Bung Karno Meminta Sukarelawan Berenang hingga Irian
Bagaimana kaum politisi sipil angkat bicara soal operasi militer dalam kampanye pembebasan Irian Barat.
Publik tanah air geger kala berita tenggelamnya KRI Matjan Tutul di Laut Arafuru tersiar. Seruan untuk membalas aksi militer Belanda pun meluas. Tidak terkecuali suara dari kalangan politisi sipil. Menteri Pertahanan dan Keamanan Jenderal Abdul Haris Nasution mesti bersabar mendengar ocehan mereka.
“Pernah Menteri Luar Negeri Soebandrio mendesak untuk mentorpedo satu destroyer Belanda,” kenang Nasution dalam memoari Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 5: Kenangan Masa Orde Lama. Kata Soebandrio, “Itu cukup untuk menggerakan aksi diplomat yang berhasil.”
Menurut Nasution, Angkatan Perang Indonesia saat itu belum waktunya melancarkan pukulan-pukulan militer. Jenderal asal Mandailing ini memperhitungkan Belanda akan memukul balik terhadap pangkalan militer Indonesia di Maluku dan Sulawesi. Tindakan gegabah demikian malah dapat mengacaukan persiapan invasi yang sedang dirancang pimpinan Operasi Mandala.
Kendati demikian, desakan kalangan sipil untuk melancarkan ofensif rupanya makin kuat. Suasana itu sepertinya ikut memantik Presiden Sukarno untuk segera menghajar Belanda. Hingga sekali waktu, Bung Karno mengumpulkan sejumlah jenderal senior dan para menteri.
Atmadji Sumarkidjo dalam Mission Accomplished: Misi Pendaratan Pasukan Khusus oleh Kapal Selam RI Tjandrasa mencatat pertemuan tersebut berlangsung pada 21 Februari 1962. Selain Bung Karno, turut hadir juga Menteri Pertama Ir. Djuanda Kartawidjaja, Menteri Luar Negeri Soebandrio, Menteri Penerangan Muhammad Yamin, Jenderal Nasution, Kepala Staf KOTI Mayjen Achmad Yani, dan Panglima Komando Mandala Mayjen Soeharto. Bung Karno langsung memberondong Soeharto dengan serangkaian pertanyaan.
“Mulai kapan inflitrasi besar-besaran itu bisa dilanjutkan? Kita penuhi Irian dengan dengan gerilyawan kita!” seru Bung Karno. Soeharto mengatakan secepatnya misi itu akan dilakukan. Sambil menujuk ke peta, Soeharto menjelaskan agar pasukan harus dikonsentrasikan terlebih dahulu di pulau-pulau kecil di sekitar kepala burung.
Baca juga:
“Kalau begitu angkut segera sebanyak-banyaknya,” kata Sukarno.
“Angkutannya, Pak,” jawab Soeharto sambil melirik ke arah Nasution.
“Kita akan gunakan juga kapal-kapal pengangkut umum. Tidak usah tunggu yang masih didatangkan dari Rusia,” Djuanda memberi masukan.
“Betul, Pak Djuanda, tapi pengorganisasian armada ini masih sedang berjalan,” Nasution menyanggah.
Bung Karno menyetujui gagasan Djuanda agar selekas mungkin pasukan didaratkan ke Irian. “Kalau perlu, semua ramai-ramai akan aku perintahkan untuk berenang saja ke Irian,” ujar Bung Karno dengan penuh semangat.
Nasution dalam memoarnya mengonfirmasi perkataan Sukarno, “Kalau perlu suruh sukarelawan ramai-ramai berenang ke Irian Barat.” Instruksi lisan itu menggambarkan betapa luasnya desakan pihak sipil untuk segera membebaskan Irian Barat dari kekuasaan Belanda. Nasution juga mencatat desakan Soebandrio agar paling lambat April 1962, Angkatan Perang Indonesia sudah menyerbu kedudukan Belanda di Papua.
“Saya dan teman-teman, termasuk Panglima Soeharto tempo-tempo dikiritik sebagai terlalu berhati-hati berhadapan dengan kehendak sipil yang mendesak,” tutur Nasution.
Baca juga:
Soeharto sendiri dalam otobiografinya menyitir usulan Yamin dalam sidang kabinet supaya TNI menenggalamkan kapal Belanda. Itulah ihwal Soeharto dipanggil ke Istana dan mendapat order untuk menenggelamkan kapal Belanda. Semua itu semata-mata demi tujuan politik memperkuat posisi tawar Indonesia dalam medan diplomasi. Soeharto hanya bisa geleng-geleng kepala karena gagal paham menyelami isi pikiran kaum politisi sipil itu.
“Aneh-aneh saja,” kenang Soeharto dalam otobiografinya Soeharto, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya yang disusun Ramadhan K.H.
Menanggapi tantangan menenggelamkan kapal Belanda, Soeharto minta jaminan apakah langkah tersebut akan berhasil memenangkan sengketa Irian Barat. Tapi Yamin bersikukuh menyatakan langkah itu untuk kepentingan politik. Soeharto menampiknya dengan menyinggung peran politisi yang sudah 11 tahun berunding namun selalu kandas.
“Lalu mau merusak rencana yang dipercayakan kepada saya untuk melakukan operasi militer?” kata Soeharto.
Baca juga:
Kala Soeharto Jadi Panglima (2-Habis)
Untuk melancarkan serangan secepatnya, Soeharto mengatakan masih membutuhkan penambahan senjata, pesawat udara, dan perlengkapan perang yang memadai. Presiden Sukarno akhirnya bersedia memberikan waktu bagi Komando Mandala untuk persiapan operasi militer. Itulah sebabnya, Jenderal Nasution, seperti dicatat Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto dalam Sejarah Nasional Indonesia Jilid 6 melakukan kontrak pembelian senjata ke Moskow, Uni Soviet untuk ketiga kalinya.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar