka yang tidak ditempatkan di Tanjungkarang lalu bergerak menuju pos-nya masing-masing setelah diberi bekal ala kadarnya. Tujuan pertama rombongan perwira pertama itu adalah Kotabumi.
“Dari Kotabumi-lah dimulai kisah perjalanan kaki mereka…” ungkap sejarawan Moehkardi dalam Akademi Militer Yogya dalam Perjuangan Pisik 1945—1949.
Baca juga: Terjebak di Plataran (1)
Lepas dari Kotabumi, mereka berjalan kaki sejauh 500 km ke Manna di wilayah pesisir selatan Sumatra. Dari kawasan yang terletak di Bengkulu itu mereka menyusuri pantai hingga sampai ke Mukomuko. Selanjutnya long march diarahkan ke Kerinci lalu ke Sungaidareh dan menyambung langsung ke Bonjol lalu ke Hutanapan, daerah pedalaman ujung tenggara Sumatra Utara. Sampai di sini, rombongan perwira yang sejak Yogyakarta berjumlah 50 orang menjadi 10 orang.
Kala memasuki wilayah Sipirok, 10 perwira muda yang dipimpin oleh Letnan Satu H.A.K.I. Chourmain tersebut harus menghadapi situasi yang sangat berbahaya. Karena saat itu di wilayah Tapanuli tengah terjadi permusuhan antara dua kekuatan bersenjata: pasukan Mayor Bedjo vs Barisan Harimau Liar (BHL) pimpinan A. Simarmata.
Ketika bertemu dengan Pasukan Bedjo, rombongan kecil para perwira muda itu tak mendapatkan masalah sama sekali. Namun saat mereka masuk wilayah BHL di Pasar Matanggor pada suatu malam, Simarmata yang berwajah seram itu memaksa mereka untuk tinggal.
“Saudara-saudara istirahat saja di sini, barang tiga atau empat hari. Saudara-saudara kelihatan lelah sekali,” ujar pimpinan BHL, seperti dikisahkan Daud Sinjal dalam Laporan Kepada Bangsa Militer Akademi Yogya.
Rupanya selama tinggal di sarang BHL, Simarmata memanfaatkan jururawat anggota Palang Merah yang ikut dengan rombongan perwira tersebut untuk mengobati sakit malaria-nya. Selain itu para anak buah Simarmata juga lewat cara setengah memaksa kerap meminjam barang-barang pribadi para tamunya.
Sebagai contoh, suatu hari salah seorang anak buah Simarmata meminjam sepatu Letnan Dua R.F. Soedirdjo. Besoknya giliran anak buah lain-nya meminjam jam tangan milik sang perwira. Semua itu dilakukan dengan alasan yang sama: untuk kepentingan patroli menghadang tentara Belanda.
“Tapi ya enggak ada yang dikembalikan lagi…” ungkap Kolonel (Purn) Abdullah Amir Ranudirjo, rekan Soedirjo yang saat itu juga ada di situ.
Singkat cerita, sampailah waktu mereka untuk pamit kepada Simarmata. Saat menyampakan niat itulah, Simarmata mencegah rombongan untuk jangan pergi dulu. Katanya, dia akan mengadakan “pesta kecil” untuk melepas kepergian para perwira itu.
Baca juga: Ketika Wartawan Dipalak Laskar Sumatra
Yang terjadi kemudian, Simarmata muncul dengan penampilan siap perang lengkap dengan pengawalan satu regu pasukan bersenjata. Setelah menyilakan para perwira untuk menikmati hidangan kecil, secara demonstratif dia meletakan pistolnya di meja lalu berpidato dalam nada yang berapi-api.
“Apa betul saudara-saudara ini opsir-opsir dari Jawa?! Saya kira saudara-saudara adalah anak buah Bedjo…Apa buktinya kalau saudara-saudara adalah opsir-opsir dari Jawa?” katanya.
Demi merespon tantangan Simarmata itu, tampillah Letnan Dua Mohamad Hani. Kepada Simarmata dia menyodorkan foto pelantikan anak-anak Akademi MIliter Yogya oleh Presiden Sukarno pada 28 November 1948.
Simarmata percaya. Namun seolah tak ingin melepaskan mangsanya, dia kemudian berdalih supaya para perwira itu nantinya tak dicurigai sebagai anak buahnya oleh Pasukan Bedjo, maka sebelum melanjutkan perjalanan ke Aceh, senjata-senjata dan obat-obatan harap ditinggalkan.
“Saya berikan waktu setengah jam…” ujarnya.
Mendengar ancaman tersebut, bukan main geramnya para perwira muda itu. Letnan Satu Chaurmain yang tengah memegang tongkat berujung kampak besi dan berposisi persis dekat dengan Simarmata nampak gignya bergemertak. Dia lantas berbisik kepada Letnan Dua Soedirjo:
“Jok sirahe dekne tak kampak-e (ayo kepalanya kita kampak saja), paling-paling mati bareng…”
“Jangan-lah, nanti yang mati bukan kau saja. Semuanya pasti dibunuh, begitulah cara kerja laskar. Sudahlah, kasih saja. Nanti kita cari lagi,” jawab Soedirjo dalam bahasa Jawa Banyumasan.
Baca juga: Terjebak di Plataran (2)
Akhirnya, para perwira pun mengalah. Mereka menyerahkan pistolnya masing-masing kepada Simarmata dengan rasa marah yang bergejolak di dada. Karena negoisasi yang baik, mereka sepakat obat-obatan tak perlu diserahkan.
Namun bak ikan piranha yang lapar daging, anak buah Simarmata malah merampas emas dan perhiasan milik para perwira. Mereka beralasan memerlukan perhiasan tersebut “untuk perjuangan”. Sementara cincin emas tanda pertunangan milik Soedirjo sendiri lolos dari jarahan mereka.
“Kebetulan saya bawa perban di kantong, sehingga saya bisa membungkus jari saya yang bercincin itu dengan perban. Mungkin mereka mengira jari saya luka atau korengan,” ungkap alumni Akademi Militer Yogya angkatan pertama itu.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar