Deklarasi Perang Soviet Terhadap Jepang
Di pengujung Perang Dunia II, Soviet menyatakan perang terhadap Jepang. Berandil mempercepat Perang Dunia II usai.
PADA 8 Agustus 1945, beberapa jam menjelang pergantian hari menuju 9 Agustus, Uni Soviet mengejutkan Jepang. Menteri Luar Negeri Vyacheslav Molotov menyatakan kepada Duta Besar Jepang Naotake Sato bahwa Uni Soviet menyatakan perang kepada Jepang.
Pernyataan itu membuat harapan Jepang bertahan di sisa kekuatannya selama Perang Dunia II runtuh. Dua hari sebelumnya, Jepang telah kehilangan Hiroshima karena dibom atom Amerika Serikat. Dengan kekuatan yang tersisa Jepang terpaksa menghadapi dua front sekaligus: di timur-selatan melawan Amerika Serikat (AS) dan front di utara-barat melawan Soviet.
Pernyataan perang Soviet itu juga mencederai kesepakatan tak saling serang yang dibuat kedua negara pada 1941. Meski sejak Jepang mendirikan pemerintahan Manchukuo di Manchuria militer kedua negara kerap terlibat pertempuran di perbatasan sebagai akibat dari persaingan Rusia-Jepang sejak akhir abad ke-20, Soviet dan Jepang di Perang Dunia II sepakat berdamai karena ingin fokus terhadap perang masing-masing: Soviet di barat melawan Jerman-Nazi dan Jepang di Pasifik melawan AS.
Pada akhirnya perkembangan di lapanganlah yang membuat sikap kedua negara meninjau ulang sikap masing-masing. Jepang tetap berharap perjanjian dengan Soviet dipertahankan, demi kelancaran proyek Asia Timur Raya-nya. Sebaliknya, Soviet jadi merasa perlu memperhatikan ke timur setelah mampu bangkit dari keterpurukan setelah Pertempuran Stalingrad.
Baca juga: Neraka Hitler di Stalingrad
Namun, perhatian untuk wilayah timur Soviet itu masih sebatas angan-angan. Bagaimanapun Soviet masih terikat perjanjian tak saling serang (Pakta Netralitas) dengan Jepang. Dalam Konferensi Tehran (1943), pemimpin Soviet Joseph Stalin sampai harus mengambil jalan tengah ketika PM Inggris Winston Churchill dan Presiden AS Franklin D. Roosevelt menyatakan harapan agar Soviet mau terjun ke Perang Pasifik. Jalan tengah Stalin yakni, Soviet baru akan terjun ke Pasifik bila Jerman sudah dikalahkan. Dengan begitu, Stalin akan mendapatkan dua hal sekaligus: terhindar dari perang dua front sekaligus dan angan-angannya untuk memperluas wilayah maupun pengaruh di timur lebih mudah dicapai.
Baru pada Konferensi Yalta (Februari 1945) Soviet menegaskan kesediaannya untuk ikut serta dalam Perang Pasifik. Itupun setelah diberi jaminan oleh Roosevelt bahwa Soviet akan diberikan kembali wilayahnya yang hilang.
“Pada Januari-Februari 1945 para pemimpin Sekutu --Franklin D. Roosevelt, WInston Churchill dan Joseph Stalin– bertemu di Yalta di Krimea dan setuju untuk ‘mentransfer’ Kuril dan ‘mengembalikan’ Sakhalin Selatan ke Uni Soviet, sebagai persyaratan untuk partisipasi Soviet dalam perang melawan Jepang. Perjanjian Yalta berbeda sifat dari perjanjian internasional lainnya, karena merupakan perjanjian rahasia antara Uni Soviet dan pihak ketiga –AS dan Inggris– tanpa partisipasi Jepang, yang saat itu merupakan pemilik sah wilayah tersebut. Pulau-pulau itu tidak lain adalah irisan yang menguntungkan bagi AS untuk menjamin partisipasi Rusia dalam perang di Pasifik,” tulis Kimie Hara dalam Japanese-Soviet/Russian Relations Since 1945: A Diffiicult Peace.
Baca juga: Operasi Militer Amerika Terbodoh
Pulau Sakhalin dan Kepulauan Kuril merupakan wilayah persengketaan Jepang dengan Rusia. Pada Perang Ruso-Jepang tahun 1905, keduanya direbut Jepang.
Jaminan AS membuat Soviet kian gencar mengirim pasukannya ke timur guna memperkuat upaya yang sudah dirintis sebelumnya dengan sembunyi-sembunyi. Soviet berupaya membangun 90 divisi di timur. Yang lebih penting, pada April 1945 Soviet memberitahu keinginannya untuk tidak memperpanjang perjanjiannya dengan Jepang. Meski begitu, Moscow tetap berupaya meyakinkan Tokyo bahwa perjanjian tersebut masih berlaku hingga 12 bulan ke depan dan Moscow akan menjalankan semua keputusan dalam perjanjian tersebut.
Keterikatan pada dua pakta (Pakta Netralitas dengan Jepang dan Pakta Yalta dengan Sekutu) itu membuat Stalin bimbang. Sejak Yalta, Jepang makin intens mengirim utusan ke Soviet untuk membujuk agar Soviet mau memperpanjang pernjajian tidak saling serang. Kebingungan Stalin memuncak ketika pada akhir Juni Jepang mengajukan proposal. Isinya mengundang Soviet untuk memperpanjang pakta Netralitas dan merundingkan permintaan Jepang agar Soviet menjadi mediator dalam perdamaian di Timur Jauh yang diinginkan Jepang, berikut tawaran konsesi teritori menarik sebagai imbalan atas kesediaan Soviet. Stalin amat berminat namun terlanjur terikat Pakta Yalta. Maka sebagai respon, Soviet terus menunda memberi jawaban.
Usai Konfernesi Potsdam, Soviet akhirnya menjawab permintaan Jepang dengan menarik semua staf kedutaannya di Jepang pada 24 Juli 1945. Pada 8 Agustus, Soviet mempertegas sikapnya terhadap Jepang dengan deklarasi perang yang disampaikan Menlu Molotov kepada Dubes Sato.
Baca juga: Konflik Keluarga dalam Perang Dunia
Keputusan Soviet berangkat dari perkembangan situasi bahwa setelah Jerman kalah, Jepang satu-satunya negara yang masih berperang melawan Sekutu karena menolak untuk menyerah tanpa syarat sebagaimana diminta AS-Inggris-China. Untuk itu Soviet menerima tawaran Sekutu untuk bergabung melawan agresi Jepang demi mempersingkat durasi perang, mengurangi jumlah korban, dan memfasilitasi pemulihan perdamaian universal lebih cepat.
"Pemerintah Soviet menganggap bahwa kebijakan ini adalah satu-satunya cara yang dapat membawa perdamaian lebih dekat, membebaskan rakyat dari pengorbanan dan penderitaan lebih lanjut dan memberikan kemungkinan kepada rakyat Jepang untuk menghindari bahaya dan kehancuran yang diderita Jerman setelah penolakannya untuk menyerah tanpa syarat. Mengingat hal di atas, Pemerintah Soviet menyatakan bahwa mulai besok, yaitu mulai 9 Agustus, Pemerintah Soviet akan menganggap dirinya berperang dengan Jepang," demikian keputusan Soviet yang diberikan kepada Dubes Sato, sebagaimana dimuat jewishvirtuallibrary.org.
Meski Sato berjanji menyampaikan kabar itu kepada Tokyo secepat mungkin agar bisa dilakukan perbaikan, Soviet tak peduli lagi. Beberapa saat setelah masuk tanggal 9 Agustus, lebih dari 1,5 juta serdadu Soviet di bawah pimpinan Marsekal Aleksandr Vasilevsky menyerbu Manchuria, Korea, dan Kepulauan Kuril. Perlawanan gigih Jepang tak berhasil membendung serangan itu. Bersama bom atom yang dijatuhkan AS di Nagasaki pada hari yang sama (9 Agustus), serbuan itu mempercepat kapitulasi Jepang. Perang Dunia II pun berakhir.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar