Baret Merah Bikin Inggris Berdarah-darah
Sebuah pertempuran berdarah antara pasukan baret merah Indonesia melawan pasukan Inggris semasa Konfrontasi.
SETELAH pertempuran salah paham antara Yon 1/RPKAD melawan Yon 454/Diponegoro di luar PAU Halim Perdanakusuma pada pagi 2 Oktober 1965 mereda, Sersan mayor (Serma) Soediono mendapat perintah dari Kapten Oerip, atasannya di Kompi Ben Hur. Soediono diperintahkan sang komandan masuk ke Halim untuk menemui Komandan RPKAD (kini Kopassus) Kolonel Sarwo Edhie Wibowo guna melaporkan perkembangan situasi dan minta arahan lebih lanjut.
Ditemani Kopral Miptah, Serma Soediono lalu berjalan kaki masuk ke Halim. Sempat salah masuk ke markas Kolaga, Soediono dan Miptah berhasil menemui Sarwo Edhie di Makoops AURI. Sarwo Edhie berada di Makoops AURI ditemani sejumlah petinggi AURI seperti Laksda Udara Sri Mulyono Herlambang. Di sana, Sarwo Edhie mendapatkan penjelasan bahwa AURI tidak punya rencana membombardir titik-titik vital AD sebagaimana diyakini Pangkostrad Mayjen Soeharto dan pimpinan AD.
Maka begitu berhasil menemui sang kolonel, Soediono langsung menjalankan tugasnya. Dia diterima dengan baik oleh Sarwo Edhie.
“Kolonel Sarwo Edhie mengenalnya dengan baik, karena dialah yang memberikan kenaikan pangkat luar biasa, menjadi Sersan Mayor di perbatasan Kalimantan Barat, berkat keberhasilannya menghancurkan perkubuan Inggris di Mapu, Sarawak,” tulis Aristides Katoppo dan kawan-kawan dalam Menyingkap Kabut Halim 1965.
Baca juga: Wangsit Sarwo Edhie Wibowo
Soediono merupakan anggota Kompi B “Ben Hur”, kompi yang dipilih untuk menjalankan tugas menghancurkan pos terdepan Inggris di Desa Plaman Mapu, Sarawak, sekira satu kilometer dari perbatasan Kalimantan Barat, pada 27 April 1965.
“Plaman Mapu adalah serangan utama terhadap pangkalan Inggris dan dilakukan oleh pasukan berpengalaman sebagai bagian dari strategi eksperimental Indonesia bahwa pasukan kecil dapat mengalahkan pasukan gerilya yang lebih besar,” tulis Nicholas van der Bijl dalam Confrontation the with Indonesia, 1962-1966.
Serangan itu merupakan penjabaran lapangan dari keinginan politik Presiden Sukarno dalam Konfrontasi dengan Malaysia. Perang tanpa deklarasi itu tak kunjung menampakkan hasil gemilang bagi Indonesia setelah lebih dua tahun dijalankan. Sebaliknya, Konfrontasi semakin mempersulit posisi politik Sukarno di dalam negeri karena perekonomian terkesampingkan dan adanya penentangan dari angkatan darat.
“Konfrontasi membantu menyulut masalah ekonomi Indonesia, menjadi semakin vital bagi masa depan politik Presiden Sukarno untuk membuat pasukannya harus mengamankan kemenangan militer yang menentukan. Inilah latar belakang Pertempuran Plaman Mapu,” ujar sejarawan Charles Allen dalam The Savage Wars of Peace: Soldiers’ Voices, 1945-1989.
Adanya keinginan untuk membuat satu serangan fenomenal itu bertemu dengan keinginan Sarwo Edhie yang ingin menguji konsepsinya. Saat mengikuti kursus Staff Queenschliff di Australia, sekutu Inggris dalam Konfrontasi, Sarwo Edhie pernah mendiskusikan konsep itu dengan rekannya asal Inggris, lawan Indonesia dalam Konfrontasi, Mayor Jeremy Moore. Edhie yakin pengerahan sedikit pasukan khususnya jauh lebih efektif untuk melumpuhkan lawan ketimbang menggunakan pasukan besar gerilyawan. Konsepnya terinspirasi dari pasukan Belanda ketika melakukan agresi di Perang Kemerdekaan. Meski jumlahnya kecil, mereka dapat mengalahkan pasukan gerilya yang jumlahnya jauh lebih besar.
“Wibowo yakin bahwa para komandannya dapat melakukan hal yang sama. Wibowo memilih kompi FDL di Plaman Mapu untuk menguji teorinya,” sambung van der Bijl.
Pos Plaman Mapu, yang terletak di atas sebuah bukit, dipilih sebagai sasaran karena sering digunakan untuk mendrop pasukan elit Inggris SAS sebelum melakukan patroli di hutan-hutan perbatasan atau penyusupan ke wilayah Indonesia. Selain itu, pos tersebut juga dipilih jadi sasaran karena pada awal 1965 dijaga Kompi B Batalyon Ke-2 Resimen Parasut (2 Para) AD Inggris yang personilnya minim jam terbang. Lima belas dari personil Kompi B masih berusia 18-19 tahun dan baru saja menyelesaikan pendidikan singkat jungle warfare di hutan Semenanjung Malaya pada Februari.
Untuk mewujudkan rencana itu, RPKAD mengirim satu batalyon dari Grup 2 pada Februari. Setelah mendarat di Pontianak, mereka berjalan kaki menuju pos di Balai Karangan. Dari sana, mereka terus melakukan pengintaian ke pos terdepan Inggris dan mengonsep serangan. Mereka mendapati ada hari-hari di mana pos Inggris hanya dijaga oleh satu pleton karena dua pleton lain berkeliling patroli. Setelah sebulan mengadakan pengintaian dan persiapan, pada 25 April Komandan Batalyon Mayor Sri Tamigen memutuskan tiga kompi, termasuk Kompi Ben Hur, sebagai pelaksana misi, sementara satu kompi lain bersiaga di wilayah Indonesia.
Selepas magrib tanggal 26 April yang diiringi hujan, sekira 200 personil RPKAD itu berjalan menuju Mapu dengan bersenjatakan masing-masing senapan otomatis AK-47. Kompi itu juga membawa bren, mortir, peluncur roket serta Bangalore torpedo untuk menyingkirkan rintangan kawat atau ranjau.
Saat itu, pos Mapu dijaga oleh 36 personil. Pos itu terbagi ke dalam empat seksi, masing-masing seksi dilengkapi senapan mesin, dengan pusat komando di tengah. Selain dilengkapi bungker dan parit perlindungan, pos itu dipagari kawat berduri, ditanami ranjau, dan dilindungi dua mortir 3 inci. “Pos ini bila dihujani peluru dari luar perimeter tidak akan menghasilkan apa-apa karena lubang-lubang di pos-Ubang sangat kuat perlindungannya. Satu-satunya cara untuk merebut pos ini adalah mendorong ke perimeter dan bertarung dari jarak dekat,” kata Mayor Sri Tamigen dalam laporannya, dimuat di paradata.org.uk.
Namun, suara hujan membuat suara langkah-langkah manusia atau suara lain tak terdengar dari pos itu ketika peluru-peluru pasukan RPKAD menghujani pos pukul 5 pagi. “Dalam kegelapan total dan hujan lebat, pasukan parasut Indonesia menyerang Plaman Mapu dengan kekuatan penuh senjata superior mereka, menembakkan artileri, mortir, senapan mesin, dan roket langsung ke salah satu segmen (pos, red.) Inggris, segera memangsa posisi dan salah satu mortir,” tulis buku terbitan RW Press Paratroopers, Ready for Anything: From WWII to Afghanistan.
“Dalam rentetan tembakan pertama, salah satu dari dua posisi mortir kami dihancurkan, bersama dengan setengah dari orang-orang yang memegang mortir. Mereka telah membunuh dua tentara dan melukai beberapa lainnya yang membuat jumlah kami turun menjadi delapan belas yang berdiri dan mampu bertempur,” kata Serma John Williams, dikutip Allen.
Mayor Jon Fleming, komandan Kompi B, baru tahu jika posnya diserang setelah seorang petugas sinyal memberitahunya. “Sambil meletakkan kainnya di atas sarung yang ia kenakan, ia (Fleming) keluar ke malam yang basah diterangi ledakan, tracer, dan suar. Kedua tangki air tertembak, seperti juga area di sekitar menara penjaga. Meski personil para-nya berdiri dengan cepat, sebuah mortir membunuh Prajurit Smith dan melukai dua lainnya ketika mereka bergegas ke mortir di dekat gudang,” sambung Allen.
Seluruh personil di pos Inggris kaget oleh serangan kilat RPKAD itu dan secepat mungkin meraih senjata untuk mengadakan perlawanan. Serma Williams langsung berlari menuju sektor tempat pertempuran berlangsung. “Ia bertemu Prajurit Kelly, seorang penembak mesin dari bunker yang telah diserang, linglung karena kepalanya tertembak dua kali dan terus mengacungkan pistol Browning 9mm-nya ke hampir semua yang bergerak. Williams dengan tenang melucuti dirinya dan menginstruksikan seorang prajurit untuk membawa Kelly ke Pos Komando tempat para korban sedang berkumpul,” sambung Allen.
Mayor Fleming langsung melaporkan serangan itu ke atasannya, Letkol Ted Eberhardie. Karena setiap kali Fleming akan kembali ke lokasi pertempuran dia dipanggil kembali ke radio, dia lalu menyerahkan kepada Serma Williams. “Dia (Williams) berkeliaran, meraih sebanyak mungkin prajurit yang bisa dikerahkannya, dan berusaha membawa mereka ke posisi yang menguntungkan, tetapi, ketika dia melakukannya, pasukan Indonesia meledakkan mortir, menyebar prajurit dan hanya menyisakan lima kaki. Williams melesat ke salah satu posisi senapan mesin, dijaga Kopral Malcolm Baughan dan beberapa lainnya sementara mereka memaksa musuh kembali ke parit,” sambung Paratroopers, Ready for Anything.
Pertempuran yang melibatkan pertarungan jarak dekat itu akhirnya berubah begitu fajar menyingsing dan pasukan Inggris mulai mendapatkan jarak pandang yang baik. Ketika pasukan Gurkha tiba untuk membantu pasukan pos jaga Inggris sekira dua jam dari awal pertempuran, pasukan Indonesia telah mundur. Pertempuran Plaman Mapu pun berakhir.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar