Dari Kamp Nazi Lalu Desersi di Surabaya Dukung Kemerdekaan Indonesia
Harry dan Freddy, penyintas PD II yang tak mau Belanda menjajah Indonesia, angkat senjata melawan tentara negerinya. Menjadi TNI.
HARRY Hulskar dan Freddy Weerenstijn masih mendekam di kamp tawanan Jerman-Nazi pada 1944. Kala itu mayoritas Eropa Barat masih diduduki Jerman. Jangankan membayangkan negeri ataupun sekadar nama Indonesia, yang jelas belum eksis, menerka nasib mereka sendiri pun masih lebih sulit ketimbang mengatasi perut yang lapar.
Namun, nasib orang siapa yang tahu. Bombardir artileri Prancis ikut mengubah nasib keduanya. Dari bombardir itu Harry dan Freddy lalu bisa mendapatkan kebebasan. Dengan kebebasan itu, keduanya bisa bertualang.
Ketika artileri berat Perancis membombardir kamp mereka, Harry dan Freddy hanya bisa menanti sambil berharap akan ada kesempatan keluar. Benar saja. Setelah bersabar menanti bombardir reda, keduanya kabur ke Amsterdam, tempat asal keduanya.
Keduanya lalu direkrut negaranya dan ditugaskan ke luar negeri. Katanya untuk melawan tentara Jepang. Keduanya pun pakai seragam militer lalu berlayar. Kapal mereka tertahan di Singapura dan akhirnya harus ke Australia. Keduanya pun dibawa ke Inggris lalu kembali ke Belanda.
Setelah beberapa waktu di Belanda, mereka diberangkatkan lagi. Ke tempat yang mereka inginkan: Indonesia. Fredy mendapat pangkat sersan dan Harry kopral. Keduanya ikut dalam sebuah pasukan yang tiba di Jakarta pada Desember 1946. Dari Jakarta, keduanya lalu dipindahkan ke Surabaya.
Di Surabaya, kelakuan Harry dan Fredy malah di luar kehendak daripada militer Belanda yang ingin menduduki kembali Indonesia. Keduanya justru menunjukkan simpati pada gerakan kemerdekaan Indonesia, yang hendak dimatikan Belanda.
“Hal ini dilakukan dengan mengorganisasi kelompok besar yang terdiri dari 80 tentara Belanda, yang bertanggung jawab untuk mengirimkan obat-obatan, suku cadang radio, dan suku cadang sepeda motor, yang semuanya milik tentara Belanda, kepada TNI. Hulskar mengklaim telah menjadi kepala organisasi gangster biasa ini,” demikian Nieuwe Courant, 22 Juli 1949, memberitakan.
Harry dan Freddy serta 78 kawannya langsung digulung militer Belanda. Mereka dihukum 1,5 tahun penjara dan pemecatan dari Koninklijk Landsmacht (KL) alias angkatan darat Belanda. Harry dan Freddy sempat dikirim ke penjara di Surabaya pada 24 Mei 1947.
Namun, empat hari kemudian mereka berhasil kabur berkat bantuan kawan-kawan TNI mereka. Keduanya lalu bergabung dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Mereka disebut-sebut dapat pangkat: Harry letnan dua dan Freddy letnan satu.
Harry dan Freddy hidup seperti orang Indonesia di masa desersi mereka. Keduanya bahkan punya nama Indonesia. Harry sebagai Darmawan dan Freddy sebagai Hadidimulyo. Wajah bule keduanya amat membantu pasukan TNI dalam mencegat konvoi militer Belanda di Jawa Barat.
“Hulskar dan Weerenstijn memainkan peran utama dalam hal ini. Mereka mengenakan seragam Belanda dan ciri khas sersan dan kopral. Mereka mengintai konvoi dan patroli Belanda, dan ketika saatnya tiba, mereka melakukan pekerjaan mereka –pekerjaan yang tercela. Patroli TNI bersembunyi; Hulskar dan Weerenstijn keluar dan berbicara dengan para serdadu Belanda –kepada rekan-rekan senegaranya. Mereka bercerita bahwa mereka telah diserang TNI, padahal para serdadu TNI masih ada di sekitar mereka saat itu. Kemudian mereka menyergap para serdadu Belanda –tidak hanya sekali, tetapi berkali-kali. Hulskar menggambarkan kejadian-kejadian tersebut dengan semua detail yang menarik dan menceritakan panjang lebar cara masing-masing serdadu Belanda dibantai. Dengan penuh semangat, mereka mengenang kembali kenangan belasan kisah tersebut,” kata Nieuwe Courant, 22 Juli 1949.
Ketika kota Yogyakarta diserang tentara Belanda pada 19 Desember 1948, kedua bule itu bersembunyi di belakang Grand Hotel atau Hotel Garuda. Intelijen militer Belanda di Yogyakarta telat sadar bahwa Harry dan Freddy berada di hotel yang sama dengan mereka.
Setelah bulan Juli, berita tentang mereka tersebar di koran-koran Belanda. Harry dan Freddy mendapat cap buruk dari media Belanda. Niuewe Courant (22 Juli 1949) menyebut mereka melakukan hal keji. Media lain menyebut mereka tercela. Koran-koran Belanda biasa mengeluarkan berita dengan citra buruk untuk serdadu Belanda yang desersi dan bergabung dengan TNI dengan menyebut mereka sebagai bendeleider alias pemimpin geng gerombolan yang mengacau. Menurut Het Dagblad, keduanya bergabung dengan TNI untuk motif uang.
Tuduhan Het Dagblad jelas ngawur. Faktanya, TNI adalah angkatan perang dengan banyak kekurangan. Kata desertir KNIL bernama Adolf Lembong pada koran Manila Times tanggal 15 November 1948, TNI adalah tentara miskin. Kedua serdadu itu tentu kehilangan gaji bulanan tentara KL Belanda, yang tak mampu diberikan TNI.
Apapun pemberitaan buruk media-media Belanda ataupun pembelaan TNI, Harry dan Freddy tak peduli. Keduanya tetap pada pendiriannya: membantu perjuangan kemerdekaan Indonesia.
“Mereka tidak berkorespondensi dengan keluarga mereka, mereka telah memisahkan diri dari masyarakat pria dan wanita dari ras mereka sendiri dan hanya berbicara tentang satu Tujuan –Tujuan Republik–, "Kemerdekaan" mereka.”
Tambahkan komentar
Belum ada komentar