Daging Kucing dalam Perang Kemerdekaan
Saat revolusi kemerdekaan, makan daging kucing bukan hal yang asing. Motivasinya beraneka ragam: kelaparan hingga untuk meningkatkan daya tempur.
BEBERAPA waktu lalu, jagad dunia maya dihebohkan dengan viral video seorang lelaki paruh baya memakan hidup-hidup seekor kucing di Pasar Jiung Kemayoran, Jakarta Pusat. Kejadian ini langsung direspon oleh pihak kepolisian setempat.
"Jadi setelah itu viral kan saya langsung koordinasi dan perintahkan anggota. Termasuk saya nyariin yang bersangkutan. Cuma yang bersangkutan sudah tidak ada," kata Kapolsek Kemayoran Kompol Syaiful Anwar saat dikonfirmasi oleh Kumparan, Senin (29/7). Hingga kini, polisi tengah menyelidiki kasus tersebut.
Mengkosumsi daging kucing sejatinya pernah dilakukan oleh para pejuang kita di era Perang Kemerdekaan (1945-1949). Setidaknya itu yang pernah dikisahkan oleh Itoh (92), seorang eks petugas dapur umum di wilayah Bandung Selatan, kepada saya.
Baca juga: Sukarno-Hatta dan Kucingnya
Ceritanya, suatu pagi serombongan pasukan lasykar datang ke pos dapur umum. Salah seorang dari mereka menyerahkan dua bungkus daun jati berisi daging segar kepada Itoh dengan pesan agar daging tersebut dibuat gulai.
“Saya tidak curiga itu daging apaan dan langsung memasaknya. Ya saya pikir daging kambing atau daging kebo-lah,” ujar Itoh.
Begitu jadi, gulai pun dihidangkan ke para gerilyawan. Itoh yang sebelumnya mencicipi masakan itu, sebenarnya mulai merasa janggal akan daging tersebut yang rasanya agak-agak asam itu.
“Itu daging apa ya, Pak? Kok rasanya agak aneh?” tanya Itoh.
“Daging kucing!” jawab salah seorang dari mereka.
Tanpa banyak cakap lagi, Itoh langsung beranjak keluar dan langsung muntah-muntah. Alih-alih merasa kasihan, para anggota lasykar itu malah tertawa-tawa melihat kelakuan Itoh.
“Mulai saat itu, saya tidak makan daging lagi,” kenangnya.
Soal mengkonsumsi daging kucing di kalangan para pejuang Republik memang bukan hal asing lagi. Soegih Arto dalam otobiografinya Sanul Daca (Saya Nulis Anda Baca): Pengalaman Pribadi Letnan Jenderal (Purn) Soegih Arto mengisahkan bagaimana saat pasukannya kelaparan mereka “secara tidak sengaja” memakan daging kucing. Itu terjadi di Cililin, Jawa Barat kala Soegih Arto berpangkat mayor dan memimpin Batalyon 22 Divisi Siliwangi melawan pendudukan tentara Belanda.
“Ya apa boleh buat, kucing telah jadi mangsa,” ujarnya.
Baca juga: Pengalaman Pasukan Kelaparan
Kebiasaan makan daging kucing malah menjadi rutinitas bagi Pasukan Terate (Tentara Rahasia Tertinggi) di front Subang, Jawa Barat. Menurut komandan mereka Jenderal Mayor Moestopo, hal tersebut harus dilakukan sebagai upaya untuk “meningkatkan kemampuan tempur” para pasukannya yang terdiri dari para eks kriminal itu.
“…Supaya dapat melihat dalam gelap layaknya mata seekor kucing,” tulis Cribb dalam Ganster and Revolutionaries, The Jakarta People’s Militia and Indonesian Revolution 1945-1949.
Tradisi nyeleneh itu sempat diketahui oleh Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo saat Kepala Staf TNI itu berkunjung ke pos terdepan Pasukan Terate pada suatu hari di tahun 1947. Oerip yang berpembawaan sangat teliti itu, pandangannya tetiba terbentur ke nisan-nisan sederhana yang terpancang di belakang pos tersebut.
“Itu makam?” tanya Oerip
“Ya, Jenderal!” jawab salah satu anggota pasukan Moestopo.
“Jadi, banyak korban di sini?”
“ Ya... Ya... Jenderal,” ujar sang prajurit tergagap-gagap.
Dengan mimik serius, Oerip memperhatikan kembali makam-makam tersebut. Wajahnya terlihat sedih.
“Tetapi maaf Jenderal. Itu bukan makam manusia," kata si prajurit agak segan.
“Lha, terus makam apa?”
“ Ehmm... Anu Jenderal… Itu hanya makam ayam, kambing dan kucing, yang menjadi korban santapan kami sehari-hari.”
Menurut para prajuritnya, pembuatan kompleks pemakaman binatang itu diperintahkan langsung oleh Moestopo. Ya, guna menghormati jasa-jasa kucing dan kawan-kawannya dalam perjuangan karena “sudah disantap”. Ada-ada saja Pak Moes.
Baca juga: Moestopo Sang Jenderal Nyentrik
Tambahkan komentar
Belum ada komentar